Bagaimana pendapat anda tentang laman ini ?

Statistik

Minggu, 30 Desember 2012

Kita dan Teori - Teori Anda: Mana Ekspresimu ??



Sudah lama sebetulnya, ingin menulis kembali sesuai dengan apa yang ada didalam hati. Menulis tanpa beban - moral, kehormatan, penghidupan ... yang penting tulis dulu.

Balada menulis, bagi yang memang punya keinginan kuat sebetulnya akan mudah, jika sentiasa dilaksanakan dengan tanpa menumpuk idealisme yang "muluk - muluk". Bayangkan, betapa banyak coret - coretan sederhana milik anak - anak yang mungkin belum genap 10 tahun, tapi sudah menjadi favorit banyak orang, seperti puisi - puisi atau cerpen - tentu ini tidak mengesampingkan jelas bagi mereka yang menulis penuh dengan pemikiran yang matang, ketulusan rohani yang bersih, serta kesesuaian dengan realita sekitarnya membuat tulisan itu tidak seperti teralienasi dari pemirsanya.

Ada banyak memang sekian dari tipe - tipe penulisan yang bisa kita amati, atau mungkin kita bisa mulai dari melihat kecenderungan penulis yang ada saat ini dengan berbagai macam caranya dalam mengungkapkan sebuah pemikiran, ide, suara hati, bahkan kegelisahan moralitas yang ada didepannya. Misalkan, ada penulis yang sangat teoritis dalam menuangkan idenya, dengan beragam referensi ilmiah yang semata - mata - hemat kami - adalah untuk memperkuat bahwa teorema yang disampaikannya memang mempunyai landasan yang kuat, bukan menjiplak tentunya, apalagi memanipulasi seperti yang banyak terjadi saat ini - dimana dalam menulis sebuah karya ilmiah banyak mengutip tanpa menyertakan sumber. Hal ini, bisa dimaklumi mungkin karena rendahnya keinginan kita dalam mengungkapkan sesuatu secara utuh lewat tulisan. Padahal, bukankah sebuah pemikiran yang besar itu, harus dimulai dari tulisan - tulisan pendek agar tersusun secara sistematis diakhirnya.

Ada lagi, penulis yang enggan mengangkat teori yang "mapan dan besar" namun mengungkapkan sesuatu lebih berdasarkan induktif - realis dengan melihat fenomena - fenomena yang ada disekitarnya baik dijabarkan secara faktual kemudian menangkap sisi - sisi yang perlu dikomentari, dengan mengeluarkan langkah - langkah "make a solution for this problem !!!", biasanya yang menulis ini, merupakan orang yang dekat dan pro dengan entitas itu, atau justru orang yang kontra sehingga bersifat kritis dalam melihat masalah itu. Tapi terlepas dari apa tendensinya, yang punya "gaya" menulis demikian punya kepekaan sosial yang baik dalam melihat masyarakatnya - dan semoga demikian.

Yang menarik, adalah yang melihat teori - teori besar dalam sebuah praktikal - praktikal atau fenomena - fenomena dalam masyarakatnya. Teori - menurut mereka dalam pandangan kami adalah sekumpulan teks yang punya dialog - dan memang seharusnya begitu - dengan keadaan masyarakatnya. Biasanya, inilah yang didalam tradisi Islam adalah "memahami realitas/mafhum al-waaqi", atau populer dengan pribumisasi Islam. Cara berpikir demikian, adalah menjadikan sekumpulan teori itu, tidak melulu jadi diskusi berat kalangan akademisi yang hanya duduk dibangku universitas, atau lembaga - lembaga pendidikan yang kian hari menjauh dari entitas masyarakatnya. Dalam prakteknya, penulis menganggap Gus Dur, adalah orang yang menggunakan cara menulis demikian. Jika, memperhatikan tulisan - tulisannya yang umumnya selalu berangkat dari peristiwa yang ada, untuk kemudian dibaca secara teoritis - aktif sehingga menghasilkan tidak hanya solusi jangka pendek, namun sebuah penyelesaian yang jangka panjang, bahkan mendahului masanya (menurut sebagian pakar). Maka dari itu, banyak tulisan - tulisannya yang tidak selesai secara solusi pada awalnya, namun akan diselesaikan ditulisan - tulisannya lain. Bahkan, dari sinilah sebetulnya teori akan membuktikan fungsionalitas dan kecocokannya dengan peristiwa yang ada. Teori itu, akan dimatangkan dengan olahan sang penulis yang senantiasa mengkaitkelindankan dengan problematika yang muncul. Bahkan, bisa juga teori itu "tewas" oleh pesatnya fenomena dan realitas yang ada sehingga tidak mampu berkancah dalam dunia yang sesungguhnya.

Akhirnya, tulisan pendek ini hanya menginginkan satu arahan, yaitu bagaimana saya, anda dan kita ketika melihat realitas itu melakukan langkah penyeimbangan antara pesan dari teori, dan cepatnya laju realitas yang tidak seluruhnya dianggap benar, bahkan "manut" saja tanpa dikritisi. Semoga, bisa menjadi awal yang bermakna, salam

Jakarta, 30 Desember 2012

Jumat, 14 Desember 2012

Duruus al-Diniyyah fi al-Dirasaat: Realita, Idealisme, dan Harapan

Pagi ini (dilihat 12 Desember 2012), kami melihat salah satu catatan kecil tentang keluhan seseorang selama kuliah di Fakultas ini, ya bagaimana ya fakultas yang punya sejarah kewibaan keilmuan Azhar, kini mencoba mandiri dengan tetap menggunakan mode dan gaya belajarnya - tapi praktis pada prakteknya lebih banyak menanggung beban moril dengan konsentrasinya sebagai Fakultas Dirasat Islamiyah (terj. Indonesia: Studi Islam - mirip mata kuliah pengantar di fakultas - fakultas UIN, terj. Inggris: Islamic Studies - sebutan untuk jurusan pengkajian Islam di Barat seperti McGill, Leiden, Ohio, Harvard, dan sebagainya). Praktis, dengan mode belajar yang dirubah sedikit dengan model presentasi ( yang masih jauh dari , karena sering antara yang presentasi dan yang mendengarkan sama-sama bingung ) serta para dosen yang terhormat yang sebagian tidak bersikap empati dengan keadaan demikian dan menganggap mudah, lebih jauh seringnya tidak masuk dengan alasan - alasan yang menurut kami lebih tepat sebagai penyepelean amanah, membuat kita perlu memikirkan krisis besar ini. Setidaknya, ada dua sisi yang mendasar yang perlu kita sadari sejak awal:

1.    bahasa, dengan diktat - diktat berbahasa Arab baik kontemporer maupun klasik membuat penguasaan bahasa menjadi harga mati bagi siapa saja yang punya "nyali" untuk bertahan dan ngilangi bodho (terj: memberantas kebodohan) untuk menguasai nahwu baik kaidah – kaidah mendasar maupun kaidah – kaidah yang luas (baik khilaf-nya, asal – usul bahasa, sampai penyerapan bahasa arab terhadap bahasa – bahasa lain). Kalau ini  , atau terpenuhi dasarnya, maka kalau punya keinginan yang kuat untuk mencari bidang – bidang lain, ada jalan yang selalu terbuka untuk kesana. Tapi, mulailah dari bahasa
2.    think outside from the box, istilah ini sebetulnya bisa diterjemahkan menjadi berpikir tidak seperti biasanya, karena sejatinya fakultas ini atau kita yang melihatnya akan menjadi naïf ketika menjanjikan baahwa jika lulus dari fakultas ini, maka akan hadir para kader – kader ulama (. Hal itu naïf, karena ulama adalah gelar sosial yang mana diberikan oleh masyarakat. Tapi, perangkat – perangkat keilmuan yang ada disini adalah qorinah (indikasi jalan) bahwa mereka yang belajar di sini, punya peluang yang lebih terbuka dalam memahami agama Islam secara seutuhnya, atau setidaknya bidang – bidang didalamnya yang telah menjadi sebuah susunan silabi turun temurun, bahwa Alim fi al-Din adalah orang yang menguasai Tauhid, Fiqh, Tafsir, Hadits, Lughoh al-Arabiyyah, Ushul Fiqh, dan sejenisnya yang kita kenal dalam pengajaran Islam. Berarti kita harus menyadari, dengan perangkat sedemikian banyaknya yang kita pelajari – kami pastikan tidak seluruhnya bisa dikuasai dalam 4 tahun, apalagi jika semuanya murni didapat dari kegiatan klasikal belaka.

Ini, menjadi sebuah kenyataan yang tidak bisa kita hindari, terlepas bahwa Dekan pernah menjanjikan bekerja di tempat – tempat tertentu (Kedutaan, Departemen, dan sebagainya) itu urusan lain. Tapi, keilmuan ini memang harus diterapkan, bersamaan dengan nushush al-qur’an wa al-hadits yang terbatas dan ribuan kitab – kitab ulama yang telah dan masih terus melakukan upaya pembacaan teks dengan berbagai macam pendekatannya – untuk kemashlatan umat, ingat adagium (sejenis kata mutiara, atau wise word) Ibn Rusyd al-Andalusi, An-Nash Mutanaahiyatun, wa al-Waaqi’ ghoir Mutanaahiyatun (Teks/Nash terbatas, sementara realitas (yang membutuhkan teks itu) senantiasa berubah/tak terbatas).
Dari, sini kita menjadi paham seharusnya bahwa fakultas ini punya keterkaitan panjang dengan teks, namun sangat membutuhkan penerpannya di dunia nyata. Munculnya fiqh, ilmu kalam, kemudian Ushul Fiqh, sampai Kaidah – kaidah fiqh adalah sebagai bukti bahwa al-Qur’an dan Hadits senantiasa melakukan interaksi dengan pembacanya, terlepas dari konflik yang muncul dari sana berupa pengkafiran, dicap sesat, munculnya kritik antar ulama dengan muncul berbagai kitab yang saling memberikan masukan antar mereka, tidakkah menjadi perhatian kita. Sementara, semakin hari kita dihadapkan oleh realitas yang berubah – rubah, baik itu sesuai dengan pesan dari Nash tersebut, ataukah bertentangan sehingga butuh pertemuan dua sisi tersebut agar dicari kebenarannya.
****
Disana – sini, seringkali terdengar suara – suara miring tentang fakultas ini, disebabkan terlalu luasnya cakupan keilmuan didalamnya, satu contoh. Disisi lain, dengan sistem pemberian gelar, yang seperti sekarang dimana berdasarkan studi yang diambilnya (ada 3 konsentrasi akhir, Ushuludin, Syariah, dan Bahasa) segera menjadi pertanyaan dimana fakultas – fakultas keagaamaan lain yang telah tersusun konsentrasi masing – masing, apakah dengan adanya Fakulaltas Ushuludin tidak cukup untuk mencetak S.Ud sehingga, Dirasat memberikan gelar yang sama, begitu pun gelar lainnya. Dan bersama itu, ada suatu aspek yang sering dilupakan oleh banyak dari kita, yaitu kesadaran membaca dan memahami secara berkala. Semoga, terkaan ini tidak menjadi benar, mengingat serba praktisnya cara pandang di masa kini (bukan pragmatis, tapi menjadi sebuah keyakinan  pragmatisme).
Secara faktual, susunan keilmuan di Dirasat memang mengikuti betul silabi pendidikan Islami, yang tradisionalis. Dalam arti, hampir dipastikan kita tidak mendapati masukan – masukan modernis, diluar frame “Islami” dalam tafsiran al-‘aql al-islami. Praktisnya, kita tidak mendapati buku – buku diluar bahasa Arab, sebagai arus dominan bahkan mutlak secara formal namun sosialita kemahasiswaan yang ada malah menggunakan terjemahan bahasa Indonesia sebagai “alat bantu” untuk memahami ragam keilmuan dengan bahasa asing tersebut, yang mana bukan menunjukkan sikap antipati terhadap buku terjemahan, tapi dengan kita punya saham besar dalam memahami bahasa arab, bukankah lebih baik mengesampingkan terlebih dahulu terjemahannya, dan mencoba memahami teks aslinya melalui pembacaannya lebih lanjut secara terus menerus, terlepas dari sesuaikah teks terjemah tersebut dengan pesan asli (bukan harfiah, karena menerjemah itu bukan arti teks, tapi kesinambungan makna didalamnya).
Dengan segala kejanggalan dan disana – sini yang membutuhkan perbaikan. Tidakkah menjadi lebih baik kalau kita membaca kembali dengan baik, atau mengembangkan secara terus menerus duruus al-diniyyah wa ma yat’allaq bihaa, serta secara bertahap meninggalkan kegiatan – kegiatan yang seringkali mengantarkan kita kepada penumpulan sikap kritis, dan lebih memilih senang dalam kenyamanan yang semakin menjauhkan kita dari kebenaran. Teringat sebuah kaidah terkenal yang diikutsertakan dalam qowaid al-fiqhiyyah : al-Isytighol bighoir al-maqshud, al-I’radh ‘an al-maqshud (menyibukkan dengan sesuatu yang bukan dituju, adalah sebuah pelarian dari tujuan itu). Semoga, tulisan ini menjadi sebuah langkah awal (untuk yang nulis) agar tidak santai – santai dan menyadari bahwa pentingnya bangkit dari kebodohan. Dan (bagi pembaca lainnya) menjadi bahan pertimbangan, atau otokritik, pelontar semangat kembali, atau bahkan menjadi sarana munculnya bantahan dari tulisan ini. Yang jelas, niatan yang baik tentu mempunyai porsi tersendiri dimata Tuhan, bukan ?.

