Kami hanya bisa menulis review yang singkat sesungguhnya
untuk mendeskripsikan, aneka warna dan ragam yang kami amati tentang rihlah kelas
yang dilaksanakan di Villa Kembar, Cisarua pada tanggal 4 – 5 Juli lalu.
Dimulai dari perjalanannya, yang membutuhkan waktu yang lebih lama dari
kesepakatan. Hal ini sebetulnya sangat bisa dijadikan titik pertanyaan yang
mesti dijawab, yaitu kenapa terlambat untuk hal – hal penting (mungkin yang
tidak penting juga begitu) menjadi suatu hal yang terulang, bahkan jadi budaya
?
Sisi lain lagi, sejak sebelum keberangkatan beberapa kawan
sudah menyatakan untuk tidak ikut dengan alasan – alasan yang tidak bisa
tertolakkan lagi, seperti tidak diizinkan orang tua, sudah ada jadwal acara
terlebih dahulu sehingga berbenturan, dan sebagainya. Namun, yang sulit diterka
adalah ketika sampai jelang hari H, tidak ada jawaban yang jelas apakah akan
hadir atau tidak. Tapi, ya pada prakteknya pun hanya satu orang yang seperti
itu. Ada pula, yang secara tiba-tiba membatalkan dengan kepentingan yang tidak
bisa diganggu gugat ungkapnya. Ya sudah, Likulli Ra’siin Ra’yun, ungkapan
yang belum lama ini kami dengar dari salah satu kawan.
Dengan
perjalanan yang kurang lebih memakan waktu 2,5 jam itu tibalah kami di villa tempat
kami akan menginap. Kemudian, setelah itu semua barang – barang logistic,
terutama makanan karena sudah direncanakan sejak awal untuk memasak. Namun,
setelah itu semua selesai sebagian lebih memilih untuk relax dan bermain
– main santai. Sebagian ada yang berkonsentrasi untuk menghafal juz 2, karena
ada yang belum taqdim hafalan dan diminta mengulang kehadapan ust. Willy
Oktaviano, pembimbing tahfidz di FDI untuk semester 2 (patut dicontoh nih,
tetap menghafal kapanpun, dimanapun). Sebagian lagi ada yang bermain di halaman.
Dengan disediakannya kolam renang, ayunan, jungkat – jungkit (dua yang
terakhir, inget taman kanak – kanak), sebagian terutama laki – laki
lebih memilih bermain bola. Ada juga yang sibuk mengambil foto dari berbagai
sisi. Ya mungkin, karena di Ciputat gak ada gunung ya hehe, tapi
memang alamnya yang sejuk sangat cocok untuk meregangkan syaraf – syaraf dan
relaksasi jiwa pasca Imtihaan al-nihaai al-diraasi.
Ada
sisi lain yang hampir terlupakan, ternyata beberapa teman begitu melihat sound
system beserta beberapa keping CD lagu, segera mereka mengambil dan menyanyi.
Ada 3 orang yang sepertinya menghayati betul, Aqoy, Bahrudin, Seniman (kalau
yang ini wajar, sebelum rihlah sudah pernah menyatakan akan membuat boyband,
dengan ia sebagai vokalisnya ---> ada yang aneh dari kalimat ini, sila
dicermati). Kalau yang kedua, walaupun sosoknya besar, dan persepsi pertama
orang akan mengira ia garang, tapi………. (ikuti terus ceritanya ya…).
Kalau Aqoy, subjektivitas kami hanya bisa menilai bahwa dia punya berbagai sisi
kehidupan, tapi ia tidak pernah kehilangan identitasnya (yak, semoga memang
seperti itu, amin….). Tapi, yang dinyanyikan adalah lagu – lagu galau, sehingga
atmosfer galau itu menyeruak keseluruh ruangan (yang ini bahasanya terlalu
sastra, tapi tidak apa2), dan akan lebih lanjut terlihat dicerita selanjutnya….
Ikutilah terus !
Setelah masuk ashar, dimulailah
pembukaan acara rihlah tersebut. Dimulai, dengan pengutaraan susunan acara yang
disampaikan oleh kang Fachru, sebagai seksi acara (seperti apa acaranya,
ikuti terus tulisan ini……. Okey !). Kemudian, dilanjutkan dengan sambutan oleh
Seniman, selaku ketua panitia. Dengan menggunakan pecinya yang khas, ia memulai
dengan mengucap syukur atas terlaksananya acara ini. Sedikit juga ia
menguraikan tentang beberapa teman yang tidak bisa ikut, dengan alasan – alasan
yang tidak jelas, sehingga sungguh disayangkan dan semoga tidak seperti itu di
acara mendatang. Kemudian, sambutan dilanjutkan oleh Rais al-Fashl (A) Zul
Fajrudin. Kami, sedikit lupa apa inti dari sambutannya tersebut namun ia lebih
menekankan semoga majelis persahabatannya ini menjadi semakin erat dan diisi
selalu dengan kebaikan. Pokoknya, sambutannya “dalem” sekali, layaknya seorang
kyai yang hendak menyampaikan wejangan kepada santri – santrinya.
Pembukaan singkat itupun selesai,
dan acara terus cair sampai jelang maghrib. Sebagian, ada yang kembali asik
dengan kolam renang (maksudnya berenang gitu). Sebagian, terutama kalangan
ummahaat sedang sibuk didapur menyiapkan makanan. Mulai dari ngulek sambel,
masak nasi, dan lain – lain sehingga rembangnya matahari sore diiringi dengan
kesibukan ibu – ibu di dapur. Yang laki – laki, sebagian ada yang membantu, ada
juga yang memperhatikan dengan serius yang sedang masak (mungkin sedang
membayangkan, kalau punya al-zaujah begini, benar – benar mendukung
untuk pengembangan proyek keluarga sakinah…..lho kenapa jadi kesana
pembicaraannya ya).
