Bagaimana pendapat anda tentang laman ini ?

Statistik

Jumat, 23 Maret 2012

Mengenal Allah Dengan Filsafat - Resensi Qisshah Al Iman Bain Al Falsafah Wa Al 'Ilm Wa Al Qur’an

Sampai sekarang masih banyak orang Islam dan para ulama konservatif yang menolak keberadaan filsafat, terutama filsafat cabang metafisika sebagai jalan untuk mengenal Allah. Mereka menganggap bahwa filsafat dapat menyesatkan dan tidak diperlukan bahkan ada pula yang mengharamkan mempelajari filsafat metafisika karena ia dapat menjerumuskan seseorang menuju kekafiran.

Asumsi di atas menjadi semakin menemukan justifikasinya manakala mereka mendengar banyak atau ada beberapa mahasiswa IAIN atau UIN jurusan akidah filsafat yang tidak lagi mau mengerjakan shalat lima waktu karena menganggap shalat tidak diperlukan lagi dan Tuhan tidak perlu disembah. Bahkan ada pula yang mulai ragu apakah tuhan benar-benar ada ataukah ia hanya hasil rekayasa atau ciptaan manusia.

Kitab yang ditulis oleh Syaikh Nadim al Jisr, mantan Mufti Tarabuls, Lebanon Selatan ini agaknya ditujukan untuk menghilangkan asumsi bahwa filsafat metafisika bertentangan dengan agama dan bisa menyebabkan kekufuran. Ia ingin menunjukan bahwa filsafat sebenarnya dapat menuntun seseorang untuk mengenal Allah dengan keyakinan yang mantap asalkan filsafat itu dikaji dengan mendalam dengan ungkapan yang jelas ia mengatakan bahwa filsafat itu lautan yang tidak sama dengan lautan yang lain. Seseorang akan menemukan bahaya dan tersesat apabila ia dipinggirnya. Keamanan dan pencapaian iman justru terdapat ditengah kedalaman filsafat itu.


Untuk membuktikan bahwa filsafat tidak bertentangan dengan agama atau al Qur’an maka Syaikh Nadim mengajukan karyanya ini secara sistematis dan menguraikan persoalan-persoalan filsafat metafisika secara runtut dan mendalam. Ia menguraikan pemikiran filsafat metafisika mengenai asal usul penciptaan yang dimulai dari pemkiran para filosof Yunani kuno hingga filosof Muslim dan dilanjutkan dengan pemikiran para filosof modern. Dengan tekun dan sabar, ia menyajikan semua pendapat di atas secara urut kronologis-historis, di mana pembaca karya ini akan menarik suatu kesimpulan yang tak terbantahkan bahwa filsafat, khususnya metafisika tidak bertentangan dengan agama atau al Qur’an.

Kitab ini dimulai dengan mengambil setting cerita tentang seorang pemuda yang bernama Hairan Bin Al Adh’af Al Punjabi, seorang mahasiswa Universitas Pesawar. Ia seorang pemuda yang sangat haus tentang ilmu pengetahuan dan berfikir seperti cara berfikir filsafat yang selalu ingin mengkaji asal usul dan hakikah segala sesuatu mengapa ia ada, dan apa hikmah serta penciptaanya. Hairan selalu bertanya kepada gurunya juga teman-temannya tentang alam semesta, ia bertanya kenapa alam ini diciptakan, kapan diciptakan, dari apa, siapa yang menciptakan, dan bagaimana ia menciptakannya. Pertanyaan–pertanyaan filosofis di atas membuat ia diejek dan dicemooh teman–temanya. Sebagaian dosennya pun mengatakan bahwa ia bukanlah orang yang sedang menuntut ilmu agama melainkan orang yang sok berfilsafat.

Semua ejekan dan bentakan tidak membuatnya patah semangat mempelajari filsafat akan tetapi justru menguatkan keyakinannya bahwa hakikat yang ia lihat hanya dapat diketahui dengan filsafat. Oleh karena itu iapun tenggelam dalam mempelajari buku-buku filsafat. Meski demikian pihak Universitas telah menganggap fenomena Hairan ini sebagai penyakit akut yang harus diamputasi sebelum menyebar dan menjalar kepada mahasiswa yang lain. Oleh karena itu pihak universitaspun memecatnya dan ia dikeluarkan dari kampus.