Ciputat, 14 Desember 2012

Senin, 19 November 2012

Mencari titik temu makna “shohabah”


 (Pembacaan Skripsi Ust. Ahmad 'Ubaidi Hasbillah : “Pergeseran Makna Shahabat Abad ke I -  IX H”)
    Kesan yang pertama kami dapatkan ketika membaca skripsi adalah adanya “peluang” untuk menerima nushush al-haditsiyyah (teks – teks bertemakan hadits) secara lebih lapang dari sebelumnya. Karena, sejak awal memang pendefinisian shahabat dikalangan muhadditsin sendiri terdapat perbedaan pendapat yang cukup beragam. Misalnya saja, seperti yang dikemukakan Ibn Sholah:
أن كل مسلم رآه من المسلمين فهو من أصحابه
    Dan pendapat demikian pada kenyataanya memang banyak digunakan oleh para ulama, yang mempunyai kecenderungan kuat terhadap hadits, dalam arti memberikan peluang yang besar dalam penerimaan hadits. Namun, deskripsi makna ini dijabarkan lebih luas didalam skripsi ini, dengan poros utamanya adalah perbedaan makna shahabat dari masa ke masa, sampai “tarik menarik” definisi shahabat antara muhadditsin dan ushuliyyin.
    Sisi lain yang menarik, dicermati adalah mengapa para ulama membutuhkan pembukuan akan berbagai macam tarjamah (profil) para sahabat pasca wafatnya khulafaa’ al-rasyidin dan taabi’in. Sementara dibeberapa buku – buku sejarah kekinian, sering menganggap sejarawan sebagai “penulis setia khalifah” , sehingga tidakkah muncul kekhawatiran melakukan distorsi atau mengeliminasi sebagian sahabat melihat dari pernyataan Imam Suyuthi, misalnya yang menyatakan jumlah sahabat mencapai 100 ribu orang, sementara Abu Zur’ah al-Razi menyatakan berjumlah 114 ribu orang , sementara yang tercatat hingga saat ini tidak lebih dari 10.000 orang.  Artinya, hal yang masih menggantung adalah kemanakah setidaknya, 90.000 orang yang diklaim sahabat sehingga, sampai tidak tercatat didalam kutub al-tarajum (ensiklopedi profil – profil sahabat) – dan dalam pembacaan kami, terhadap penelitian didalam skripsi ini, berpendapat senada akan “kegamangannya” pendefinisian sahabat, disebabkan dari  berbagai macam kitab mushtolahaat banyak mengangkat pendapat yang sama dengan sebelumnya, dan hal itu terus terjadi sampai abad ke 8 Hijriah. Ditahun setelahnya al-‘Alaai , melakukan redefinisi ulang tentang pemaknaan sahabat, dengan tidak hanya bersikap kritis terhadap para ulama yang cenderung kepada definisi muhaddits, namun juga terhadap definisi ulama ushul yang cenderung ketat dalam mendefinisikan sahabat . Hal ini, semakin diteruskan oleh beberapa peneliti hadis ‘Ala al-Din bin Qalit al-Mughlatay, yang berhasil menuliskan 1203 nama sahabat yang dianggap bermasalah oleh ulama sebelumnya (hal. 43)
    Yang jelas menurut kami, pembacaan akan siapa sebenarnya sahabat itu memang semestinya menggunakan perspektif kesatuan masa dan pernahnya bertemu. Artinya, hak – hak untuk dikatakan sebagai sahabat yang berarti menggunakan sudut pandang Rasul, bukan sudut pandang orang yang pernah melihat (karena didalamnya akan masuk orang yang semasa namun munafik apalagi kafir, orang Islam yang melihatnya saat pemakamannya,  dan orang yang  baru lahir dimasa nabi wafat, serta orang yang hanya semasa namun tidak pernah sekalipun melihat Rasul ). Lebih jauh, benarlah penghitungan yang dilakukan Abu Zur’ah al-Razi yang menyatakan jumlah 114.000 pada sahabat, dengan mengklasifikasi dari sahabat yang ikut serta haji wada’ (70.000 orang), yang ikut serta perang Tabuk (sekitar 40.000 orang). Hanya saja, mungkin dua hal yang didapatkan disini yaitu pergeseran makna sahabat yang diangkat disini, lebih cenderung kepada bahasa yang diangkat oleh para muhadditsin diabad ke - 9 (yaitu Ibn Hajar al-‘Atsqolani, dan Imam Suyuti) dan belum mengangkat tentang perbedaan pendapat dari para sahabat, dan bagaimana langkah – langkah politis untuk meraih kekuasaan yang dilakukan Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan para pendukungnya, dan bagaimana para sahabat yang bersikap menentang Ali bin Abi Tholib, akan kelonggarannya menerima tawaran  arbitrase Mu’awiyah bin Abi Thalib, hal – hal tersebut pernah kami dapatkan pembahasannya dari sebuah buku tulisan Gamal al-Banna, yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan judul Manifesto Fiqh Baru. Hal kedua adalah, siapakah sesungguhnya nama – nama sahabat yang tidak terklasifikasi dalam kitab tarajum, dan apakah tidak ada riwayat lagi yang menyebutkan keseluruhan nama -  nama tersebut yang jika ada, maka tidak itu berpeluang bahwa mereka (yang tak tercatat itu) mempunyai riwayat  juga, Wallahu A’lam.