Maghrib pun tiba, catatan
menariknya adalah hingga jelang maghrib ada rencana slide yang hendak
ditayangkan dengan muatan beberapa survei tentang kategori – kategori unik yang
ada di kelas A. Namun, dengan bantuan Hudori yang memang bersama kami berbagi
tugas untuk mengerjakan slide itu, terselesaikanlah walaupun hemat kami belum
sepenuhnya memuaskan. Tapi, sisi menariknya walaupun kami mengakui
pengerjaaannya cukup lambat, namun ketika mengerjakannya pun, kami sudah merasa
menjadi sebuah hiburan karena banyak menelusuri foto – foto di kelas A, dengan
kaidah aqbah al-shuurah, sehingga ketika mendapatkan ekspresi teraneh dari
sebuah foto segeralah itu menjadi sasaran utama (sehingga jangan marah ya,
tidak ada maksud menghina sama sekali tapi kami dari tim kreatif tetap memohon
maaf kalau ada yang kurang berkenan). Okey, setelah itu kami semua melaksanakan
sholat maghrib berjamaah, dan sangat beruntung sekali ternyata malam itu
bertepatan dengan malam nishfu sya’ban. Sejak awal, memang sudah
disepakati untuk mengadakan pembacaan yasin sebanyak 3 kali, seraya berdoa
memohon pengampunan dimalam yang diyakini akan dicatatkanlah jumlah dari amal –
amal kita selama setahun (dalam bahasa lain, tutup buku amal perbuatan
(catatan: butuh pengembangan lebih jauh: 1. Studi sanad, 2. Fiqh al-hadits, 3.
Istidlaalaat al-hadits).
Sampai selesai waktu ‘isya, kami
melaksanakan sholat secara berjamaah setelah itu tibalah waktu untuk makan
malam. Dan special dimalam tersebut, dengan masakan sendiri oleh sekelompok ummahat
kelas A. Hal ini sangat menumbuhkan suasana kekeluargaan dan kebersamaan,
contoh kecilnya adalah masing – masing mengetahui siapa yang makannya banyak
atau tidak. Tapi, itu menjadi tidak penting, karena mungkin “saking
semangatnya” memasak sehingga porsinya banyak sekali, hatta tercecer
akibat tidak begitu banyak yang makan --> intabih haadza, laa tukarrir
marrah ukhroo
Jam 20.30, acarapun dimulai.
Sudah sejak awal, direncanakan untuk mengadakan acara yang dinamakan Class A
Awards, namanya
sih keren tapi semata -
mata sebagai gambaran factual dari peristiwa – peristiwa yang khas di
kelas sehingga menarik untuk diperbincangkan (
kayak acara yang
kalimatnya:
“setajam…….silet” lhhoo). Dimulai oleh MC oleh
Enzhe (tidak
ada catatan yang jelas nama ini muncul, awalnya adalah akronim dari Nurjaman
--> NJ, mungkin untuk memperkuat suasana
lahajat, maka berubahlah
menjadi demikian) yang memang sudah langganan
ngemsi sejak 6 bulan
terakhir untuk event – event di kelas kami. Acara semakin membuat penasaran
ketika muncul 11 nominasi yang mulai memancing gelak tawa. Dan dipilihlah
nominasi pertama yaitu
Anaa min al-nawwaamiin, yang diterjemahkan secara
bebas menjadi “mahasiswa paling rajin tidur” (hehe, memang tidur termasuk
kategori rajin yaa…..???/!?!!?). Setiap jenis nominasi, terdiri oleh tiga
kandidat yang keseluruhannya telah diseleksi berdasarkan 3 urutan terbesar dari
pilihan kelas. Nah, untuk bagian ini terpilihlah 3 orang sebagai nominasi
nawwaamiin
(tidak menggunakan
Naaim¸ yang merupakan shighoh Ism al-Faa’il, namun
menggunakan jenis
Nawwam, satu dari empat jenis
shigoh
mubaalaghoh, yang mana digunakan untuk
Naaim, sangat “mengena” sekali. Dengan
responden, kurang lebih sekitar 29 orang, muncullah beberapa nama terkuat
seperti Tholhah, Bahari al-Wasii’, dan Masrur Irsyadi (still smile… when type
those words). Dan melihat kandidatnya, sepertinya masing – masing punya
kans
kuat untuk menang. Benar saja, setelah dilihat ternyata persaingan suaranya
sangat ketat, dan dimenangkan oleh Masrur dengan 12 suara, disusul oleh Bahari
dan Tholhah masing – masing 8 dan 7 suara. Kami akan mendeskripsikan dan
mencoba menganalisis mengapa kandidat pertama yang menang, mengapa ? karena
pemenangnya adalah yang menulis kisah ini. Ya sederhana, karena yang pertama
ini sejak semester satu dikenal memang dikenal
istiqomah tidur saat
kuliah di jam – jam rawan, juga dimata – mata kuliah yang disampaikan secara
monoton,
kami sangat ingat seperti mata kuliah
‘Ulum al-Qur’an,
‘Ulum
al-Hadits,
Civic Education, Tajwid (banyak amat….). Tapi, sejujurnya
sih, bukan apologi alias membela diri juga tapi, intensitas itu sudah
dikurangi sejak semester dua karena ingin sebetulnya bertaubat dari budaya
jelek ini (
istajiib du’aanaa Ya Robbii). Tapi, beberapa pendapat kawan –
kawan menyebutkan demikian, jadi biarkan saja ya. Jargonnya adalah
an-Naum
yuaddii ila al-barakah.
Ok, nominasi kedua, dipilahlah
karena kami sebagai pemenang maka kami memilih nominasi the-galau-est people.