Senin, 23 Juli 2012

Ngaji Rihlah Cisarua - untuk kelas a FDI


Kami hanya bisa menulis review yang singkat sesungguhnya untuk mendeskripsikan, aneka warna dan ragam yang kami amati tentang rihlah kelas yang dilaksanakan di Villa Kembar, Cisarua pada tanggal 4 – 5 Juli lalu. Dimulai dari perjalanannya, yang membutuhkan waktu yang lebih lama dari kesepakatan. Hal ini sebetulnya sangat bisa dijadikan titik pertanyaan yang mesti dijawab, yaitu kenapa terlambat untuk hal – hal penting (mungkin yang tidak penting juga begitu) menjadi suatu hal yang terulang, bahkan jadi budaya ?
Sisi lain lagi, sejak sebelum keberangkatan beberapa kawan sudah menyatakan untuk tidak ikut dengan alasan – alasan yang tidak bisa tertolakkan lagi, seperti tidak diizinkan orang tua, sudah ada jadwal acara terlebih dahulu sehingga berbenturan, dan sebagainya. Namun, yang sulit diterka adalah ketika sampai jelang hari H, tidak ada jawaban yang jelas apakah akan hadir atau tidak. Tapi, ya pada prakteknya pun hanya satu orang yang seperti itu. Ada pula, yang secara tiba-tiba membatalkan dengan kepentingan yang tidak bisa diganggu gugat ungkapnya. Ya sudah, Likulli Ra’siin Ra’yun, ungkapan yang belum lama ini kami dengar dari salah satu kawan.
Dengan perjalanan yang kurang lebih memakan waktu 2,5 jam itu tibalah kami di villa tempat kami akan menginap. Kemudian, setelah itu semua barang – barang logistic, terutama makanan karena sudah direncanakan sejak awal untuk memasak. Namun, setelah itu semua selesai sebagian lebih memilih untuk relax dan bermain – main santai. Sebagian ada yang berkonsentrasi untuk menghafal juz 2, karena ada yang belum taqdim hafalan dan diminta mengulang kehadapan ust. Willy Oktaviano, pembimbing tahfidz di FDI untuk semester 2 (patut dicontoh nih, tetap menghafal kapanpun, dimanapun). Sebagian lagi ada yang bermain di halaman. Dengan disediakannya kolam renang, ayunan, jungkat – jungkit (dua yang terakhir, inget taman kanak – kanak), sebagian terutama laki – laki lebih memilih bermain bola. Ada juga yang sibuk mengambil foto dari berbagai sisi. Ya mungkin, karena di Ciputat gak ada gunung ya hehe, tapi memang alamnya yang sejuk sangat cocok untuk meregangkan syaraf – syaraf dan relaksasi jiwa pasca Imtihaan al-nihaai al-diraasi.
               Ada sisi lain yang hampir terlupakan, ternyata beberapa teman begitu melihat sound system beserta beberapa keping CD lagu, segera mereka mengambil dan menyanyi. Ada 3 orang yang sepertinya menghayati betul, Aqoy, Bahrudin, Seniman (kalau yang ini wajar, sebelum rihlah sudah pernah menyatakan akan membuat boyband, dengan ia sebagai vokalisnya ---> ada yang aneh dari kalimat ini, sila dicermati). Kalau yang kedua, walaupun sosoknya besar, dan persepsi pertama orang akan mengira ia garang, tapi………. (ikuti terus ceritanya ya…). Kalau Aqoy, subjektivitas kami hanya bisa menilai bahwa dia punya berbagai sisi kehidupan, tapi ia tidak pernah kehilangan identitasnya (yak, semoga memang seperti itu, amin….). Tapi, yang dinyanyikan adalah lagu – lagu galau, sehingga atmosfer galau itu menyeruak keseluruh ruangan (yang ini bahasanya terlalu sastra, tapi tidak apa2), dan akan lebih lanjut terlihat dicerita selanjutnya…. Ikutilah terus !
               Setelah masuk ashar, dimulailah pembukaan acara rihlah tersebut. Dimulai, dengan pengutaraan susunan acara yang disampaikan oleh kang Fachru, sebagai seksi acara (seperti apa acaranya, ikuti terus tulisan ini……. Okey !). Kemudian, dilanjutkan dengan sambutan oleh Seniman, selaku ketua panitia. Dengan menggunakan pecinya yang khas, ia memulai dengan mengucap syukur atas terlaksananya acara ini. Sedikit juga ia menguraikan tentang beberapa teman yang tidak bisa ikut, dengan alasan – alasan yang tidak jelas, sehingga sungguh disayangkan dan semoga tidak seperti itu di acara mendatang. Kemudian, sambutan dilanjutkan oleh Rais al-Fashl (A) Zul Fajrudin. Kami, sedikit lupa apa inti dari sambutannya tersebut namun ia lebih menekankan semoga majelis persahabatannya ini menjadi semakin erat dan diisi selalu dengan kebaikan. Pokoknya, sambutannya “dalem” sekali, layaknya seorang kyai yang hendak menyampaikan wejangan kepada santri – santrinya.
               Pembukaan singkat itupun selesai, dan acara terus cair sampai jelang maghrib. Sebagian, ada yang kembali asik dengan kolam renang (maksudnya berenang gitu). Sebagian, terutama kalangan ummahaat sedang sibuk didapur menyiapkan makanan. Mulai dari ngulek sambel, masak nasi, dan lain – lain sehingga rembangnya matahari sore diiringi dengan kesibukan ibu – ibu di dapur. Yang laki – laki, sebagian ada yang membantu, ada juga yang memperhatikan dengan serius yang sedang masak (mungkin sedang membayangkan, kalau punya al-zaujah begini, benar – benar mendukung untuk pengembangan proyek keluarga sakinah…..lho kenapa jadi kesana pembicaraannya ya).
               Maghrib pun tiba, catatan menariknya adalah hingga jelang maghrib ada rencana slide yang hendak ditayangkan dengan muatan beberapa survei tentang kategori – kategori unik yang ada di kelas A. Namun, dengan bantuan Hudori yang memang bersama kami berbagi tugas untuk mengerjakan slide itu, terselesaikanlah walaupun hemat kami belum sepenuhnya memuaskan. Tapi, sisi menariknya walaupun kami mengakui pengerjaaannya cukup lambat, namun ketika mengerjakannya pun, kami sudah merasa menjadi sebuah hiburan karena banyak menelusuri foto – foto di kelas A, dengan kaidah aqbah al-shuurah, sehingga ketika mendapatkan ekspresi teraneh dari sebuah foto segeralah itu menjadi sasaran utama (sehingga jangan marah ya, tidak ada maksud menghina sama sekali tapi kami dari tim kreatif tetap memohon maaf kalau ada yang kurang berkenan). Okey, setelah itu kami semua melaksanakan sholat maghrib berjamaah, dan sangat beruntung sekali ternyata malam itu bertepatan dengan malam nishfu sya’ban. Sejak awal, memang sudah disepakati untuk mengadakan pembacaan yasin sebanyak 3 kali, seraya berdoa memohon pengampunan dimalam yang diyakini akan dicatatkanlah jumlah dari amal – amal kita selama setahun (dalam bahasa lain, tutup buku amal perbuatan (catatan: butuh pengembangan lebih jauh: 1. Studi sanad, 2. Fiqh al-hadits, 3. Istidlaalaat al-hadits).
               Sampai selesai waktu ‘isya, kami melaksanakan sholat secara berjamaah setelah itu tibalah waktu untuk makan malam. Dan special dimalam tersebut, dengan masakan sendiri oleh sekelompok ummahat kelas A. Hal ini sangat menumbuhkan suasana kekeluargaan dan kebersamaan, contoh kecilnya adalah masing – masing mengetahui siapa yang makannya banyak atau tidak. Tapi, itu menjadi tidak penting, karena mungkin “saking semangatnya” memasak sehingga porsinya banyak sekali, hatta tercecer akibat tidak begitu banyak yang makan --> intabih haadza, laa tukarrir marrah ukhroo
               Jam 20.30, acarapun dimulai. Sudah sejak awal, direncanakan untuk mengadakan acara yang dinamakan Class A Awards, namanya sih keren tapi semata -  mata sebagai gambaran factual dari peristiwa – peristiwa yang khas di kelas sehingga menarik untuk diperbincangkan (kayak acara yang kalimatnya: “setajam…….silet” lhhoo). Dimulai oleh MC oleh Enzhe (tidak ada catatan yang jelas nama ini muncul, awalnya adalah akronim dari Nurjaman --> NJ, mungkin untuk memperkuat suasana lahajat, maka berubahlah menjadi demikian) yang memang sudah langganan ngemsi sejak 6 bulan terakhir untuk event – event di kelas kami. Acara semakin membuat penasaran ketika muncul 11 nominasi yang mulai memancing gelak tawa. Dan dipilihlah nominasi pertama yaitu Anaa min al-nawwaamiin, yang diterjemahkan secara bebas menjadi “mahasiswa paling rajin tidur” (hehe, memang tidur termasuk kategori rajin yaa…..???/!?!!?). Setiap jenis nominasi, terdiri oleh tiga kandidat yang keseluruhannya telah diseleksi berdasarkan 3 urutan terbesar dari pilihan kelas. Nah, untuk bagian ini terpilihlah 3 orang sebagai nominasi nawwaamiin (tidak menggunakan Naaim¸ yang merupakan shighoh Ism al-Faa’il, namun menggunakan jenis Nawwam, satu dari empat jenis shigoh mubaalaghoh, yang mana digunakan untuk Naaim, sangat “mengena” sekali. Dengan responden, kurang lebih sekitar 29 orang, muncullah beberapa nama terkuat seperti Tholhah, Bahari al-Wasii’, dan Masrur Irsyadi (still smile… when type those words). Dan melihat kandidatnya, sepertinya masing – masing punya kans kuat untuk menang. Benar saja, setelah dilihat ternyata persaingan suaranya sangat ketat, dan dimenangkan oleh Masrur dengan 12 suara, disusul oleh Bahari dan Tholhah masing – masing 8 dan 7 suara. Kami akan mendeskripsikan dan mencoba menganalisis mengapa kandidat pertama yang menang, mengapa ? karena pemenangnya adalah yang menulis kisah ini. Ya sederhana, karena yang pertama ini sejak semester satu dikenal memang dikenal istiqomah tidur saat kuliah di jam – jam rawan, juga dimata – mata kuliah yang disampaikan secara monoton, kami sangat ingat seperti mata kuliah ‘Ulum al-Qur’an, ‘Ulum al-Hadits, Civic Education, Tajwid (banyak amat….). Tapi, sejujurnya sih, bukan apologi alias membela diri juga tapi, intensitas itu sudah dikurangi sejak semester dua karena ingin sebetulnya bertaubat dari budaya jelek ini (istajiib du’aanaa Ya Robbii). Tapi, beberapa pendapat kawan – kawan menyebutkan demikian, jadi biarkan saja ya. Jargonnya adalah an-Naum yuaddii ila al-barakah[1].
               Ok, nominasi kedua, dipilahlah karena kami sebagai pemenang maka kami memilih nominasi the-galau-est people. Benar saja, kandidat yang telah lama diperbincangkan itu akhirnya menang, Bahrudin al-Indramayuwi (nisbatan ilaa ashlihi) al-Bakasi (nisbatan ila manzilihi) al-Galawi (laqoban likatstratihi…. Hehehe). Dengan kemenangan yang nyaris mutlak, perolehan 21 suara itu bagi kami hanyalah taukid bagi manuver – manuver statusnya yang romance, tapi galau (untuk statusnya seperti apa, sepertinya tidak perlu diterangkan ya, karena kedudukannya menjadi tahshil al-haashil). Pemenang yang menyatakan sebagai mutaabi’ FPI ini selalu dikenal dengan status – statusnya yang tidak jauh – jauh berkisar tentang……. cinta. Pernah suatu saat, ia mengakui secara langsung bahwa………………. (lanjutkan sendiri saja ya).
               Kami, sudah lupa urutan – urutan penyebutannya karena dipilih secara acak. Yang jelas, ada nominasi wanita tomboy, nah yang ini pemenangnya Zakiyatul Mahmudah alias d’Zaky Averroez alias Ahmad Zaki (nama yang terakhir, ada kisahnya, bersabarlah). Kami sendiri tidak begitu tahu, mungkin karena memang gayanya yang tomboy, cuek (gak juga sih, tipe ini juga banyak), dan galak (‘indii qolill, lakinn ‘inda al-aakhoriin laa adrii). Tapi, percaya atau tidak ternyata ia seorang pekerja keras juga, terutama dalam urusan menghafal, dan ternyata diam – diam dia adalah pakar nahwu juga, terutama di kelas A. Jadi, tomboy itu hemat kami hanya tampilan luarnya saja, bahkan kalau yang jeli melihat televisi dan memperhatikan beberapa tokoh muda NU, mungkin pernah dengar nama Zuhairi Misrawi yang sering berbicara soal politik timur tengah, isu Islam di Indonesia, dan lain – lain. Aktivis Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam NU) ini ternyata kakak iparnya (pertama tahu, langsung terkesan), dan ternyata ia memang sengaja merahasiakan (pengumuman-pun mungkin apa pula manfaatnya……hmmm...).
               Nominasi lainnya masih ada sekitar 9 lagi, seperti the lebay-er (bahasa Inggris daerah mana ini….. aah haadza min al-lahajaat), ronaldo-wati, watados (akronim dari Wajah Tanpa Dosa - sok tau banget), kecil – kecil “Cabe Rawit”, Dosen Style, Kau Yang Terzalimi – Tergosipi, Kaulah Bundaku, dan The Best Couple (yang terakhir harusnya gak perlu nominasi, sudah mafhum biduuni al-tafshil wa al-tabayyun lakiin li al-taukid wa al-taakkud min fushuulih -à tapi nanti ada ceritanya kok, diusahakan !!!). Lebay-er secara dimenangkan oleh Muhammad Abdul  Halim Zuhri alias Halim (qoola qowmun: Bung Halim, qiila: Mas Halim). Dengan mengalahkan beberapa nominasi lainnya seperti Muhammad Nurjaman alias Enzhe sang eMCe, dan Muhammad Shofiyullah Mahmud (laqobuhu Ochest à nyambung gak ???, tapi sudah lama dipanggil seperti itu katanya, bawaan dari pondok). Berhubung waktu itu Bung Halim tidak hadir, karena ternyata sedang mengikuti dauroh (catatan: ane belum paham betul makna istilah ini, yang tau segera kasih masukan ya) Universitas Islam Madinah di Ponpes Darunnajah, Ulujami  - Jakarta Selatan (kalau benar – benar lolos, semoga selalu berkah dalam mencari ilmu bung). Lebih focus, kenapa harus dipilih Lebay-er, mungkin dilihatnya dari segi lenggak – lenggok, gak sih. Mungkin juga, dari sisi, apa yaa…. Bicaranya itu lho kadang suka muncul  rusuum al-nisaaiyyat (gambaran-gambaran kewanitaan), tapi  untuk hal ini kami selalu yakin ia tidak begitu, ya sudahlah… likulli ra.siin ra’yuun.
               Ronaldo – wati, sebetulnya hanya akan mudah dinilai kalau anda adalah para penghuni aspi (Asrama Sepi, eeh bukan2. yang benar  ”Asrama Putri”). Karena beberapa nominasinya misalnya, Tria Farhanah (ista’mil haa fii aakhiri, sepertinya dalam dialektika gramatika sunda/tinggi banget ngomongnya penambahan konsonan diakhir nama merupakan salah satu dari sekian mazaayaa bahasa Sunda, seperti pengulangan akhir suku kata, contohnya: Denden, Dadang, Iing. Dan masih banyak lagi, perlu diteliti juga nih, keren….), Aqoy Qoyyimah (tuh, sunda lagi), dan Zakiyatul Mahmudah. Tapi, ternyata pemenangnya, sesuai dengan perkiraan adalah yang pertama yaitu Tria Farhanah. Ketika memberikan sambutan pada malam itu, atas kemenangannya ia hanya mengungkapkan bahwa senang saja dengan permainan sepakbola, okey kalau begitu tapi ternyata tim lantainya di ASPI, pernah juara dalam kompetisi antar lantai di ASPI, okey2.
               Watados, nominasi yang untungnya semua yang menjadi kandidat kuat tidak hadir, ya mungkin tidak hadir pun tidak berdosa, ya. Watados adalah singkatan “wajah tanpa dosa”, tidak jelas dan tak terlacak sepengetahuan kami dari mana istilah itu berasal. Namun, sisi lain tidak ada deskripsi yang jelas tentang istilah ini. Tapi, dengan melihat nominasi plus pemenangnya mungkin langsung bisa menjawab kenapa demikian. Sekian nama yang masuk dalam nominasi pada kategori ini adalah Muhammad Yusri, Bahari al-Wasii’, dan Halim (masyhur bilaqb “Bung Halim). Namun, karena tidak satupun dari ketiga nama tadi yang hadir, kami akan berfokus pada nama pertama (kenapa ? karena dia yang menang, simple..kan). Bagi kami, pada awalnya ia dikenal sebagai orang yang pendiam, namun berusaha memperhatikan apa yang diamati di pergaulan – rupanya ia sangat pemalu, dan enggan berbicara. Bahkan, sangat menyedihkan jika ternyata ia tidak bertanya sedikitpun tentang hal – hal penting dalam kuliah, seperti jumlah SKS dan sebagainya. Tapi intinya, sosok yang menurut akhinaa Miftah, yang mana ia menyampaikan info ini muttashilaan ke ane (hal ini: masrur) dalam obrolan santai di Bis yang membawa kita ke Cisarua, bahwa ia ternyata sudah hafal bait Alfiyah[2], sebuah prestasi besar dikalangan santri kalau sanggup menghafal bait – bait Ibn Malik al-Andalusi (appendiks: ada kisah, mungkin ini budaya di pesantren bahwa Kyai tidak segan – segan untuk mengawinkan anak putrinya kepada salah satu santri yang berhasil menghafal 1000 bait tersebut, so apa yang akan anda lakukan para pembaca yang mungkin sudah, atau sedang, atau baru ingin menghafalkan 1000 bait yang berisi tentang qowa’id al-nahwiyyah, silahkan dipikirkan sendiri !). Sehingga, mungkin wajah bisa menyiratkan perkataan – perkataan tak sedap, tapi sisi – sisi dalam seorang Yusri (Muhammad Yusri) perlu pembacaan lebih jauh. Jadi, jangan pernah patah semangat, dan mematahkan semangat orang lain !.
               Nominasi lainnya misalnya kecil – kecil “Cabe Rawit”, penghargaan bagi mereka kaum minimalis (oooh, salah2 ya), maksudnya yang secara fisik kecil, namun punya semangat dan gaya yang kuat seperti tukang “Cabe Rawit”. Kalau bagian ini, sebetulnya tanpa perlu survei pun, sudah bisa diperkirakan. Yak, Musfiroh alias Muzviee ini memang dikenal dengan langkah – langkahnya yang pedas, tapi sebetulnya punya rasa penakut yang besar tidak bisa dinafikan juga (sorry ya mpiee,,,, hehehe). Dengan perolehan grafik yang sangat tumpang, dengan hampir 21 suara, dan beberapa nama masing – masing seperti Iliyun, dan Miftah hanya mendapat satu suara. Remaja asal Banten ini (kayak yang iya aja, kalimatnya hehehe) mungkin dinilai dari gaya berbicaranya yang ceplas – ceplos, riweeuuh (ini bahasa apa ya, tolong diterjemahkan…), dan statemennya yang aplikatif --> untuk menggetarkan hati orang, membuat ia dinilai demikian (dalam analisa kami, tapi mungkin saja salah). Harus mendeskripsikan apa lagi ya ? ya sudahlah, pokoknya selamat buat Muzviee semoga menjadi anak yang sholihah, amiin.
               Masih ada yang belum terbahas rupanya, ada Dosen Style, perlu diingat style is first step to be known about someone, as long as you know. Tatanan dekil, segera mencerminkan kesan awal bahwa ia adalah seseorang yang jarang merawat kondisi tubuhnya, sehingga kesimpulannya “penampilan adalah, kata – kata pertama yang segera bercerita tentang keadaan siapapun. Nah, kembali pada dosen style, beberapa nama yang telah masuk nominasi diantaranya rois al-qoum fii fashlinaa Dzul Fajruddin, lalu Bahari al-Wasii (belakangan sekarang ditambahkan al-Jamily Sukses, mungkin maksudnya sebagai orang yang tampan, dan juga sukses --> tapi sok tau lah, silahkan beliau langsung yang menjelaskan) dan kembali, Bung Halim walaupun suaranya ternyata berimbang dengan Yusri. Ok, singkatnya Dzul pun menang, dengan perolehan 10 suara, disusul dengan Bahari dengan 8 suara. Persaingan yang ketat ini, dalam urusan penampilan mungkin bisa diambil dari beberapa hal, karena Dzul adalah tamatan Pondok Modern Gontor, serta Bahari adalah pesantren yang “sepemikiran” dengan Gontor. Dalam sambutan atas kemenangannya (ini serius banget bahasanya) ia menyatakan bahwa ini adalah karakter yang diajarkan oleh Pesantren. Sementara saudara Bahari, sebetulnya adalah orang yang santai dan baru beberapa bulan terakhir saja mulai kembali berpakaian yang necis sekali. Alasan sederhana, bahwa karakter orang sukses juga dibangun dari cara berpakaian, sebuah pesan dari MLM. Ya, karena ia sedang semangat menekuni bisnis MLM Melia Nature Indonesia yang menekankan pada produk Propolis dan Melia Biyang. Ya, semoga berhasil dengan usahanya, walaupun jujur entah karena kurang memahami, atau lainnya kami masih enggan untuk berkecimpung di dunia seperti itu, dengan melihat kebutuhan dari produknya, dan pertanyaan kami sejak dulu adalah mengapa MLM sering mempromosikan produk yang “bukan kebutuhan utama” tetapi dipromosikan dengan sangat luar biasa, dan dalam system tersebut “karakter sukses” itu sangat dibangun sehingga terbangun semangatnya (silahkan Bung Bahari yang menjawab….. hehehe). Kembali pada pendapat yang menang, sebuah pendapat yang bagus memang, tinggal hemat kami bisakah dengan shurah orang yang rapih, necis, sehingga menunjukkan kesan sukses itu sesuai dengan langkah – langkah akademis dan pengamalan aplikatif yang telah diajarkan, waktu dan keinginan kitalah yang menentukan.
               Nominasi lainnya masih ada, Kau Adalah Bundaku, kalau ini jelas perempuan ya – pemenangnya pun sebetulnya dipastikan adalah Nur Hamidah, lebih akrab disapa oleh sebagian besar kawan – kawan Ka Hamidah. Tapi, ternyata suaranya itu hanya selisih satu dengan Mbak Anis Afifah, disusul dengan Khaulah (kalau ini sih, sebetulnya masih muda tapi omongannya yang dewasa membuat ia juga dituakan), dan Is Is ‘Izzatul Mu’minah (Ini juga keren, kekuatan ingatannya bagus sekali, orangnya pun easy going dan bisa cair dengan siapa saja). So, kedewasaan seseorang berbanding lurus dengan besar badannya (lho…), tapi sepertinya tidak juga karena dari beberapa kabar yang kami ketahui, memang keduanya adalah sosok yang paling mengayomi kaum hawa, ya setidaknya sebagai teman curhat, dan memberikan masukan – masukan bagi yang lain. Tapi, untuk Ka Hamidah al-Hafidhah (kalau pengakuannya sih belum hafidh, karena masih sisa 3 – 4 juz lagi yang belum hafal) sebagai pemenang, kami (kali ini Masrur) memberikan kalimah al-tahniah wa al-ihtiraam afwaq al-faaiqoh dengan melihat semangatnya dalam mengerahkan diri sendiri, serta mengajak yang lain untuk ikut serta dalam belajar, karena hampir setiap ada musykilaat dalam belajar, dan jika ada waktu senggang ia selalu menghubungi siapapun yang dianggap kompeten untuk mengajarkan materi – materi tersebut, bahkan yang santai – pun akhirnya terbawalah arus – arus yang dibawa ka Hamidah, dan semoga senantiasa demikian, karena bukankah mendapatkan teman yang selalu mengajak kepada kebaikan merupakan hidayah dari Allah !, dan untuk Mbak Anis yang selalu tersenyum, dan tidak pernah marah ini yang ternyata seorang yang cerdas dalam akademik, ooh syuf haadza harus ditularkan yang mbak, kepada yang lain semangatnya,  Ok mbok (enakan dipanggil mbok, gak apa-apa ya) !!.
               Nominasi lainnya adalah Dia Yang Terzalimi, tapi untuk lebih santai digantilah tergosipi (padahal gosipin orang itu bagian dari kezhaliman juga ya, Astaghfirullah al-‘Adzim). Yang dikategorikan masuk nominasi adalah Fairuz Hakimah (feeling ane sih dia yang menang), Khaulah Mujahidah Fillah, dan Musfiroh (kenapa perempuan semua yaa…), sebetulnya masih ada Hudori, Zakiyah, dan Halim serta Seniman. Masing – masing dengan perolehan 13 suara, 4 suara, 2 suara, 2 suara, 1 suara untuk 3 nama terakhir. Jadi, benarlah Fairuz Hakimah (waktu menang itu, di slidenya yang diedit saudara Hudori, fotonya diambil dengan ekspresi yang benar – benar tidak menguntungkan, tapi sangat pas dengan kondisi sebagai pemenang terzalimi, jadi mohon maaf ya, jangan diambil hati, teman saya memang begitu…… lhoo). Awalnya, kriteria tergosipi itu ketika banyaknya digosipi dekat dengan lawan jenis misalnya, berarti kesimpulannya…………………… (lanjutin aja sendiri ya, kami kehabisan kata – kata). Tapi, tetap semangat buat pemenang, semoga besok tidak terpilih lagi (kalau gak ada nominasi itu).
               Nah, ini yang terakhir The Best Couple (katanya lho, gak tau aslinya). Kami, sebetulnya merasa tidak perlu dibuat nominasi, karena pemenangnya sih sudah bisa ditebak. Yak, Miftah n’ Khaulah (khaulah lagi……) disusul oleh Hudori n’ Zaki, dan sederet nama – nama lainnya, namun hanya mendapatkan satu suara. Mungkin, sih memang benar kalau ada “sesuatu” (syahriniers) sehingga yang kami amati, kyai itu kalau sudah ngobrol sama Bu Khaulah itu, kayak salah tingkah gimana gitu. Tapi, hati – hati aja lah, setrum itu kadang – kadang suka mengeluarkan arus pendek akibat ada kabel yang rusak, atau tidak terpasang dengan baik (maknanya, sila tafsirkan dan renungkan sendiri). Kalau yang kedua, nampaknya hanya berita – berita yang syawaahid-nya tidak begitu jelas jadi segera menghilang dan tak ada kabar beritanya lagi.
               Syahdan, qod takhollashnaa di bagian Awards, acara pertama yang diadakan ini ternyata cukup mengundang gelak tawa, apalagi memang direncanakan untuk mengambil foto -  foto dengan ekspresi – ekspresi ghorib dan nadir. Kemudian, waktu yang telah menunjukkan jam 9.30 malam, dilanjutkan dengan menonton beberapa potongan film yang telah diedit. Dimulai dari perjalanan survey, menuju Cisarua . Sesi – sesi awal video ini memang banyak kesalahan istilah, terutama kasus saling memojokkan surveyor, dari komentar Che.che --> nama lain dari Seniman tentang sungai kota Bogor yang disayangkan sangat kotor, yang katanya sangat bagus kalau berwarna putih (putih, jernih kali….. memangnya susu hehehe), presentasi Hudori tentang sebuah daerah di Cisarua dan dengan pede-nya ia menyebut “kita lihat disebelah kiri saya, terdapat kebun teh” kemudian muncul jawaban “kopi, sok tau lu”, sahut Fahru sehingga menjadi special text divideo tersebut, sampai keyword yang masyhur sejak setelah survey, dan selama rihlah yaitu wawancara singkat terhadap Miftah ketika ditanya tentang perjalanan waktu itu, kemudian muncullah ceplosan kata (apa, hayo siapa yang bisa jawab …???) “apalagi ama do’i, oh subhanallah” dan kata – kata ini pun populer karena telah “bleweran” kemana – mana. Ditambah lagi dengan potongan – potongan video kegiatan selama tahun pelajaran ini (ada video yang hemat kami sebetulnya ghoir muaddab, yaitu ketika Ust. Usman, mengajar Bahasa Inggris dan ada disesi keberapa – saya lupa saat beberapa mahasiswa disuruh mempresentasikan bacaan di modul, beliau lalu garuk – garuk kepala seraya muncul flying text “syuf haadza” --> apa maksudnyaaa ini….ya sudahlah, biar akhiinaa al-kariim Hudori yang menjawab), tapi nampaknya cukup mengesankan bagi para pemirsa, pepemirmrisa,,, (bahasa siapa hayoo…).
               Sebetulnya, dalam penggarapan cerita ini, mulai muncul rasa malas meneruskan karena ternyata review ini menjadi panjaaaaaanggggg (ini efek lebay ya, bukan modus wong) sekali. Tapi gak apa – apa, tetap semangat sebagaimana, semangat kita menghadapi syahru al-qur’an alladzi maa daama Allah yanzilu al-barakah al-Mudoo’afaah ‘alainaa fiih, amiin, amiin Yaa Rabb al-‘Aalamiin.
               Setelah nonton selesai, kami sebetulnya menyangka bahwa judul acara evaluasi adalah sekedar sharing ringan dan merencanakan acara pagi yang sebetulnya sudah dipersiapkan berupa games dan sebagainya. Malah, justru membicarakan tentang angket “Kata Mereka Tentangmu” (tadinya ini rahasia lho). Rencananya adalah angket ini disebarkan bersamaan dengan angket untuk awards, namun disusun untuk dibaca secara perseorangan dan pribadi (tapi yang menyusun review ini yang menyusun, jadi punya dokumennya dan tahu seluruhnya --> saya berjanji untuk tidak berkata pada siapapun), maka setelah itu dilanjutkan dengan dengan sharing ringan, dan masing – masing berkomentar tentang kesan komentar – komentar tersebut. Dan diskusi ini, jadi panjang karena, pada keesokan harinya ternyata diteruskan lagi (ikuti terus yaa).
               Waktu sudah menunjukkan jam 10.30 dimulai dari beberapa teman yang berkomentar. Misalnya kami (baca: Masrur), lalu Shiroot yang awalnya mengeluarkan ekspresi terkesan “marah”, eeh ternyata malah terkesan betul. Ada lagi seperti Ochest, yang……… (waktu mau komentar aja, bicaranya buuerrat sekali --> presented lahajat Suroboyoan) yang berjanji kan mengubah kembali namanya menjadi Shofi (boleh diartikan jernih, bening, pure, kholish, kalau boleh kutip dari Taaj al-‘Uruus : الصَّفِيُّ : ( خالِصُ كلِّ شيءٍ ) ومُخْتارُه ، ومنه آدَمُ *!صَفِيُّ اللّهِ ، أي خالِصُه ومُخْتارُه  J. 28 hal. 428). Mungkin, dengan berganti nama, seperti katanya dengan periwayat bil al-ma’naa bisa merubah karakter karena ternyata menurut pengakuannya banyak yang berpendapat ia sebagai sosok yang usil (kosakata baru: Cunihin (sunda) artinya usil), tapi tetap semangat buat Shofi. Ada lagi, yang berpendapat seperti Bahrudin yang melakukan (lagi-lagi, saudara saudara) apologi – apologi cintanya yang “sastra” sekali. Lalu, seperti Enzhe menceritakan latar belakangnya yang ternyata dulunya seorang pendiam dan ceplas – ceplosnya dimasa kini lebih untuk mengekspresikan keberaniannya berbicara (ok, tapi bagaimana kalau berbicaranya diproyeksikan --> bahasanya untuk pendapat – pendapat yang ilmiah ya tanpa mengesampingkan becanda yang sesuatu situasi dan kondisi ---> walah, lama – lama kayak konsultan saja. Ada lagi, seperti Kang Fahru, wah hujuum sekali komentar mas jowo responnya. Gimana dengan ketua panitia ? Seniman, merasa sangat terbangun dengan berbagai komentar tersebut, hanya saja ada komentar yang menyakitkan menurutnya (maaf ya bro, siapa yang komentar tidak bisa disebutkan untuk menjaga ukhuwwah, dan stabilitas serta atmosfir kerukunan kelas) karena berhubungan dengan gaya bicara (contohnya, lihat di paragraf – paragraf sebelumnya).
                 Tapi, tidak seluruhnya dilanjutkan karena waktu sudah sangat larut sebagian sudah mulai ngantuk (termasuk kami saat itu, dan saat mengetik bagian ini. Tapi tenang, lanjutkan terus sehingga memutuskan untuk diselesaikan. Sebagian kawan – kawan ada yang bakar jagung mengisi dinginnya malam, ada yang ngobrol – ngobrol (ujungnya sih curhat…… cinta), nah ini yang terakhir gaple-an dan remi-an. Kami tidak tahu persis, karena sudah tertidur sejak awal dikamar (jadi, kurang lebih seperti itu, ada apa selama saya tidur, tolong di ta’liq dibagian ini bagi yang tahu ya).
               Jam 2.15, kurang dari 3 jam sudah terbangun. Dan sebagian rupanya masih terjaga. Apalagi yang curhat cinta, haduuh gelap – gelapan lagi. Tholhah dan Hudori, masih semangat dengan PS di laptop, ada yang ngobrol dipojok kolam (ini kalau tidak salah, Fahru dan Shiroot), dan tim gaple-an masih tetap main (ya Allah). OK, jam 3.00, masing – masing ada yang lebih memilih tidur, tapi tidak untuk Zaki dan Anis. Dengan tekad yang bulat, pasangan ini memilih untuk tidak tidur (lho, kaya kampanye gubernur). Jadilah, (sekarang ganti, tokohnya saya) saya yang sudah tak ngantuk lagi harus mengajak ngobrol keduanya. Awalnya ikut irama permainan remi-an, lalu gaple-an, dan akhirnya bosan, lalu makan (sudahan). Karena untuk tidurpun tidak bisa, kami pun akhirnya ngobrol – ngobrol santai. Pokoknya ngalor ngidul, tapi disini ada catatan menarik, Zakiyatul Mahmudah pernah punya nama Ahmad Zaki ! (kalimatnya spektakuler, kayak infotainment). Sebelum cerita, ada awalan begini bahwa semakin malam ketika seseorang akan semakin mudah menceritakan sesuatu, termasuk sesuatu yang jauh dari perkiraan seperti latar belakang keluarga, bahkan sesuatu yang tak mau diungkapkan saat terang akan diungkapkan di malam hari (ini sih, katanya…. Jadi nilainya bukan penelitian yaa sok tau aja). Tapi, Zaki cerita bahwa awalnya orangtuanya sudah mengira bahwa yang lahir adalah anak laki – laki, sehingga sudah dipersiapkan nama Ahmad Zaki. Tapi, ketika lahir perempuan – ya jelas tak cocok maka dinamakanlah Zakiyatul Mahmudah (simple sekali, nama baru cukup dengan merubah shighah al-kalimah Zaki – tinggal ditambah ta marbuthoh jadi Zakiyah, lalu nama Ahmad dengan wazan af’ala yang termasuk golongan Ism Ghoir Munshorif far’ ‘ilmiyyah dirubah jadi wazan maf’uulatan --> kalau ini mungkin bentuk maf’uul yang ditambahkan ta’ marbuthoh --> mohon dikoreksi “Miftahul Huda, Zakiyah Mahmudah”). Oh ya, sebelum melanjutkan saya mohon izin kepada mukhotob cerita ini untuk diceritakan ya, kalau belakangan ada complains and critics langsung komentar ya. Fokusnya bukan disana, karena ternyata ia sempat tidak tahu bahwa namanya yang sesungguhnya adalah Zakiyatul Mahmudah. Sampai suatu saat di pesantren, ia populer dipanggil Zaki. Dan ketika diceritakan kepada ibunya, barulah diketahui bahwa sebetulnya saat masih dalam kandungan pernah dikira akan lahir anak laki – laki, dan nama itu yang direncanakan (puuantesss tomboy poll...). Saya pun baru tahu, hobinya adalah menggantung boneka dan menyeret – nyeretnya di jalan (implikasinya adalah hobi sekali dengan film horror dan karena pernah bercita – cita menjadi dokter bedah), lalu pernah main kompor didalam rumah (wah jangan ditiru….).
               Sampai subuh, kami bertiga ngobrol – ngobrol ringan dengan teh hangat dan makan mie goreng sisa makan malam. Lalu jam 5 pagi satu demi satu dari kami mulai pergi untuk melaksanakan sholat subuh (begitu masuk, ya Allah masih tidur….. bangunnnn sudah subuh. Kadang lucu juga, malamnya waktu berdoa dalam rangka nishf sya’ban khusyuk sekali – tapi mungkin ini yang namanya sisi manusiawi seseorang, tapi sudahlah kami pun masing sering demikian.
               Baru jelang jam 6 pagi, beberapa teman putri mungkin sudah sholat di kamar dan mulai menyiapkan sarapan pagi dan menunya kali ini adalah nasgor (akronim nasi goreng, lebih masyhur dengan nama akronimnya), ada yang bersih – bersih, ada pula yang tidur lagi. Tapi, ada yang keren yang gak tidur semalaman, balik lagi ke meja belakang buat gaple-an dan remi-an (hadooh…..). Tapi, yang kami ingat sampai menjelang sarapan sekitar jam 8 pagi seluruh kegiatan hanya diisi oleh kegiatan – kegiatan ringan seperti nonton tv, main game, foto – foto (nah, faqod ashbaha al-moduusaat fii haadza al-majaal). Lalu skitar jam 7.30 semuanya makan (ternyata, menu pagi itu menjadi menu yang paling disantap habis, dan karena masih ada sisanya dimakan lagi setelah jalan pagi ke kebun teh).
               Rencana pagi itu, memang melihat – melihat kebun teh yang berada di arah selatan villa sekitar 500 meter. Semua pun berjalan menuju kesana, dan jalannya rupanya makin menyempit karena ada jalan yang berbagi 2 dengan saluran air (lagi – lagi, memang foto itu sering digunakan menjadi wasilah buat modus….. kok langsung kesini, belum nyambung). Sampai dikebun teh, yang merupakan destinasi wisata didaerah sana, karena setiap pengunjung bisa ikut membantu para pemetik kebun teh. Coba bagaimana menurutmu para pembaca, setiap pemetik pucuk daun di kebun teh itu dihargai hasil petikannya sekitar Rp 500,-/kg, sementara untuk mendapatkan per hari 10 kg itu, kata salah satu pemetik disana butuh waktu dari pagi hingga sore (berarti cuma Rp 5000,- , buat makan nasi ayam di pesanggrahan aja masih kurang Rp 3.000,- , hidup kadang tak adil……. What must we do ?)
               Kembali ke cerita, akhirnya semuanya memutuskan untuk keatas lagi, dan berkumpul disebuah tanah lapang – dan ternyata tidak jadi games, namun meneruskan evaluasi yang dibicarakan semalam (sebetulnya ini sangat jauh dari perkiraan kami, karena awalnya angket itu diperuntukkan untuk pribadi, dan khawatir menimbulkan kecemburuan atau percikan – percikan kecil jika diungkapkan secara terbuka maka kami memilih memasukkannya kedalam amplop dan diserahkan kepada masing – masing). Rupanya, atas instruksi seksi acara, kang Fahru (mungkin juga dia ngantuk karena begadang semalaman) maka dilanjutkan dengan sharing dari beberapa teman yang belum mendapatkan kesempatan berbicara. Tapi, secara umum respon yang diberikan kebanyakan positif. Yang kami ingat, misalnya ada yang mengatakan bahwa sangat merasa terbangun, dan menjadi motivasi dengan komentar – komentar tersebut – padahal tadinya ia sempat punya pemikiran untuk mundur dari FDI, kini ia malah men-support siapapun untuk bertahan di fakultas itu (ya, semoga diiringi dengan semangat belajar yang besar dan consist ya…). Ada yang awalnya merasa kurang kerasan sehingga sering cepat pulang setelah kuliah, dan kebetulan ia harus pulang pergi Ciputat – Bekasi. Ada pula yang memberikan responsi yang cukup tajam (setajam………… silet… lho bukan ya) tapi tidak sampai dijadikan perdebatan yang tak berujung. Ada yang merasa berterima kasih dengan adanya komentar tersebut, dan memohon maaf bila selama ini ada tingkah laku yang kurang berkenan.
               Tapi, ada satu komentar menarik dimana banyak juga pada waktu itu jadi sambil memberikan respon atas komentar – komentarnya ada pula yang memberikan kickback dengan respon atau pernyataan – pernyataan (sebetulnya, ini yang dikhawatirkan terjadi) yaitu pernyataan bahwa sebetulnya inti pembicaraan itu semua adalah saling mengoreksi diri, dan mengingatkan adalah hal utama dalam setiap hubungan. Tak terasa, lebih dari 1 jam sudah pembicaraan mengenai evaluasi dan sharing antar ‘adhwu al-fashl. Dan kegiatan itu diakhiri dengan foto bersama.
Kalimah al-Ikhtitam wa al-Targhib
               Akhirnya, review yang singkat ini sebetulnya masih ada beberapa cerita yang ingin diteruskan, tapi nampaknya bukanlah merupakan sesuatu yang tidak perlu didiskusikan dan direnungkan (ini sih biar kelihatan ilmiah, aslinya sudah “malas” dan “lapar” --> bukan makna sesungguhnya ya), walaupun ada cerita – cerita pinggir yang lucu juga untuk diangkat ke tengah seperti kasus zaidun qoimun vis to vis dhoroba zaidun (kalau ada yang merasa, mintaaa maaafff lagi yaaaa………..) tapi sepertinya tidak terlalu substantif untuk dibicarakan.
               Dan kalimat penutup dari cerita ini adalah, semoga dengan momentum bulan ramadhan ini, adalah momentum untuk bertolak dari kemalasan, dan keapaadaan dalam melakukan sesuatu (khususnya buat yang nulis, semoga taubat dari tidur panjangnya). Karena, keapadaan itu sudah pasti secara simultan menunaikan kita kepada formalitas semu – yang entah kenapa selalu menjadi kekhawatiran kami dengan melihat menurunnya aspek kritis – konstruktif dari kalangan mahasiswa (yang dalam konteks dirosat, mu’dhomuhum adalah santri, atau yang pernah bergelut dengan dunia skolastik santri). Sederhananya, bukankah Ulu al-Albaab (golongan yang berusaha memahami esensial) adalah  orang yang senantiasa mengkaitkan antara istiqrooat (pengamatan induktif) yang dalam konteks ini adalah melihat fenomena praksis dari masyarakatnya untuk kemudian diselesaikan dalam bingkai keimanan (teringat surah ali Imran 190 – 191). Tapi, semoga hal – hal ini bisa menjadi penyemangat dan pembangkit semangat kembali, khususnya pada diri kami dan umumnya bagi para pembaca review ini. Dan semoga iman, persahabatan, kasih sayang, dan tekad bulat menjadi tetralogi yang selalu mengikat semua dalam naungannya. Wassalam
تعلم فإن العلم زين لأهله * و فضل و عنوان لكل المحامد
و كن مستفيدا كل يوم زيادة * من العلم و اسبح في بحور الفوائد
تفقه  فإن الفقه  أفضل قائد * إلى البرّ و التقوى و أعدل قاصد
هو العلم الهادي إلى سنن الهدى * هو الحصن ينجي من جميع الشدائد
فإن فقيها واحدا متورعا * أشد على الشيطان من ألف عابد[3]


[1] Ada cerita menarik sebetulnya, jargon itu kami (baca: masrur) ambil dari salah satu kakak kelas di Pesantren Daar al-Sunnah, yang baru saja diwisuda dan mendapatkan predikat sebagai mahasantri terbaik ke-2. Didalam Dzikrayaat al-Takhorruj ia menuliskan pesannya dengan kisah Naaimiin tadi, dan isinya menurut kami sangat membangun karena melihat sisi lain, dari tidur itu sendiri. Intinya, tidak selamanya tidur itu buruk, karena banyak pula yang berhasil, walaupun sehari – hari sebagai tidur. Dan kebetulan juga, ia seorang teman baik kami namun ia sering menekankan bahwa jangan dijadikan sebagai kesengajaan, karena akan menyesal dikemudian hari dengan tidur – tidur di waktu yang bermanfaat. Sangat mungkin, ada keterangan – keterangan penting yang tidak kita dapatkan di muqorror ada saat jam – jam kuliah. So, Tuubuu ila Allah Ayyuhaa al-Naaimiin.
[2] Ini, kaya meriwayatkan hadits musalsal saja, ya gak apa – apa lah, mraktekkan ilmu……
[3] Syair yang masyhur didalam kitab Ta’lim al-Muta’allim hal. 3 karangan Syaikh al-Zarnuji ini adalah salah satu pegangan dan nasihat bagi siapapun yang hendak berkecimpung dalam lautan ilmu 