Benar saja, kandidat yang telah lama diperbincangkan itu akhirnya menang, Bahrudin
al-Indramayuwi (nisbatan ilaa ashlihi) al-Bakasi (nisbatan ila manzilihi)
al-Galawi (laqoban likatstratihi…. Hehehe). Dengan kemenangan yang nyaris
mutlak, perolehan 21 suara itu bagi kami hanyalah taukid bagi manuver –
manuver statusnya yang romance, tapi galau (untuk statusnya seperti apa,
sepertinya tidak perlu diterangkan ya, karena kedudukannya menjadi tahshil
al-haashil). Pemenang yang menyatakan sebagai mutaabi’ FPI ini
selalu dikenal dengan status – statusnya yang tidak jauh – jauh berkisar
tentang……. cinta. Pernah suatu saat, ia mengakui secara langsung bahwa……………….
(lanjutkan sendiri saja ya).
Kami, sudah lupa urutan – urutan
penyebutannya karena dipilih secara acak. Yang jelas, ada nominasi wanita
tomboy, nah yang ini pemenangnya Zakiyatul Mahmudah alias d’Zaky
Averroez alias Ahmad Zaki (nama yang terakhir, ada kisahnya, bersabarlah). Kami
sendiri tidak begitu tahu, mungkin karena memang gayanya yang tomboy, cuek (gak
juga sih, tipe ini juga banyak), dan galak (‘indii qolill, lakinn ‘inda
al-aakhoriin laa adrii). Tapi, percaya atau tidak ternyata ia seorang
pekerja keras juga, terutama dalam urusan menghafal, dan ternyata diam – diam
dia adalah pakar nahwu juga, terutama di kelas A. Jadi, tomboy itu hemat kami
hanya tampilan luarnya saja, bahkan kalau yang jeli melihat televisi dan
memperhatikan beberapa tokoh muda NU, mungkin pernah dengar nama Zuhairi Misrawi
yang sering berbicara soal politik timur tengah, isu Islam di Indonesia, dan
lain – lain. Aktivis Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia
(Lakpesdam NU) ini ternyata kakak iparnya (pertama tahu, langsung terkesan),
dan ternyata ia memang sengaja merahasiakan (pengumuman-pun mungkin apa pula
manfaatnya……hmmm...).
Nominasi lainnya masih ada
sekitar 9 lagi, seperti the lebay-er (bahasa Inggris daerah mana ini…..
aah haadza min al-lahajaat), ronaldo-wati, watados (akronim dari Wajah Tanpa
Dosa - sok tau banget), kecil – kecil “Cabe
Rawit”, Dosen Style, Kau Yang Terzalimi – Tergosipi, Kaulah
Bundaku, dan The Best Couple (yang terakhir harusnya gak perlu nominasi, sudah mafhum
biduuni al-tafshil wa al-tabayyun lakiin li al-taukid wa al-taakkud min
fushuulih -à
tapi nanti ada ceritanya kok, diusahakan !!!). Lebay-er secara dimenangkan
oleh Muhammad Abdul Halim Zuhri alias
Halim (qoola qowmun: Bung Halim, qiila:
Mas Halim). Dengan mengalahkan beberapa nominasi lainnya seperti Muhammad
Nurjaman alias Enzhe sang eMCe, dan Muhammad Shofiyullah Mahmud (laqobuhu Ochest à nyambung gak ???, tapi sudah
lama dipanggil seperti itu katanya, bawaan dari pondok). Berhubung waktu itu
Bung Halim tidak hadir, karena ternyata sedang mengikuti dauroh (catatan: ane belum paham betul makna istilah ini, yang tau segera kasih masukan ya)
Universitas Islam Madinah di Ponpes Darunnajah, Ulujami - Jakarta Selatan (kalau benar – benar lolos,
semoga selalu berkah dalam mencari ilmu bung). Lebih focus, kenapa harus
dipilih Lebay-er, mungkin dilihatnya
dari segi lenggak – lenggok, gak sih. Mungkin juga, dari sisi, apa yaa….
Bicaranya itu lho kadang suka muncul rusuum al-nisaaiyyat (gambaran-gambaran
kewanitaan), tapi untuk hal ini kami
selalu yakin ia tidak begitu, ya sudahlah… likulli
ra.siin ra’yuun.
Ronaldo – wati, sebetulnya hanya
akan mudah dinilai kalau anda adalah para penghuni aspi (Asrama Sepi, eeh bukan2. yang benar ”Asrama Putri”). Karena beberapa nominasinya
misalnya, Tria Farhanah (ista’mil haa fii
aakhiri, sepertinya dalam dialektika gramatika sunda/tinggi banget
ngomongnya penambahan konsonan diakhir nama merupakan salah satu dari sekian mazaayaa bahasa Sunda, seperti
pengulangan akhir suku kata, contohnya: Denden, Dadang, Iing. Dan masih banyak
lagi, perlu diteliti juga nih, keren….), Aqoy Qoyyimah (tuh, sunda lagi), dan
Zakiyatul Mahmudah. Tapi, ternyata pemenangnya, sesuai dengan perkiraan adalah
yang pertama yaitu Tria Farhanah. Ketika memberikan sambutan pada malam itu,
atas kemenangannya ia hanya mengungkapkan bahwa senang saja dengan permainan
sepakbola, okey kalau begitu tapi ternyata tim lantainya di ASPI, pernah juara
dalam kompetisi antar lantai di ASPI,
okey2.
Watados, nominasi yang untungnya
semua yang menjadi kandidat kuat tidak hadir, ya mungkin tidak hadir pun tidak
berdosa,
ya. Watados adalah singkatan “wajah tanpa dosa”, tidak jelas
dan tak terlacak sepengetahuan kami dari mana istilah itu berasal. Namun, sisi
lain tidak ada deskripsi yang jelas tentang istilah ini. Tapi, dengan melihat
nominasi plus pemenangnya mungkin langsung bisa menjawab kenapa demikian.