Rabu, 11 Juli 2012

Cinta: Dari Teori Konflik ke Integrated Chem

Belajarlah membentuk cintamu dengan teori integratif, bukan teori konflik.

Cinta yang berpijak pada teori konflik terjadi ketika dua pribadi yang sama-sama membawa 

mimpi buruk masa lalu, kemudian bersatu & menemukan pelariannya di saat yang tepat. 

Mudah terbentuk memang, tapi menyimpan bom waktu yang siap meledak kapanpun tiap kali 

pasangannya melakukan kesalahan yang sama dengan yang pernah dilakukan sang mantan. 

Cinta ini akan selalu ada bersamaan dengan rasa dendam. Di matanya, kamu tak ada beda

dengan sang mantan. Yang membedakan dirimu dengan mantannya hanyalah ketika kamu 

menawarkan janji cinta yang lebih indah.

Cinta yang baik, selalu berpijak pada teori integratif. Memang membutuhkan waktu yang relatif 

lebih lama untuk membentuknya. Ia terbentuk saat dua pribadi sama-sama memiliki komitmen 

untuk saling menatap masa depan, bukan cinta yang selalu terbayang-bayang akan masa lalu 

yang telah lewat. Cinta yang baik bersedia melepaskan baju masa lalu, memaafkan rasa 

dendam, dan terbentuk ketika dua pribadi bersiap membuka sebuah lembaran yang hanya 

akan diisi dengan catatan tentang dirimu dan dirinya, bukan masa lalu, maupun orang lain 

dalam hidupmu kini, dan nanti.

M. Sofi Mubarok - Alumni FDI UIN Jakarta, Pascasarjana IAI al-Ibrahimy, Situbondo

Kamis, 05 Juli 2012

Refleksi "Malam yg Ngantuk" - Kita dan Teman

Bismillah

 Ya, refleksi malam ini sejatinya, ingin mencoba menelisik tentang bagaimana sebuah

perkawanan itu terkadang membutuhkan sebuah energi untuk mempertahankan dan

menjaganya secara konsisten. Dalam bentuk yang berbeda - beda upayanya walaupun hemat

pribadi penulis nilai - nilai luhur akhlak yang lahir dari pesan - pesan inti keagamaan sudah

semestinya selalu dijadikan poros tingkah laku kita.


Ternyata, kedekatan yang secara bertahap itu semakin menguat, dan batas - batas diantara

dua sisi itu seringkali mulai mendekat bahkan pudar sama sekali tidak melulu membawa

dampak positif, atau setidaknya respon positif dari masing - masing pihak di awalnya. Hal ini

bisa digaris bawahi untuk dua hal yang penting:


1. Poros apa yang digunakan dalam membangun kedekatan itu, selama yang digunakan

adalah emosionalitas kemanusiaan yang "terlalu membumi", dan berimplikasi meninggalkan

emosionalitas kemanusiaan yang bermakna "langit", maka kekecewaan adalah satu dari

sekian implikasi logis dari dawammnya hal itu. Sederhananya, bukankah manusia sebuah 

makhluk yang dho'if dan sangat penuh keterbatasan ini sangat membutuhkan Allah yang

disimbolkan dalam bahasa filsafat "zat yang memiliki entitas tak terikat proses" sebagai

pangkal dari rujukan tingkah laku kita, dan jika manusia sengaja atau tidak meninggalkan itu,

justru akan semakin kehilangan sisi kemanusiaannya yaitu kemuliaannya dimata Allah ?


2. Tujuan dari interaksi dua arah tersebut (al-ta'aamul baina al-thorofain) apakah memang

untuk membangun antar sisi masing-masing, ataukah ada kepentingan - kepentingan yang

sesungguhnya hanya mengedepankan keuntungan pribadi semata yang mengalahkan

kepentingan temannya secara bersamaan, Akhirnya, ketika sisi - sisi itu tersingkap maka

kekecewaan insidental itu akan muncul.

Dua sisi itulah yang semestinya, hemat kami sangat perlu ditekankan dalam membina dan

mempertahankan sebuah interaksi ini. Ditambah lagi, yang sedang menjadi sorotan adalah

ketika bentuk hubungan dua sisi tersebut terburai "aib-aib"nya kedunia masyarakat sosio-

internet, Kami mengambil istilah ini, karena fenomena yang lahir adalah semakin pudarnya

antara ruang - ruang privat dengan ruang - ruang publik. Sehingga, keduanya saling

bergesekan, dan membuang batas-batas itu. Serta, didalam jejaring sosial, kini kita melihat

sebagian masyarakat kita dalam ruang - ruang yang "ghaib" itu.


Intinya, kami hanya ingin menegaskan bahwa:

1. pembangunan akan prinsip yang jelas dalam membina suatu apapun, mutlak diperlukan,

Dalam hal ini hubungan persahabatan misalnya. Dan lebih jauh, adalah menghargai

subjektivitas positif optimistik diatas objektif realistik, yang terkadang masing menggunakan

bahasa negatif misalnya.


2. kami bahkan merasa, sepertinya kita memang harus menahan diri untuk tidak mengatakan

sesuatu yang intinya tidak bermanfaat. Dan lebih jauh, kita pun bisa menghemat energi kita

untuk energi yang lebih dibutuhkan untuk hal - hal yang bermanfaat, aplikatif, dan positif dar

sisi-sisi agama, suku, bangsa, dan negara,

**Walllahu a'lam     - 16 Sya'ban 1432 H

Kamis, 21 Juni 2012

Historia - Semester 2

Bismillahirrahmaanirrahim

Ada berbagai macam cerita selama masa kurang lebih 4 bulan masa perkuliahan ini, artinya dimasa - masa penuh dengan macam - macam kegalauan yang mampir kedalam kehidupan saya, anda, dan kita semua. Tapi, itu hanyalah satu bagian kecil dari memori - memori yang tercatatkan dalam sejarah besar kita masing - masing.

Kemudian, ceritanya akan dimulai dari refleksi kami sebagai mahasiswa. Ya Allah, satu sisi bagi yang sudah pernah hinggap di pesantren - pesantren dalam kurun waktu yang lama, dan mengoptimalkan masa - masa "tak nikmat: itu, tentunya "Kulliyah al-Dirasah al-Islaamiyyah"  UIN Jakarta secara umum bukanlah perkuliahan yang menyulitkan, kalaupun kendala penggunaan bahasa itu akan mudah (Insya Allah) terselesaikan dalam waktu yang tidak lama karena dalam dunia teks dan interpretasi makna - makna tidak mengalami masalah yang berarti. Tapi, kalau tidak, maka cukup menjadi problematika yang cukup memakan waktu dan pikiran (itupun kalau mau dipikirkan).

Di semester genap ini, yang perlu ditekankan adalah bahwa kami tidak bertemu kembali dengan teks - teks berbahasa Indonesia, apalagi Inggris (keduanya menggunakan huruf yang sama). Dan, kami kira mata kuliah yang disampaikan mulai terlihat "taji"nya , sehingga sebetulnya butuh perenungan, pemahaman, dan yang cukup mendalam (itu pun juga kalau mau dilakukan, lain cerita nantinya kalau malas wa akhwaatuhaa menghampiri). Disisi lain, kami pernah merasa bahwa diperkuliahan nanti, seseorang akan dituntut untuk bersikap kritis dengan penalaran, tidak berpusat pada menghafal, dan tidak berkutat pada satu buah pemahaman saja. Inilah yang, pernah dikira oleh kami ketika melihat sosok seorang yang hendak memasuki bangku kuliah. Apalagi, disaat yang sama dunia akademis di UIN (baca: dulu IAIN) dikenal sebagai poros pemikiran yang beraneka ragam tentang Islam. Bahkan, pernah (atau mungkin masih) ditengarai sebagai tempat bersemayamanya tokoh - tokoh Islam, yang dicap liberal, karena banyak melakukan interpretasi - interpretasi yang dianggap "mencederai" makna tauhid dari Islam sendiri. Sehingga, sedikit banyak hal ini menimbulkan dorongan yang kuat untuk menelusuri hal - hal itu yang hanya diketahui lewat 'katanya-katanya' dan "media-media".

Hal ini, sepanjang yang kami amati, tidak sepenuhnya terpenuhi bahkan oleh kami sendiri. Faktor dalamnya kami kira adalah kurangnya ketekunan yang muncul pada diri kita, yang semestinya bersikap tidak lagi menjadikan buku diatas kita selalu, tapi paling tidak memahami betul buku kita letakkan diatas kita tersebut, sebelum sampai meletakkan setingkat dengan kita. Artinya, buku yang diyakini sebagai jejak-jejak ilmu adalah objek dialogis, bukan objek dogmatis sehingga, implikasinya adalah kita senantiasa berusaha menguji kebenaran didalamnya, dengan pembandingan, penelurusan, dengan berbagai macam sumber - sumber lain hingga tercapainya garis merah objek yang kita pelajari. Ini, sangat jarang selama masa ini ditemukan kami, entah sebab bahasa (sebuah masalah klasik, yang masih senantiasa ada di fakultas ini) ataukah faktor luar dimana dunia sangat mobile dan practically-oriented dalam konotasi negatif, ini ternyata sedikit banyak melupakan budaya menulis, menggali, merenungi sehingga memahami setiap apa yang kita lihat, dengar, dan ucapkan. Kami sendiri, menyadari bahwa dengan munculnya fasilitas - fasilitas jejaring sosial yang berimplikasi kepada mungkinnya mengekspresikan sikap kita masing - masing.

*bersambung

Selasa, 29 Mei 2012

Download Kimiyaa al-Sa'aadah

Salahm satu risalah yang ditulis sufi besar Imam Abu Hamid al-Ghozali
Silahkan dinikmati !!

Kimiyaa al-Sa'aadah / Formulasi Kebahagiaan

Sabtu, 19 Mei 2012

Kritik Budaya dan "Ceplokan" Ulang Tahun

      Lebih dari sebulan yang lalu, saya sebetulnya sudah sering menyaksikan itu sejak masih sekolah ditingkat menengah, namun saya baru melihatnya kembali disaat bangku kuliah pada saat itu. Ulang tahun, sebagai sebuah masa, bertambahnya umur dirayakan dengan menumpahkan tepung ke kepala seseorang yang ulang tahun, dengan argumentasi bahwa itu merupakan gambaran akan sikap apresiasi terhadap bertambah umurnya seseorang. Dan, hal itu pada awalnya, penulis kira hanya populer di kota besar saja, namun ternyata sudah sampai kepada daerah - daerah lain. Kesimpulan ini, didapat ketika melihat peristiwa itu, yang dilakukan oleh orang-orang yang saya kenal, begitu pula objek sasarannya. Peristiwa diatas masyhur dengan sebutan diceplokin, karena pada awalnya menggunakan telur mentah untuk ditumpahkan keatas kepala, dan kini bervarian dengan tepung, dan semacamnya dan dilaksanakan saat ulang tahun seseorang. Pada dasarnya, objek sasaran menolak.

        Pada prinsipnya, melihat dari hal yang terjadi diatas, sepertinya muncul kegelisahan mendasar seharusnya dari hal itu. Terjemahan budaya, yang pada awalnya menurut saya adalah kearifan lokal yang mengakar kuat dengan historitas dari objek tersebut, kemudian mempunyai pesan - pesan kearifan yang tinggi kemudian akan bergeser bahkan pendangkalan makna menjadi kebiasaan yang diikuti dari masa lalu saja, tanpa memperhatikan akar historiografi dan pesan - pesannya. Inilah, titik sederhana dari penguatan makna kebudayaan, apalagi jika disinkronisasi dengan pesan - pesan keagamaan yang sifatnya wahyu (sebagaimana Islam) yang bahkan mengisi sebuah budaya, menjadi lebih bermakna dan tinggi mutunya.      

    Kemudian, sudahkah budaya perayaan ulang tahun, dalam bentuk yang demikian telah menerjemahkan makna bertambahnya umur dari ulang tahun, atau ternyata justru menjadi distorsi yang cukup akut sehingga hanya terjebak pada warna-warna dzohir belaka. Ah, marilah kita memahami secara sederhana saja, kita mencoba membandingkan berapa efek negatif dan efek positifnya. Sederhananya, tidak ada seorangpun yang ingin diceplok dengan benda-benda atau apapun yang lazim berada diatas kepala, walaupun diterjemahkan dengan makna sebuah ekspresi kesenangan, namun sesuatu yang tidak lazim dan merugikan dari faktor dalam benda itu sendiri, justru bertentangan dengan semangat kebudayaan, logika yang sehat, dan suasana perasaan. Dan, pada umumnya hal ini menimbulkan perasaan tidak ridho, walaupun sesaat saja bahkan terhadap teman - temannya sendiri. 

     Sesudahnya, pada prakteknya seseorang dimasa kini akan melupakan terhadap apa yang dilakukan, karena demi menjaga solidaritas persahabatan, atau tidak ingin larut dalam ketersinggungan. Namun, perasaan itu akan muncul kembali pada saat temannya, memasuki hari ulang tahunnya. Maka, muncul perasaan saling membalas dengan keinginan supaya mendapatkan ganjaran yang sama dari apa yang pernah dilakukan terhadapnya diwaktu sebelumnya. Hal, ini juga yang justru mencederai semangat kearifan pesan budaya, dan hal itu gagal diperjuangkan oleh budaya ceplok itu sendiri. 

      Dan, disisi lain pada dasarnya hal ini dimasyarakat kosmopolitan seperti ini, tidak begitu banyak dipikirkan, untuk masalah ini yaitu nilai guna sesungguhnya dari benda - benda itu, seperti telur, terigu, dan benda - benda yang dijadikan "misil" bagi objek ulang tahun. Walaupun persaingan, dan permasalahan ekonomi adalah hal yang sering diperbincangkan, diperdebatkan, bahkan menjadi bahan bagus untuk demonstrasi, secara sederhana dilupakan untuk hal ini. Logika sederhanya, jika ingin memahami masalah yang besar, tidakkah lebih baik dengan belajar mendayagunakan sebaik mungkin, benda - benda yang sederhana agar mempunyai nilai guna ?

      Ketiga poin pada tiga paragraf tadi, adalah pekerjaan yang perlu dipikirkan dan dijadikan perenungan untuk perubahan dan relokasi kembali makna budaya dan kaitannya dengan praktek tersebut. Kami yang amatir ini, merasa masih ada cara - cara lain untuk menerjemahkan menjadi lebih baik sebuah budaya tersebut. Sangat banyak, memang hal-hal yang kontradiktif dengan pesan aslinya, dan supremasi makna mendalam dari budaya, dan pemaknaan agama yang mendalam juga bisa menjadi konklusi atas segala pertentangan ini. Dan semoga, hal ini bisa dijadikan langkah bersama bagi siapapun yang ingin mengangkat kembali, pesan - pesan luhur kemanusiaan yang mulai sirna, dan tergerus oleh nilai - nilai praksis yang tidak ada akar yang menancap kuat. Dan, semoga, bagaimanapun teks ini terbuka untuk kritik dan masukan, semoga. 

Wallahu a'lam bi al-showwab

Kamis, 19 April 2012

Mashodir al-Tasyri' fii 'ahdi al-shohaabah - Presentasi Tarikh Tasyri"

Assalamualaikum,
Teman2, untuk presentasi hari Jum'at dengan tema Mashodir al-Tasyri' fii 'ashr al-shohaabah, bisa di-download disini, semoga bermanfaat.


Download Presentasi Tarikh Tasyri'
http://www.4shared.com/file/_atCsrCa/____.html

Sabtu, 14 April 2012

al-Qur'an, Memori, dan Pak Quraish

Bismillahirrahmaanirrahim

Kamis siang, waktu itu sekitar jam 13.30 pada hari kamis, 12 April 2012 kami memutuskan untuk berangkat mengikuti langkah kaki, yang merupakan hasil respon dari sms jarkom (baca:jaringan komunikasi, ternyata populer dikalangan mahasiswa) ke Pusat Studi al-Qur'an (PSQ) di daerah Ciputat. Ini adalah kali pertama mengunjungi lembaga yang memang concern dibidang al-Qur'an, beserta ilmu - ilmu perangkatnya baik 'Ulum al-Qur'an, Tafsir, serta pengkaderannya dimana membina para pemilik hafal al-Qur'an untuk mengikuti pendidikan disana, masyhur dikenal dengan Pendidikan Kader Mufassir (PKM). Tapi, hari itu bukan hendak ikut program, yang khusus bagi para ahli, yang sedang melaksanakan pendidikan S2, atau S3 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan sekitarnya seperti Institut Ilmu al-Quran (IIQ), ataupun Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur'an (PTIQ) Jakarta.

Titik pembahasan pertama, sms nyasar + barokah itu memang acara tentang pendalaman ulumul qur'an dan ulumul tafsir. Dengan segera, kami tertarik untuk hadir disana yang ternyata berbentuk sebuah shortcourse selama 8 pertemuan.

Ada hal yang pertama kali sangat mencolok, hal ini bukan bagian dari sifat norak, tapi saat hendak masuk, sontak kami melihat pak Quraish keluar, beliau hanya tersenyum simpul melihat beberapa orang yang hendak masuk untuk mengikuti program yang dilaksanakan atas kerjasama dengan seorang dosen tafsir (saya tak ingat namanya) dan Fakultas Ushuludin & Filsafat (FUF) UIN Jakarta.

Nampaknya, beliau hendak segera pulang, pada waktu itu dan ternyata memang benar ada sebuah mobil yang telah siap jalan dari tempat parkir, dan kami semua pun memberi ruang beliau untuk lewat. Dan akhirnya beliau meninggalkan PSQ, dan kami baru betul - betul tersadar setelah beliau pergi, dan kami hanya berkata: "Tadi itu Pak Quraish ??!!!".

Ya memang, jauh 2 tahun, kurang lebih sebelum kuliah di UIN, kami pernah membaca, karya - karya beliau yang ada.Tidak semua memang, tapi kalau ditarik garis merah yang kami dapati bahwa retorika yang halus itu sangat, bahkan mutlak mungkin dimungkinkan. Bahasa beliau yang halus, penuh moderasi, melihat sistamatika berpikirnya, dan hal - hal lain yang menyebabkan kami mengagumi tulisan - tulisan beliau.

Ya, moderasi dan ketenangan namun disertai argumen yang kuat, pada akhirnya memang lebih mudah diterima, dipahami, dan diserap masyarakat yang sedang dalam kondisi yang penuh dengan disparitas dan disintegritas sangat membutuhkan pembumian pesan - pesan al-Qur'an, yang menjadi sumber utama dalam Islam.

***___***

Dalam kaitannya dengan al-Qur'an, dimana kedudukannya membutuhkan tafsir, baik itu tafsir itu menggunakan media penafsiran riwayat-riwayat hadits yang dikenal dengan tafsir bi al-ma'tsur, ataupun menggunakan media akal pikiran yang dikenal dengan tafsir bi al-ra'yi. Kaitannya dengan Pak Quraish, yang dikenal paling tidak, atau menjadi favorit kalangan penikmat tafsir di Indonesia dengan penerangan - penerangannya tentang makna - makna ayat al-Qur'an yang mana sering dijadikan rujukan (seingat dan sependek bacaan kami) pada tafsir al-Mishbah adalah karya al-Thobathoba'i (Mufassir yang mempunyai tafsir al-Mizan) dan al-Biqo'i (dengan tafsir Nazm al-Duror). Keduanya adalah tafsir dengan corak bi al-ra'yi. Memang beliau, tidak terlalu banyak menggunakan riwayat - riwayat hadits, dan lebih sering menggunakan makna-makna bahasa, munasabah dengan ayat lain, serta makna-makna yang bisa digali didalamnya dan menggali pesan - pesan yang terkandung, sehingga bisa menjadi kawan dengan zaman, ataupun menjadi kritik bagi zamannya.

Mungkin hal itu, yang bisa sekilas kami bicarakan tentang pak Quraish, dengan tafsirnya. Bagi saya, al-Qur'an adalah hal yang sangat patut untuk diimani, dengan sistematikanya yang sangat menawan, dan tak terbantahkan sebagai sebuah wahyu yang otentik. Dan, bersaman dengan itu, dikelola pula oleh para sahabat yang punyai kapabilitas yang luar biasa, dengan bernafaskan iman. Bahkan, menghafalnya pun sejatinya tidak begitu sulit, sebagaimana yang dibayangkan sebagian kalangan. Belum, lagi ketika mengarah kepada tafsir -tafsirnya yang memunculkan sekian bentuk tafsir - tafsir dengan berbagai macam corak, metode, dan pendekatan. Ditambah, yang memunculkan implikasi hukum yang dijalankan bersanding dengan sunnah, dan melahirkan ribuan jilid kitab - kitab fiqh yang merupakan hasil interpretasi, interaksi, dan  realisasi dari keduanya. Belumlah pada akhirnya, ketika sesuatu harus diamalkan. Sebagaimana al-Qur'an pula, dan pada akhirnya  sebagaimana kata pak Quraish (atau saya kurang dhobit, apakah beliau pernah berbicara ini atau tidak, dalam buku ataupun ceramahnya) yaitu bagaimana menjadikan al-Qur'an sebagai hidangan. Dalam arti, sebagaimana sebuah hidangan, tentulah penjamunya atau kita semestinya menikmatinya sebagai sebuah berkah yang akan masuk kedalam tubuh, dan diserap sari - sarinya untuk diedarkan melalui darah keseluruh tubuh, hal itulah yang ingin dicapai al-Qur'an sebagai sebuah sumber utama Islam.

****_____****

Pada akhirnya, tiga unsur judul diatas adalah beberapa titik penting dari pengalaman yang berharga ini, dan semoga dengan ilmu, kita semua bisa bermanfaat bagi diri sendiri, dan orang lain, serta menjadi orang - orang yang selalu berdoa kepada Allah SWT, dan menjadi orang - orang yang mendapatkan petunjuk menuju jalan ilahi (falyastajiibuulii walyu.minuubii la'allahum yarsyuduun), Wallahu a'lam

Ciputat, 13 Mei 2012

Jumat, 13 April 2012

علاقة الحب بين الشاب والفتاة


د. نهى عدنان قاطرجي
 
بسم الله الرحمن الرحيم

تنقسم العلاقة بين الفتاة والشاب الغريب عنها إلى ثلاثة أقسام: القسم الأول هي العلاقة التي يستوجبها العمل أو المشاركة في أي مشروع نبيل. القسم الثاني وهي العلاقة التي درج على تسميتها بالعلاقة البريئة أو النبيلة، وهي المبنية على الزمالة أو الصداقة أما القسم الثالث فهو المتعلق بعلاقة الحب بين الشاب والفتاة .