Sekian nama yang masuk dalam nominasi pada kategori ini adalah Muhammad Yusri,
Bahari al-Wasii’, dan Halim (
masyhur bilaqb “Bung Halim
”). Namun,
karena tidak satupun dari ketiga nama tadi yang hadir, kami akan berfokus pada
nama pertama (kenapa ? karena dia yang menang,
simple..kan). Bagi kami,
pada awalnya ia dikenal sebagai orang yang pendiam, namun berusaha
memperhatikan apa yang diamati di pergaulan – rupanya ia sangat pemalu, dan
enggan berbicara. Bahkan, sangat menyedihkan jika ternyata ia tidak bertanya
sedikitpun tentang hal – hal penting dalam kuliah, seperti jumlah SKS dan
sebagainya. Tapi intinya, sosok yang menurut
akhinaa Miftah, yang mana
ia menyampaikan info ini
muttashilaan ke
ane (hal ini: masrur)
dalam obrolan santai di Bis yang membawa kita ke Cisarua, bahwa ia ternyata
sudah hafal
bait Alfiyah
,
sebuah prestasi besar dikalangan santri kalau sanggup menghafal
bait – bait Ibn
Malik al-Andalusi (appendiks: ada kisah, mungkin ini budaya di pesantren bahwa
Kyai tidak segan – segan untuk mengawinkan anak putrinya kepada salah satu
santri yang berhasil menghafal 1000 bait tersebut,
so apa yang akan anda
lakukan para pembaca yang mungkin sudah, atau sedang, atau baru ingin
menghafalkan 1000 bait yang berisi tentang
qowa’id al-nahwiyyah,
silahkan dipikirkan sendiri !). Sehingga, mungkin wajah bisa menyiratkan
perkataan – perkataan tak sedap, tapi sisi – sisi dalam seorang Yusri (Muhammad
Yusri) perlu pembacaan lebih jauh. Jadi, jangan pernah patah semangat, dan
mematahkan semangat orang lain !.
Nominasi lainnya misalnya kecil –
kecil “Cabe Rawit”, penghargaan bagi
mereka kaum minimalis (oooh, salah2 ya), maksudnya yang secara fisik kecil,
namun punya semangat dan gaya yang kuat seperti tukang “Cabe Rawit”.
Kalau bagian ini, sebetulnya tanpa perlu survei pun, sudah bisa diperkirakan. Yak,
Musfiroh alias Muzviee ini memang dikenal dengan langkah –
langkahnya yang pedas, tapi sebetulnya punya rasa penakut yang besar tidak bisa
dinafikan juga (sorry ya mpiee,,,, hehehe). Dengan perolehan grafik yang sangat
tumpang, dengan hampir 21 suara, dan beberapa nama masing – masing seperti
Iliyun, dan Miftah hanya mendapat satu suara. Remaja asal Banten ini (kayak yang
iya aja, kalimatnya hehehe) mungkin dinilai dari gaya berbicaranya yang ceplas
– ceplos, riweeuuh (ini bahasa apa ya, tolong diterjemahkan…), dan statemennya
yang aplikatif --> untuk menggetarkan hati orang, membuat ia dinilai
demikian (dalam analisa kami, tapi mungkin saja salah). Harus mendeskripsikan
apa lagi ya ? ya sudahlah, pokoknya selamat buat Muzviee semoga menjadi anak
yang sholihah, amiin.
Masih ada yang belum terbahas
rupanya, ada Dosen Style, perlu diingat style is first step to be known
about someone, as long as you know. Tatanan dekil, segera
mencerminkan kesan awal bahwa ia adalah seseorang yang jarang merawat kondisi
tubuhnya, sehingga kesimpulannya “penampilan adalah, kata – kata pertama yang
segera bercerita tentang keadaan siapapun. Nah, kembali pada dosen style,
beberapa nama yang telah masuk nominasi diantaranya rois al-qoum fii
fashlinaa Dzul Fajruddin, lalu Bahari al-Wasii (belakangan sekarang
ditambahkan al-Jamily Sukses, mungkin maksudnya sebagai orang yang tampan, dan
juga sukses --> tapi sok tau lah, silahkan beliau langsung yang menjelaskan)
dan kembali, Bung Halim walaupun suaranya
ternyata berimbang dengan Yusri. Ok, singkatnya Dzul pun menang, dengan
perolehan 10 suara, disusul dengan Bahari dengan 8 suara. Persaingan yang ketat
ini, dalam urusan penampilan mungkin bisa diambil dari beberapa hal, karena
Dzul adalah tamatan Pondok Modern Gontor, serta Bahari adalah pesantren yang
“sepemikiran” dengan Gontor. Dalam sambutan atas kemenangannya (ini serius
banget bahasanya) ia menyatakan bahwa ini adalah karakter yang diajarkan
oleh Pesantren. Sementara saudara Bahari, sebetulnya adalah orang yang santai
dan baru beberapa bulan terakhir saja mulai kembali berpakaian yang necis
sekali. Alasan sederhana, bahwa karakter orang sukses juga dibangun dari cara
berpakaian, sebuah pesan dari MLM. Ya, karena ia sedang semangat menekuni
bisnis MLM Melia Nature Indonesia yang menekankan pada produk Propolis dan
Melia Biyang. Ya, semoga berhasil dengan usahanya, walaupun jujur entah
karena kurang memahami, atau lainnya kami masih enggan untuk berkecimpung di
dunia seperti itu, dengan melihat kebutuhan dari produknya, dan pertanyaan kami
sejak dulu adalah mengapa MLM sering mempromosikan produk yang “bukan kebutuhan
utama” tetapi dipromosikan dengan sangat luar biasa, dan dalam system tersebut
“karakter sukses” itu sangat dibangun sehingga terbangun semangatnya (silahkan
Bung Bahari yang menjawab….. hehehe). Kembali pada pendapat yang menang, sebuah
pendapat yang bagus memang, tinggal hemat kami bisakah dengan shurah orang
yang rapih, necis, sehingga menunjukkan kesan sukses itu sesuai dengan langkah
– langkah akademis dan pengamalan aplikatif yang telah diajarkan, waktu dan keinginan
kitalah yang menentukan.