1- علاقة الزمالة بين الجنسين

إن اللقاء بين الرجال والنساء في ذاته ليس محرماً، بل هو جائز أو مطلوب إذا كان القصد منه المشاركة في هدف نبيل، من علم نافع أو عمل صالح، أو مشروع خير، أو جهاد لازم، أو غير ذلك مما يتطلب جهوداً متضافرة من الجنسين، ويتطلب تعاوناً مشتركاً بينهما في التخطيط والتوجيه والتنفيد.
ولا يعني ذلك أن تذوب الحدود بينهما، وتنسى القيود الشرعية الضابطة لكل لقاء بين الطرفين، ويزعم قوم أنهم ملائكة مطهرون لا يخشى منهم ولا عليهم ، يريدون أن ينقلوا مجتمع الغرب إلينا ، إنما الواجب في ذلك هو الاشتراك في الخير، والتعاون على البر والتقوى ، في اطار الحدود التي رسمها الإسلام ومنها:
1- الالتزام بغض البصر من الفريقين، فلا ينظر إلى عورة، ولا ينظر بشهوة، ولا يطيل النظر في غير حاجة، قال تعالى: "قل للمؤمنين يغضوا من أبصارهم ويحفظوا فروجهم ذلك أزكى لهم إن الله خبير بما يصنعون، وقل للمؤمنات يغضضن من أبصارهن ويحفظن فروجهن".
2- الالتزام من جانب المرأة باللباس الشرعي المحتشم، الذي يغطي البدن ما عدا الوجه والكفين، ولا يشف ولا يصف، قال تعالى: " ولا يبدين زينتهن إلا ما ظهر منها وليضربن بخمرهن على جيوبهن" .
3- الالتزام بأدب المسلمة في كل شيء، وخصوصاً في التعامل مع الرجال :
أ- في الكلام، بحيث يكون بعيداً عن الاغراء والاثارة، وقد قال تعالى: ( فلا تخضعن بالقول فيطمع الذي في قلبه مرض وقلن قولاً معروفاً).
ب- في المشي، كما قال تعالى: ( ولا يضربن بأرجلهن ليعلم ما يخفين من زينتهن) ، وأن تكون كالتي وصفها الله بقوله: ( فجاءته إحداهما تمشي على استحياء).
ج- في الحركة، فلا تتكسر ولا تتمايل، كأولئك اللائي وصفهن الحديث الشريف ب(المميلات المائلات) ولا يصدر عنها ما يجعلها من صنف المتبرجات تبرج الجاهلية الأولى أو الأخيرة.
4- أن تتجنب كل ما شأنه أن يثير ويغري من الروائح العطرية، وألوان الزينة التي ينبغي أن تكون للبيت لا للطريق ولا للقاء الرجال.
5- الحذر من أن يختلي الرجل بامرأة وليس معهما محرم، قد نهت الأحاديث الصحيحة عن ذلك، وقالت: (ان ثالثهما الشيطان) إذ لا يجوز أن يخلى بين النار والحطب.
6- أن يكون اللقاء في حدود ما تفرضه الحاجة، وما يوجبه العمل المشترك دون اسراف أو توسعٍ يخرج المرأة عن فطرتها الأنثوية، أو يعرضها للقيل والقال، أو يعطلها عن واجبها المقدس في رعاية البيت وتربية الأجيال ".

2- علاقة الصداقة بين الجنسين

تعرّف الصداقة بأنها الحاجة إلى علاقة اجتماعية يتم فيها التواصل والتباذل والتزاور والتفاني والتعاون والتشاور والمباثثة للهموم والآمال، وهذا النوع من العلاقات يحث عليه الإسلام في إطار ما يعرف بالأخوة الإسلامية، المبنية على حسن اختيار الصديق، فنحن بحاجة إلى الصديق الذي يقوّي إيماننا ، ويزيد في علمنا ، ويناصرنا على قول وفعل الخير والحقّ ، وينهانا عن قول وفعل الباطل والمنكر ، ويدافع عنّا في الحضور والغياب ، وليساعدنا وقت الضيق والشدّة ، ولذا قيل : "المرء على دين خليله فلينظر أحدكم مَنْ يخالل" .
الصداقة إذن "عقد وميثاق أخوّة وتناصر وتباذل، تزداد مع الأيام والتجارب وثاقة، وليست لعبة نقبل عليها للتسلية ثمّ إذا مللناها تركناها كما يحدث مع الصداقة في مفهومها المعاصر فالصداقات اليوم ـ في العديد من نماذجها ـ هامشية سطحية تهدف إلى اللهو والثرثرة والسمر وتمضية الوقت، إنّها صداقات وزمالات تجتمع بسرعة وتنفرط بسرعة .. قد يجمعها العمر .. أو المدرسة، أو المحلّة ، أو النادي ، ويفرّقها : خلاف بسيط في الرأي ، أو مهاترة كلامية، أو نزاع على فتاة ، أو سخرية لاذعة ، أو خديعة ، أو الخضوع لإيقاع طرف ثالث .. وهكذا .
 
تحدث العلماء والأدباء عن الصداقة كأحد الأسباب التي يسعد بها الإنسان في حياته، لأنه لا يستغني عنها، حيث إنه مدني بطبعه، وممن استفاض في توضيح ذلك أبو الحسن البصري في كتابه "أدب الدنيا والدين" فقال: "إن أسباب الألفة خمسة، هي: الدين والنسب والمصاهرة والمودة والبر"، وتحدث عن الصداقة التي وصفها الكندي بقوله: "الصديق إنسان هو أنت إلا أنه غيرك".
والاختيار أساسه عقل موفور عند الصديق، ودين يدعو إلى الخير، وأخلاق حسنة،ولا بد أن يكون بين الصديقين الرغبة والمودة.وإذا كانت هذه آداب الصداقة بين الجنس الواحد، فهل الصداقة بين الجنسين بهذه الصورة .

الصداقة بين الجنسين

بدأت ظاهرة الصداقة بين الجنسين تغزو مجتمعاتنا نتيجة الغزو الاجتماعي والفكري الغربي التي فشت فيها هذه الصداقات فكثر استعمال مصطلحات الصديق الذكر (
Boy Friend) والصديقة الأنثى (Girl Friend) والتي لا تعبر عن علاقة صداقة بريئة وإنما هي علاقة غرامية محمومة، أو علاقة جنسية مباشرة . 
إننا نحاول أن نثير هذه الأمور لننفذ إلى هذه المسألة، كي نفهم المراد من عبارة الصداقة بين الجنسين، ونسأل: هل المراد من كلمة الصداقة وجود علاقة طبيعية بين رجل وامرأة تماماً كما هي العلاقة بين رجل ورجل وبين امرأة وامرأة في شؤون المحادثة، وفي شؤون الدرس، وفي شؤون الحياة الاجتماعية العامة؟
وهل المراد من الصداقة هو تلك العلاقة التي تقوم على التفاهم والاحترام المتبادل اللذين تحكمهما حاجة الطرفين إلى لقاء من أجل قضايا فكرية او اجتماعية أو سياسية؟ إذا كان المقصود هو هذا، فإن التحفّظات التي يمكن أن نستوحيها من بعض الأجواء الإسلامية الأخلاقية، ومن بعض الأحكام الإسلامية، تتركّز حول نقطتين:
النقطة الأولى: هي أنّ طبيعة هذه الصداقة التي نريد أن تتحوّل إلى أجواء طبيعية من اللقاء، ومن الاختلاط، قد توقع الطرفين في بعض الإشكالات الشرعية، وذلك أن هذه الصداقة لا يمكن أن تتم بشكل طبيعي بعيداً عن العُقَد التي يعيشها الطرفان، إلا بالانحراف عن الخط الإسلامي في بعض الأحكام الشرعية.
والنقطة الثانية: هي أن طبيعة التنوّع بين الرجل والمرأة لا يمكن لها أن تضبط الصداقة عند حدودها الطبيعية، لأن الصداقة تمثل حالة شعورية معينة ترتفع المشاعر الحميمة فيها كلما تعمّقت أكثر، وكلما شعر الطرفان بالوحدة أكثر. ومن الطبيعي بأنّ الغريزة سوف تعبر عن نفسها في هذه الحالة، بطريقة أو بأخرى، وإن تجاهلها الطرفان، إلا أنها تتجمع في المشاعر والأحاسيس، لتصل في نهاية المطاف إلى الانفجار بطريقة أو بأخرى.
إنّنا نركز على هذا الفهم المتحفظ للصداقة بين الجنسين، من خلال استيحاءنا لكثير من الأحاديث، ومنها الحديث التالي: "ما اجتمع رجل وامرأة إلا وكان الشيطان ثالثهما"، فهذا الحديث يؤكد أن طبيعة الاجتماع المنفرد تجعل الطرفين وجهاً لوجه أمام مسألة الأحاسيس الخاصة التي تنطلق من خلال التنوّع، ومن خلال انجذاب كل نوع إلى النوع الآخر.
حتى لو بدأت هذه العلاقة بريئة في البدء ولكنها سرعان ما تتغير وتتطور إلى ما هو أكثر من ذلك، أي إلى الحبّ والرغبة في الإقتران، وحتى إذا لم تصل إلى هذا المستوى ، فإنّ حميمية الجنسين لا تجعلها شبيهة بالعلاقة داخل الجنس الواحد، يقول رسول الله صلى الله عليه وسلم: "ما اختلى رجل وامرأة إلاّ وكان الشيطان ثالثهما"، ودخول الشيطان يكون بما يوحيه إليهما من انجذاب عاطفي وجنسي، قد يبدأ وسوسة لكنه قد لا ينتهي بها، لأن كثرة اللقاء والاختلاط والخلوة بين الشاب والفتاة يهيج العواطف ويحركها للمنكر .. وفي دراسة أمريكية تبين أنه حوالي 47% من ضحايا الاغتصاب في أمريكا كن ضحايا لاغتصاب أصدقائهن ! وحوالي عشرين بالمائة كن ضحايا لاغتصاب أقارب وأصدقاء العائلة ، وبعبارة أخرى : سبعين في المائة من الفتيات كن ضحايا للعلاقة " البريئة " .

وهذا الذي نؤكده يمكن أن نفهمه أيضاً، من خلال ما توصّل إليه علماء الاجتماع في إجاباتهم عن السؤال المطروح بشكلٍ دائم، وهو:

ـ هل يمكن أن تقوم صداقة بريئة بعيدة عن الجانب الجنسي بين الرجل والمرأة؟
1- تفيد إجابات العلماء، أن قيام مثل هذه الصداقة أمر غير عملي وغير واقعي، وربما نستطيع أن نصل إلى هذه النتيجة من خلال ملاحظاتنا للواقع المعاش الذي تجاوز الكثير من الحدود في العلاقة بين الطرفين.
2- إن الصداقة بين الرجل والمرأة وإن أدّت إلى نتائج إيجابية على مستوى الواقع الأخلاقي، فإنها تؤدي في المقابل إلى نتائج سلبية كبرى في هذا المجال، فتكون الصداقة قضية من القضايا التي يكون إثمها أكبر من نفعها؛ الأمر الذي يدخلها في جو التجربة الصعبة التي تقترب من الحرام، وقد ورد في الحديث: "المحرّمات حمى الله، فمن حام حول الحمى أوشك أن يقع فيه".
لهذا، فإننا نتصور أن على المجتمع المؤمن أن يدرس هذه الأمور دراسة دقيقة وواقعية، حتى لا يقع في التجربة الصعبة التي قد تسيء إلى الطرفين، أو إلى المجتمع المؤمن بالكامل، إننا نفهم أن الأخلاق لا بد لها من أجواء ملائمة، فنحن لا يمكن أن نقول للإنسان: اقترب من المحرقة ولا تحترق، ولا يمكن أن نرمي إنساناً بالماء ونقول له: لا تبتلّ.
وفي هذا الإطار من الصداقات تندرج علاقة الصداقة بين الجنسين حيث يفخر كثير من الشبان بعلاقات الصداقة التي تربطهما ببعضهما البعض وأن علاقتهما بريئة وما يربطهما هو صداقة حقة، حتى أن البعض يؤكد بأن علاقته مع الجنس الآخر أفضل من علاقته مع الجنس نوعه .
 
وهذا يدلنا على أن الصداقة البريئة بين شاب وفتاة يختلطان ببعضهما وقد يرى أحدهما من الآخر ويسمع ما لا يقدر على أن يصبر عليه شبه مستحيلة ..
الخصائص المشتركة فيما بين علاقتي الحب والصداقة
1- الاستمتاع برفقة الطرف الآخر.
2- تقبل الطرف الآخر كما هو.
3- الثقة في حرص كل طرف على مصالح الطرف الآخر.
4- احترام الصديق أو الحبيب والاعتقاد في حسن تصرفه.
5- المساعدة المتبادلة والنجدة عند الحاجة.
6- فهم شخصية الطرف الآخر واتجاهاته وتفضيلاته ودوافع سلوكه .
7- التلقائية وشعور كل طرف بأنه على طبيعته في وجود الآخر.
8- الإفصلح عن الخبرات والمشاعر الشخصية.

أما عن مجموعي الخصائص اللتي تنفرد بهما علاقة الحب فهما:

أ- مجموعة الشغف: وتشمل ثلاث خصائص وهي:
1- الافتتان : يعني ميل المحبين إلى الانتباه إلى المحبوب والانشغال به حتى عندما يتعين عليهم أن ينخرطوا في نشاطات أخرى، مع الرغبة في إدامة النظر إليه والن\تأمل فيه والحديق معه والبقاء بجواره.
2- ويعني تميز علاقة الحب عن سائر العلاقات الأخرى والرغبة في الالتزام والاخلاص للمحبوب، مع الامتناع عن إقامة علاقة مماثلة مع طرف ثالث.
3- الرغبة الجنسية : وتشير إلى رغبة المحب في القرب البدني من الطرف الآخر ولمسه ومداعبته ، وفي معظم الأحيان يتم ضبط تلك الرغبة لاعتبارات أخلاقية ودينية.
ب- مجموعة العناية : وتحوي خاصيتين هما:
1- تقديم أقصى ما يمكن حيث يهتم المحب اهتماماً بالغاً بتقديم أقصى ما يمكنه عندما يشعر بحاجة المحبوب إلى العون حتى ولو وصل الأمر إلى حد التضحية بالنفس.
2- الدفاع والمناصرة : وتبدو في الاهتمام والدفاع عن مصالحه والمحاولة الايجابية لمساعدته على النجاح.