Nominasi
lainnya masih ada, Kau Adalah Bundaku, kalau ini jelas perempuan ya –
pemenangnya pun sebetulnya dipastikan adalah Nur Hamidah, lebih akrab disapa
oleh sebagian besar kawan – kawan Ka Hamidah. Tapi, ternyata suaranya itu hanya
selisih satu dengan Mbak Anis Afifah, disusul dengan Khaulah (kalau ini
sih, sebetulnya masih muda tapi omongannya yang dewasa membuat ia juga
dituakan), dan Is Is ‘Izzatul Mu’minah (Ini juga keren, kekuatan ingatannya
bagus sekali, orangnya pun easy going dan bisa cair dengan siapa saja). So,
kedewasaan seseorang berbanding lurus dengan besar badannya (lho…), tapi
sepertinya tidak juga karena dari beberapa kabar yang kami ketahui, memang
keduanya adalah sosok yang paling mengayomi kaum hawa, ya setidaknya sebagai
teman curhat, dan memberikan masukan – masukan bagi yang lain. Tapi, untuk Ka
Hamidah al-Hafidhah (kalau pengakuannya sih belum hafidh, karena masih sisa
3 – 4 juz lagi yang belum hafal) sebagai pemenang, kami (kali ini Masrur)
memberikan kalimah al-tahniah wa al-ihtiraam afwaq al-faaiqoh dengan
melihat semangatnya dalam mengerahkan diri sendiri, serta mengajak yang lain
untuk ikut serta dalam belajar, karena hampir setiap ada musykilaat dalam
belajar, dan jika ada waktu senggang ia selalu menghubungi siapapun yang
dianggap kompeten untuk mengajarkan materi – materi tersebut, bahkan yang
santai – pun akhirnya terbawalah arus – arus yang dibawa ka Hamidah, dan semoga
senantiasa demikian, karena bukankah mendapatkan teman yang selalu mengajak
kepada kebaikan merupakan hidayah dari Allah !, dan untuk Mbak Anis yang selalu
tersenyum, dan tidak pernah marah ini yang ternyata seorang yang cerdas dalam
akademik, ooh syuf haadza harus ditularkan yang mbak, kepada yang lain
semangatnya, Ok mbok (enakan
dipanggil mbok, gak apa-apa ya) !!.
Nominasi lainnya adalah Dia Yang Terzalimi,
tapi untuk lebih santai digantilah tergosipi (padahal gosipin orang itu
bagian dari kezhaliman juga ya, Astaghfirullah al-‘Adzim). Yang dikategorikan
masuk nominasi adalah Fairuz Hakimah (feeling ane sih dia yang menang),
Khaulah Mujahidah Fillah, dan Musfiroh (kenapa perempuan semua yaa…),
sebetulnya masih ada Hudori, Zakiyah, dan Halim serta Seniman. Masing – masing
dengan perolehan 13 suara, 4 suara, 2 suara, 2 suara, 1 suara untuk 3 nama
terakhir. Jadi, benarlah Fairuz Hakimah (waktu menang itu, di slidenya yang
diedit saudara Hudori, fotonya diambil dengan ekspresi yang benar – benar tidak
menguntungkan, tapi sangat pas dengan kondisi sebagai pemenang terzalimi, jadi
mohon maaf ya, jangan diambil hati, teman saya memang begitu…… lhoo). Awalnya,
kriteria tergosipi itu ketika banyaknya digosipi dekat dengan lawan jenis
misalnya, berarti kesimpulannya…………………… (lanjutin aja sendiri ya, kami
kehabisan kata – kata). Tapi, tetap semangat buat pemenang, semoga besok
tidak terpilih lagi (kalau gak ada nominasi itu).
Nah,
ini yang terakhir The Best Couple (katanya lho, gak tau aslinya). Kami,
sebetulnya merasa tidak perlu dibuat nominasi, karena pemenangnya sih sudah
bisa ditebak. Yak, Miftah n’ Khaulah (khaulah lagi……) disusul oleh Hudori n’
Zaki, dan sederet nama – nama lainnya, namun hanya mendapatkan satu suara.
Mungkin, sih memang benar kalau ada “sesuatu” (syahriniers) sehingga yang kami
amati, kyai itu kalau sudah ngobrol sama Bu Khaulah itu, kayak salah
tingkah gimana gitu. Tapi, hati – hati aja lah, setrum itu kadang – kadang suka
mengeluarkan arus pendek akibat ada kabel yang rusak, atau tidak terpasang
dengan baik (maknanya, sila tafsirkan dan renungkan sendiri). Kalau yang kedua,
nampaknya hanya berita – berita yang syawaahid-nya tidak begitu jelas
jadi segera menghilang dan tak ada kabar beritanya lagi.
Syahdan,
qod takhollashnaa di bagian Awards, acara pertama yang diadakan ini
ternyata cukup mengundang gelak tawa, apalagi memang direncanakan untuk
mengambil foto - foto dengan ekspresi –
ekspresi ghorib dan nadir. Kemudian, waktu yang telah menunjukkan jam 9.30
malam, dilanjutkan dengan menonton beberapa potongan film yang telah diedit.