2- علاقة الحب بين الشاب والفتاة :

كثيراً ما يطرح السؤال التالي: لماذا يتّهم الإسلام الحبُّ ويُدينه؟ والجواب أن الإسلام لا يتهم ويدين كل أصناف الحب ،إنما يتهم فقط ذلك النوع الذي ينشأ ويستمر في الظلام!!!وكل ما ينشأ في الظلام يختنق ولا ينتهي إلا في ظلام أشد منه " ،كما أن الاسلام لا يمانع الحب فهذا الرسول عليه الصلاة والسلام يقول: «ما روئي من المتحابين خير من النكاح»
 
إلا أن الإسلام يضع لهذا الحب آداب معينة وضوابط كثيرة تحده من الخروج عما هو مألوف والانزلاق في معاصي لا تحمد عقباها .
جعل الله سبحانه وتعالى الحب عنوان علاقته بأفضل خلقه وأقربهم إليه، فحين أخبرعن حالهم معه –سبحانه- وصف علاقته بهم وعلاقتهم به بقوله تعالى: "يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ ".
وتنقسم علاقة الحب بين الشاب والفتاة في الإسلام إلى قسمين رئيسين: حب سوي، وحب غير سوي. فالحب غير السوي فهو إقامة علاقة حب بين شاب وفتاة لا تحل له وتربطهما علاقة تبيح هذا الحب .
أما الحب السوي فهو كحب الرجل لزوجه، وليس هناك ثمة مشكلة من هذه العلاقة لأنها علاقة سوية مستقيمة لا خطر منها، والمتأمل لأحوال المحبين يجد نماذج عديدة منها ما اشتهر تاريخياً قبيل الإسلام نجد عشاق العرب كانو يحبون الحب العذري وهو الحب العفيف الطاهر هؤلاء مثل قيس وليلى كيف أحبها هي بنت عمه يراها وهي خارجة ورائحة ترد الماء، وعاش في الصبا يراها فتعلق قلبه بها، كذلك عنترة وعبلة أو كُثيِّر وعزة أو جميل وبثينة،
على رأسهم الأنبياء عليهم السلام مثل:
1-نبي الله ابراهيم عليه السلام الذي كان يحب سارة زوجته سارة حباً شديداً لمدة ثمانين عاماُ، ومع حاجته الشديدة إلى الانجاب لم يتزوج من إلا بعدما طلبت منه السيدة سارة أن يتزوج من هاجر وألحَّت عليه .
2- نبي الله محمد صلى الله عليه وسلم الذي لم يستَحِ من إعلان حبه لعائشة حين عاد "عمرو بن العاص" منتصراً من غزوة "ذات السلاسل"،وسأله:"مَن أحب الناس إليك؟"-ظناً منه أنه سيكون هو- فقال له صلىالله عليه وسلم أمام الناس:" عائشة"!!!!!،فقال عمرو:" إنما أسألك عن الرجال"،فقال صلى الله عليه وسلم مؤكداً إعتزازه بعائشة: أبوها" .
وهذا إضافة إلى حبه الشديد للسيدة خديجة رضي الله عنها ، وكان يقول لعائشة رضي الله عنها عندما تبدي غيرتها منه:" إني قد رُزِقتُ حبَّها"!!!!(رواه البخاري .
3- قصة مغيث وبريرة كانا زوجين... لكن ما لبثت الخلافات بينهما أن اشتعلت، حتى انتهى الأمر بالطلاق.. ولكن مغيثًا ندم على ذلك بشدة؛ لأنه لم يستطع أن ينزع حبها من قلبه، وفشل في أن يخفيه، وظل كبده يتحرق شوقًا إلى حبيبته، فكان يجوب الطرقات وراءها... ودموعه تسيل على خديه.. ومن فرط صدق هذا الحب وجماله رق إليه قلب رسول الله صلى الله عليه وسلم فذهب إلى بريرة و قال لها: "لو راجعتيه؛ فإنه أبو ولدك" . فقالت له: أتأمرني..يا رسول الله؟ فقال لها: "إنما أنا شافع" ... قالت: فلا حاجة لي فيه..
 
من هنا فلا بد من "التفريق بين الحب كممارسة وسلوك وبين الحب كمشاعر ، فالحلال منه إذا كان مجرد مشاعر أما إذا تحول الحب إلي سلوك كلمسة وقبلة ولمة ففي هذه الحالة يكون حكمه حراما وينتج عنه سلبيات كثيرة لأنه من الصعب على المحب ضبط حبه" .
وقد كانت امرأة العزيز ونسوة المدينة المثل الذي ضربه الله تعالى نموذجا للحب الذي يتعدى المشاعر إلى السلوك العملي .

نظرة الشاب إلى الحب

قبل أن نبدأ في موضوع الحب غير السوي نورد القصة التالية التي ذكرتها جريدة النهار في عددها الصادر في21/7/2004 : "مها فتاة جامعية تدرس الكيمياء ولها طريقتها الخاصة في العيش ولا تسمح لأحد بالتدخل في خصوصياتها التي لا تخفي شيئاً منها عن الاهل والاصحاب، لانها منسجمة مع نفسها كما تقول.
 
بدأت الحكاية، عندما كانت في الصف الاول الثانوي وتحب زميلها في الصف ويدّعي انه يحبها. وبعد علاقة امتدت طيلة العام الدراسي وقبل انتهائه بيوم واحد، زارته في منزله بناءً على طلبه، وحدث ما حدث. "حينها فقدت عذريتي لكني لم احمل لحسن حظي"، تقول مها مبتسمة كأنها تستذكر ايام الطفولة والبراءة باستهزاء تام وبثقة السيدة الناضجة التي "ناطحت" تجارب العالم بأسره.
 
في اليوم التالي لتلك الليلة، الاولى في تجربتها واحاسيسها، التقته في المدرسة وعاملها بازدراء كانت تنتظر نقيضه. وعندما انفعلت في وجهه ووجهت اليه بعض الاهانات "الطفولية"، اجابها: "ما حدا ضربك على ايديك، وانا ما عاد بدّي شي منّك". تلك كانت آخر عبارة سمعتها منه، انتقل بعدها الى مدرسة اخرى وتركها تتخبط في أفكار عدة منها الندم والحسرة والحزن طيلة الصيف...
 
وتعيش مها حالياً قصة حبها الخامسة على التوالي، وفي كل واحدة كانت تمارس الجنس، لكنها ادمنته ولم تعد تكتفي بشاب .

من هذه القصة يمكن أن نستشف بعض الأشياء التي تجهلها المرأة عن الرجل أنه من تركيبة تختلف عن تركيبتها، ويتصرف بطريقة تختلف تماما عن طريقتها، ومن هذه الاختلافات في نظرة الرجل والمرأة لعلاقة الحب هذه :

1- الشاب لا يرضى أن يقترن بامرأة "مستعملة" حتى لو كان هو من استعملها، لأن من وقعت في الحرام معه لن يمنعها شيء من الوقوع في الحرام مع غيره .
2- عندما يريد الشاب أن يبدأ في علاقة مع الفتاة فإنه يفكر فيها كأداة أو وسيلة لتفريغ شهوته، أي أنه ينظر لها نظرة جنسية .
3- الشاب لا يريد تحمل أعباء الزواج وتكاليفه ولهذا يكتفي منها بما تعطيه من نفسها ثم يتركها .
 

أما الفتاة فنظرتها إلى الحب
 
1- الفتاة عاطفية لدرجة أنها تستخدم عاطفتها كثيرا في الحكم على الأشياء ، وحساسة وسريعة التأثر بما حولها، وضعيفة وتحتاج لمن يساندها ويقف بجانبها ؛ ولذلك فهي عندما تحب فإنها تفقد عقلها وتصبح كاللعبة بين يدي الشاب، وقد تعطيه كل ما تملك بدون أن تعي ما الذي تفعله بنفسها وما الذي تجنيه من جراء ذلك !!
وهذه الأمور إيجابية وسلبية في الوقت نفسه، وقد تتغير من فتاة إلى فتاة أخرى، ولكن تبقى هذه السمات غالبة عند النساء، وهي موجودة بدرجة أقل عند الشباب ..
2- الفتاة تنظر للشاب على أنه مصدر للحب والعاطفة والقوة .
3- الفتاة تحب أن تترجم الحب إلى علاقة زواج ، ولا ترضى أن تكون أداة يلهو بها الرجل وتلهو هي به لفترة ثم تتركه ويتركها ، ولهذا فهي تطلب من صديقها الزواج وتلح عليه في ذلك.
 
وأخيرا إذا حاولنا أن نعرف الأسباب التي تدفع الفتاة إلى إقامة علاقة بين الشبا فنجدها فيما يلي :

1- الحاجة إلى التعاطف الصادق:
 
تشعر بعض الفتيات معاملة سيئة من أهلها، مما يدفعها إلى البحث عن البديل، "وإنه من الغريب جدا، أن كثيراً من الفتيات لا يسمعن كلمات الحب والغزل والمدح إلا عن طريق الحرام !! فعندما تسمع كلمة : " أنا أحبك " لأول مرة يكاد قلبها يطير فرحا بها ، وكذلك عندما يقال لها : " أنت جميلة " أو " اشتقت لك كثيراً " أو غير هذا من الكلمات التي ينبغي أن تسمعها البنت من أبويها وإخوتها ... ولو كانت تسمع مثل هذه الكلمات بالحلال لأصبح احتمال انجرافها وراء من يُسمعها إياها بالحرام أقل . ولكن الذي يحصل أنها لا تسمع منها شيئا حتى تسمعها من الغريب ! أما الوالد والوالدة فقد تسمع منهما ما يزيدها هما إلى همها ، وربما لا تسمع منهما شيئا البته" .
إن مجتمعنا جاف جدا ، والمشاعر قد تكون مختفية في البيوت إلا في القليل منها .. وعندما تبحث الفتاة عن مكان تفرغ فيه عاطفتها فلا تجد إلا والدا مشغولا بعمله ، وأما مشغولة بأشياء تافهة .. وعندما تبحث عن شخص يبادلها الشعور بالحب ولا تجده في البيت .. وعندما تتاح لها الفرصة في إيجاد البديل – في غيبة من الدين والعقل - … فهل بعد هذا نستغرب إذا انحرفت مشاعرها عن طريقها الصحيح ؟
لذا يجب على الوالدين أن يظهرا مشاعرهما لابنتهما، وإظهار المشاعر يكون بالكلام الجميل (أحبكِ ،حبيبتي ، اشتقت إليكِ … الخ)، ويكون بالقبلة واللمسة والضمة الأبوية الحانية ..وليتأكد الوالدان أن ابنتهما إن وجدت عندهما ما يغنيها عن الحرام فإنها في مأمن من ألاعيب المعاكسين، ولا يعني هذا أنها ستكون في غنى عن الزوج .. ولكنها ستكون أكثر صموداً أمام الإغراءات من تلك التي لم تتعود على الكلام الجميل وعلى الاهتمام بها في البيت .
نستطيع أن نقول إن الفتاة في مجتمعنا عندها مشكلة حقيقية في إيجاد شخص يتعاطف معها ويكون قريبا منها، "يتشرب المشاكل والهموم، ويستمع للشكوى ويظهر التعاطف والحب الصادق، خصوصاً عندما تكون الفتاة محاطة بأب بعيد عنها وبينها وبينه علاقة رسمية تمنعها من الشكوى له ؛ وأم لاهية عابثة بعيدة عنها تتعامل الفتاة معها بعلاقة رسمية بحيث لا تستطيع الفتاة أن تجعل منها صديقة لها ، وبعيدة عنها بحيث أن الأم لا تنزل للمستوى العمري المناسب لابنتها ولا تتفهم حاجتها في هذا السن" .
وهكذا تبرز الحاجة للتعاطف وللاستماع كسبب أول لبحث الفتاة عمن يستمع إليها ، فتجد في الشكوى للشباب فرصة للتنفيس عن نفسها، وهكذا تتخلص الفتاة بشكواها للشاب من مشكلة عدم وجود من يسمعها ولكنها تقع في مشكلة التعلق بالشخص الذي يساعدها في حل مشاكلها .

2- الحاجة إلى الحب:

الفتاة الطبيعية عبارة عن "كتلة متحركة من العواطف التي تتأجج في كثير من الأحيان وتسكن في أحيان أخرى ، ومن هذه العواطف عاطفة الحب . والحب الذي أقصده ليس حب الفتاة لوالدها أو والدتها أو لأخيها أو غيرهم من الأشخاص والأشياء ، بل هو الحب بمعنى الميل العاطفي والذي يكون للزوج - بالحلال - أو العشيق – بالحرام. - .
وهذه الحاجة موجودة أيضا عند الرجال، ولكن الفرق بين الرجال والنساء أن الرجل يتحكم في عواطفه ويتغلب عليها في كثير من الأحيان - كما ذكرنا سابقا - ، بينما تعجز المرأة عن هذا في كثير من المرات .والفرق الآخر أن الرجل يستطيع أن يشبع هذه الحاجة بالزواج ممن يحب وليس عليه حرج في ذلك ، بينما تبقى المرأة تتعذب وتتألم في انتظار ذلك الخاطب الذي يأتي ليطرق الباب، وإن ابتلاها الله بالحب فإنها لن تستطيع أن تتقدم لخطبة من تحبه ولا أن تصرح بذلك لأحد".

3-مشكلة العنوسة
 
عاطفة الأمومة من العواطف التي تؤثر كثيرا على الفتيات، وهي عاطفة أودعها الله في الأنثى، واليوم يعاني مجتمعنا من ارتفاع شديد في نسبة العنوسة، وتأخر سن الزواج بالنسبة للشباب والفتيات، وأصبح الزواج يكلف الشاب ما لا يستطيع أن يوفره إلا بجهد ومشقة هذا بالإضافة إلى كثير من التعقيدات الاجتماعية الأخرى … فأصبحت معوقات الزواج كثيرة جدا لدرجة أن كثيرا من الفتيات قد يصل بها العمر إلى منتصف العشرينات وهي لم تتزوج بعد ، وبعضهن تستمر معاناتها لسن أكبر من هذا السن .
إذا تخيلنا هذا فإننا سنعلم أن هذه العاطفة تؤرق الكثير من الفتيات، وأن علاقات الحب المحرمة قد يكون من أهم أسبابها أنها - في نظر الفتاة – سبيلاً لايجاد زوج وبالتالي الحصول على الأطفال .
 

Perlu dibaca untuk masa sekarang, dan jangan senyum - senyum sendiri, ya !