Dimulai dari perjalanan survey, menuju Cisarua . Sesi – sesi awal video ini
memang banyak kesalahan istilah, terutama kasus saling memojokkan surveyor,
dari komentar Che.che --> nama lain dari Seniman tentang sungai kota
Bogor yang disayangkan sangat kotor, yang katanya sangat bagus kalau berwarna
putih (putih, jernih kali….. memangnya susu hehehe), presentasi Hudori tentang
sebuah daerah di Cisarua dan dengan pede-nya ia menyebut “kita lihat
disebelah kiri saya, terdapat kebun teh” kemudian muncul jawaban “kopi, sok tau
lu”, sahut Fahru sehingga menjadi special text divideo tersebut, sampai keyword
yang masyhur sejak setelah survey, dan selama rihlah yaitu wawancara
singkat terhadap Miftah ketika ditanya tentang perjalanan waktu itu, kemudian
muncullah ceplosan kata (apa, hayo siapa yang bisa jawab …???) “apalagi
ama do’i, oh subhanallah” dan kata – kata ini pun populer karena telah “bleweran”
kemana – mana. Ditambah lagi dengan potongan – potongan video kegiatan
selama tahun pelajaran ini (ada video yang hemat kami sebetulnya ghoir
muaddab, yaitu ketika Ust. Usman, mengajar Bahasa Inggris dan ada disesi
keberapa – saya lupa saat beberapa mahasiswa disuruh mempresentasikan bacaan di
modul, beliau lalu garuk – garuk kepala seraya muncul flying text
“syuf haadza” --> apa maksudnyaaa ini….ya sudahlah, biar akhiinaa
al-kariim Hudori yang menjawab), tapi nampaknya cukup mengesankan bagi para
pemirsa, pepemirmrisa,,, (bahasa siapa hayoo…).
Sebetulnya,
dalam penggarapan cerita ini, mulai muncul rasa malas meneruskan karena
ternyata review ini menjadi panjaaaaaanggggg (ini efek lebay ya, bukan modus
wong) sekali. Tapi gak apa – apa, tetap semangat sebagaimana, semangat
kita menghadapi syahru al-qur’an alladzi maa daama Allah yanzilu al-barakah
al-Mudoo’afaah ‘alainaa fiih, amiin, amiin Yaa Rabb al-‘Aalamiin.
Setelah
nonton selesai, kami sebetulnya menyangka bahwa judul acara evaluasi adalah sekedar
sharing ringan dan merencanakan acara pagi yang sebetulnya sudah
dipersiapkan berupa games dan sebagainya. Malah, justru membicarakan tentang
angket “Kata Mereka Tentangmu” (tadinya ini rahasia lho). Rencananya
adalah angket ini disebarkan bersamaan dengan angket untuk awards, namun
disusun untuk dibaca secara perseorangan dan pribadi (tapi yang menyusun review
ini yang menyusun, jadi punya dokumennya dan tahu seluruhnya --> saya
berjanji untuk tidak berkata pada siapapun), maka setelah itu dilanjutkan
dengan dengan sharing ringan, dan masing – masing berkomentar tentang kesan
komentar – komentar tersebut. Dan diskusi ini, jadi panjang karena, pada
keesokan harinya ternyata diteruskan lagi (ikuti terus yaa).
Waktu
sudah menunjukkan jam 10.30 dimulai dari beberapa teman yang berkomentar.
Misalnya kami (baca: Masrur), lalu Shiroot yang awalnya mengeluarkan ekspresi
terkesan “marah”, eeh ternyata malah terkesan betul. Ada lagi seperti Ochest,
yang……… (waktu mau komentar aja, bicaranya buuerrat sekali -->
presented lahajat Suroboyoan) yang berjanji kan mengubah kembali namanya
menjadi Shofi (boleh diartikan jernih, bening, pure, kholish,
kalau boleh kutip dari Taaj al-‘Uruus : الصَّفِيُّ : ( خالِصُ كلِّ شيءٍ
) ومُخْتارُه ، ومنه آدَمُ *!صَفِيُّ اللّهِ ، أي خالِصُه ومُخْتارُه
J. 28 hal. 428). Mungkin, dengan berganti nama, seperti katanya
dengan periwayat bil al-ma’naa bisa merubah karakter karena ternyata
menurut pengakuannya banyak yang berpendapat ia sebagai sosok yang usil
(kosakata baru: Cunihin (sunda) artinya usil), tapi tetap semangat buat Shofi.
Ada lagi, yang berpendapat seperti Bahrudin yang melakukan (lagi-lagi, saudara
saudara) apologi – apologi cintanya yang “sastra” sekali. Lalu, seperti Enzhe
menceritakan latar belakangnya yang ternyata dulunya seorang pendiam dan ceplas
– ceplosnya dimasa kini lebih untuk mengekspresikan keberaniannya berbicara
(ok, tapi bagaimana kalau berbicaranya diproyeksikan --> bahasanya untuk
pendapat – pendapat yang ilmiah ya tanpa mengesampingkan becanda yang sesuatu
situasi dan kondisi ---> walah, lama – lama kayak konsultan saja. Ada lagi,
seperti Kang Fahru, wah hujuum sekali komentar mas jowo responnya.
Gimana dengan ketua panitia ? Seniman, merasa sangat terbangun dengan berbagai
komentar tersebut, hanya saja ada komentar yang menyakitkan menurutnya (maaf ya
bro, siapa yang komentar tidak bisa disebutkan untuk menjaga ukhuwwah,
dan stabilitas serta atmosfir kerukunan kelas) karena berhubungan dengan
gaya bicara (contohnya, lihat di paragraf – paragraf sebelumnya).
Tapi, tidak seluruhnya dilanjutkan karena
waktu sudah sangat larut sebagian sudah mulai ngantuk (termasuk kami
saat itu, dan saat mengetik bagian ini. Tapi tenang, lanjutkan terus sehingga
memutuskan untuk diselesaikan. Sebagian kawan – kawan ada yang bakar jagung
mengisi dinginnya malam, ada yang ngobrol – ngobrol (ujungnya sih curhat……
cinta), nah ini yang terakhir gaple-an dan remi-an. Kami tidak tahu persis,
karena sudah tertidur sejak awal dikamar (jadi, kurang lebih seperti itu, ada
apa selama saya tidur, tolong di ta’liq dibagian ini bagi yang tahu ya).
Jam
2.15, kurang dari 3 jam sudah terbangun. Dan sebagian rupanya masih terjaga.
Apalagi yang curhat cinta, haduuh gelap – gelapan lagi. Tholhah dan Hudori,
masih semangat dengan PS di laptop, ada yang ngobrol dipojok kolam (ini kalau
tidak salah, Fahru dan Shiroot), dan tim gaple-an masih tetap main (ya Allah).
OK, jam 3.00, masing – masing ada yang lebih memilih tidur, tapi tidak untuk
Zaki dan Anis. Dengan tekad yang bulat, pasangan ini memilih untuk tidak tidur
(lho, kaya kampanye gubernur). Jadilah, (sekarang ganti, tokohnya saya) saya
yang sudah tak ngantuk lagi harus mengajak ngobrol keduanya. Awalnya
ikut irama permainan remi-an, lalu gaple-an, dan akhirnya bosan,
lalu makan (sudahan). Karena untuk tidurpun tidak bisa, kami pun akhirnya
ngobrol – ngobrol santai. Pokoknya ngalor ngidul, tapi disini ada catatan
menarik, Zakiyatul Mahmudah pernah punya nama Ahmad Zaki ! (kalimatnya
spektakuler, kayak infotainment). Sebelum cerita, ada awalan begini bahwa
semakin malam ketika seseorang akan semakin mudah menceritakan sesuatu,
termasuk sesuatu yang jauh dari perkiraan seperti latar belakang keluarga,
bahkan sesuatu yang tak mau diungkapkan saat terang akan diungkapkan di malam
hari (ini sih, katanya…. Jadi nilainya bukan penelitian yaa sok tau aja). Tapi,
Zaki cerita bahwa awalnya orangtuanya sudah mengira bahwa yang lahir adalah
anak laki – laki, sehingga sudah dipersiapkan nama Ahmad Zaki. Tapi, ketika
lahir perempuan – ya jelas tak cocok maka dinamakanlah Zakiyatul Mahmudah
(simple sekali, nama baru cukup dengan merubah shighah al-kalimah Zaki –
tinggal ditambah ta marbuthoh jadi Zakiyah, lalu nama Ahmad dengan wazan af’ala
yang termasuk golongan Ism Ghoir Munshorif far’ ‘ilmiyyah dirubah
jadi wazan maf’uulatan --> kalau ini mungkin bentuk maf’uul yang
ditambahkan ta’ marbuthoh --> mohon dikoreksi “Miftahul Huda, Zakiyah
Mahmudah”). Oh ya, sebelum melanjutkan saya mohon izin kepada mukhotob cerita
ini untuk diceritakan ya, kalau belakangan ada complains and critics langsung
komentar ya. Fokusnya bukan disana, karena ternyata ia sempat tidak tahu bahwa
namanya yang sesungguhnya adalah Zakiyatul Mahmudah. Sampai suatu saat di
pesantren, ia populer dipanggil Zaki. Dan ketika diceritakan kepada ibunya,
barulah diketahui bahwa sebetulnya saat masih dalam kandungan pernah dikira
akan lahir anak laki – laki, dan nama itu yang direncanakan (puuantesss
tomboy poll...). Saya pun baru tahu, hobinya adalah menggantung boneka dan
menyeret – nyeretnya di jalan (implikasinya adalah hobi sekali dengan film
horror dan karena pernah bercita – cita menjadi dokter bedah), lalu pernah main
kompor didalam rumah (wah jangan ditiru….).
Sampai subuh, kami bertiga
ngobrol – ngobrol ringan dengan teh hangat dan makan mie goreng sisa
makan malam. Lalu jam 5 pagi satu demi satu dari kami mulai pergi untuk
melaksanakan sholat subuh (begitu masuk, ya Allah masih tidur….. bangunnnn
sudah subuh. Kadang lucu juga, malamnya waktu berdoa dalam rangka nishf
sya’ban khusyuk sekali – tapi mungkin ini yang namanya sisi manusiawi
seseorang, tapi sudahlah kami pun masing sering demikian.
Baru jelang jam 6 pagi, beberapa
teman putri mungkin sudah sholat di kamar dan mulai menyiapkan sarapan pagi dan
menunya kali ini adalah nasgor (akronim nasi goreng, lebih masyhur dengan nama
akronimnya), ada yang bersih – bersih, ada pula yang tidur lagi. Tapi, ada yang
keren yang gak tidur semalaman, balik lagi ke meja belakang buat gaple-an dan
remi-an (hadooh…..). Tapi, yang kami ingat sampai menjelang sarapan
sekitar jam 8 pagi seluruh kegiatan hanya diisi oleh kegiatan – kegiatan ringan
seperti nonton tv, main game, foto – foto (nah, faqod ashbaha al-moduusaat
fii haadza al-majaal). Lalu skitar jam 7.30 semuanya makan (ternyata, menu
pagi itu menjadi menu yang paling disantap habis, dan karena masih ada sisanya
dimakan lagi setelah jalan pagi ke kebun teh).
Rencana pagi itu, memang melihat
– melihat kebun teh yang berada di arah selatan villa sekitar 500 meter. Semua
pun berjalan menuju kesana, dan jalannya rupanya makin menyempit karena ada
jalan yang berbagi 2 dengan saluran air (lagi – lagi, memang foto itu sering
digunakan menjadi wasilah buat modus….. kok langsung kesini, belum
nyambung). Sampai dikebun teh, yang merupakan destinasi wisata didaerah sana,
karena setiap pengunjung bisa ikut membantu para pemetik kebun teh. Coba
bagaimana menurutmu para pembaca, setiap pemetik pucuk daun di kebun teh itu
dihargai hasil petikannya sekitar Rp 500,-/kg, sementara untuk mendapatkan per
hari 10 kg itu, kata salah satu pemetik disana butuh waktu dari pagi hingga
sore (berarti cuma Rp 5000,- , buat makan nasi ayam di pesanggrahan aja masih
kurang Rp 3.000,- , hidup kadang tak adil……. What must we do ?)
Kembali ke cerita, akhirnya
semuanya memutuskan untuk keatas lagi, dan berkumpul disebuah tanah lapang –
dan ternyata tidak jadi games, namun meneruskan evaluasi yang
dibicarakan semalam (sebetulnya ini sangat jauh dari perkiraan kami, karena
awalnya angket itu diperuntukkan untuk pribadi, dan khawatir menimbulkan
kecemburuan atau percikan – percikan kecil jika diungkapkan secara terbuka maka
kami memilih memasukkannya kedalam amplop dan diserahkan kepada masing –
masing). Rupanya, atas instruksi seksi acara, kang Fahru (mungkin juga dia
ngantuk karena begadang semalaman) maka dilanjutkan dengan sharing dari
beberapa teman yang belum mendapatkan kesempatan berbicara. Tapi, secara umum
respon yang diberikan kebanyakan positif. Yang kami ingat, misalnya ada yang
mengatakan bahwa sangat merasa terbangun, dan menjadi motivasi dengan komentar
– komentar tersebut – padahal tadinya ia sempat punya pemikiran untuk mundur
dari FDI, kini ia malah men-support siapapun untuk bertahan di fakultas
itu (ya, semoga diiringi dengan semangat belajar yang besar dan consist ya…).
Ada yang awalnya merasa kurang kerasan sehingga sering cepat pulang
setelah kuliah, dan kebetulan ia harus pulang pergi Ciputat – Bekasi. Ada pula
yang memberikan responsi yang cukup tajam (setajam………… silet… lho bukan ya)
tapi tidak sampai dijadikan perdebatan yang tak berujung. Ada yang merasa
berterima kasih dengan adanya komentar tersebut, dan memohon maaf bila selama
ini ada tingkah laku yang kurang berkenan.
Tapi, ada satu komentar menarik
dimana banyak juga pada waktu itu jadi sambil memberikan respon atas komentar –
komentarnya ada pula yang memberikan kickback dengan respon atau
pernyataan – pernyataan (sebetulnya, ini yang dikhawatirkan terjadi) yaitu
pernyataan bahwa sebetulnya inti pembicaraan itu semua adalah saling mengoreksi
diri, dan mengingatkan adalah hal utama dalam setiap hubungan. Tak terasa,
lebih dari 1 jam sudah pembicaraan mengenai evaluasi dan sharing antar ‘adhwu
al-fashl. Dan kegiatan itu diakhiri dengan foto bersama.
Kalimah
al-Ikhtitam wa al-Targhib
Akhirnya, review yang
singkat ini sebetulnya masih ada beberapa cerita yang ingin diteruskan, tapi
nampaknya bukanlah merupakan sesuatu yang tidak perlu didiskusikan dan
direnungkan (ini sih biar kelihatan ilmiah, aslinya sudah “malas” dan “lapar”
--> bukan makna sesungguhnya ya), walaupun ada cerita – cerita pinggir yang
lucu juga untuk diangkat ke tengah seperti kasus zaidun qoimun vis to
vis dhoroba zaidun (kalau ada yang merasa, mintaaa maaafff lagi
yaaaa………..) tapi sepertinya tidak terlalu substantif untuk dibicarakan.
Dan kalimat penutup dari cerita
ini adalah, semoga dengan momentum bulan ramadhan ini, adalah momentum untuk
bertolak dari kemalasan, dan keapaadaan dalam melakukan sesuatu (khususnya buat
yang nulis, semoga taubat dari tidur panjangnya). Karena, keapadaan itu sudah
pasti secara simultan menunaikan kita kepada formalitas semu – yang entah
kenapa selalu menjadi kekhawatiran kami dengan melihat menurunnya aspek kritis
– konstruktif dari kalangan mahasiswa (yang dalam konteks dirosat, mu’dhomuhum
adalah santri, atau yang pernah bergelut dengan dunia skolastik santri).
Sederhananya, bukankah Ulu al-Albaab (golongan yang berusaha memahami
esensial) adalah orang yang senantiasa
mengkaitkan antara istiqrooat (pengamatan induktif) yang dalam konteks
ini adalah melihat fenomena praksis dari masyarakatnya untuk kemudian
diselesaikan dalam bingkai keimanan (teringat surah ali Imran 190 – 191). Tapi,
semoga hal – hal ini bisa menjadi penyemangat dan pembangkit semangat kembali,
khususnya pada diri kami dan umumnya bagi para pembaca review ini. Dan semoga
iman, persahabatan, kasih sayang, dan tekad bulat menjadi tetralogi yang selalu
mengikat semua dalam naungannya. Wassalam
تعلم فإن العلم زين لأهله * و فضل و عنوان لكل المحامد
و كن مستفيدا كل يوم زيادة * من العلم و اسبح في بحور الفوائد
تفقه فإن الفقه أفضل قائد * إلى البرّ و التقوى و أعدل قاصد
هو العلم الهادي إلى سنن الهدى * هو الحصن ينجي من جميع الشدائد
فإن فقيها واحدا متورعا * أشد على الشيطان من ألف عابد