Berita pemecatan Hairan bagaikan petir yang menggelegar bagi sang ayah. Sang ayah kemudian menasehatinya agar meninggalkan filsafat dan menekuni ilmu agama terlebih dahulu. Sang ayah kemudian menunjukan gurunya yang bernama Abu An Nur Al Mauzun jika ia ingin mempelajari hakikat filsafat. Tanpa berfikir panjang Hairan kemudian pergi ke Khartank, Samarkan, suatu desa kecil di mana Syaikh sedang menghabiskan usia tuanya untuk berkhalwat di masjid dan dekat dengan imam Bukhari. Akhirnya Hairan mendapat bimbingan dan petunjuk dari sang Guru dalam mempelajari filsafat. Untuk mengenal Allah ada tiga tahapan yang digunakan Syaikh Al Mauzun.

Pertama, pendekatan filsafat. Kedua, mengkaji hasil informasi sains dan ilmu pengetahuan. Ketiga, melalui al Qur’an. Terasa agak aneh memang kenapa pendekatan Al Qur’an justru pada tahapan terakhir bukan yang pertama seperti yang biasa dilakukan ulama-ulama tradisional yang lebih suka secara langsung menggunakan dalil-dalil al Qur’an atau Sunnah dalam mengajarkan tauhid. Metode yang digunakan Syaikh Al Mauzun ini agaknya sengaja digunakan sedemikian rupa untuk membuktikan bahwa untuk mengenal Tuhan, manusia dapat menggunakan akalnya tanpa harus terlebih dahulu dibimbing oleh wahyu. Untuk itu sang guru membawa Hairan menelaah dan menelusuri pandangan para filosof Yunani kuno mengenai wujud Allah dan asal usul penciptaan alam semesta.

Syaikh Al Mauzun menjelaskan bagiamana Thales mengatakan bahwa asal segala sesuatu adalah air. Bagi Thales dan semua filosof, dunia ini tidak mungkin diciptakan dari murni ketiadaan. Dan sudah pasti ada asal usulnya. Pada dasarnya permulaan segala sesuatu adalah perubahan. Karena itu harus ada materi azali yang menjadi asal usul segala sesuatu. Dan materi azali itu adalah air. Karena air bisa menerima perubahan. Air bisa beku dan bisa mencair, bisa menguap, dan kembali menjadi air. Dan air adalah syarat kehidupan. Lalu Aneximenes mengatakan asal usul penciptaan adalah udara, bukan air. Aneximender mengatakan asal usul segala sesuatu harus berasal dari sesuatu yang tidak berbentuk, tidak ada kesudahanya dan tidak terbatas. Air memiliki sifat-sifat tersendiri. Begitu pula udara. Dan semua yang ada juga memiliki sifat tersendiri juga. Oleh karena itu tidak mungkin semua benda yang memiliki keanekaragaman sifat berasal dari satu materi. Konsepsi Anaximender ini mirip konsep ‘laisa kamitslihi syai’un’. Hanya saja ia masih menyebut materi yang tidak terbatas dan berkesudahan dan Tuhan bukanlah materi. Asal usul segala sesuatu haruslah berupa bilangan dan kita menghitung angka satu demi satu maka asal usul segala sesuatu haruslah yang satu, kata Pitagoras (2830).

Demikianlah seterusnya pendapat Democritos, Aristoteles, Socrates, Plato, dan para filosof kuno dikaji satu demi satu. Agaknya Syaikh al Mauzun ingin menunjukan pada pembaca betapa pemikiran manusia tentang Tuhan sudah berkembang sejak zaman dahulu dan dengan akalnya pula manusia dapat menemukan adanya Tuhan yang menciptakan dan menjadi asal usul segala sesuatu. Setelah mempelari pemikiran filosof Yunani kuno, Syaikh Al Mauzun mengajak Hairan untuk menelaah pendapat para filosof Muslim seperti al Farabi, Ibnu Sina, dan Ar Razi tentang pembuktian adanya Allah sebagai pencipta alam semesta. Sang Syaikh juga menolak pendapat yang mengatakan bahwa para filosof muslim itu memiliki iman yang lemah. Justru menurutnya mereka adalah orang-orang yang memiliki akidah yang sangat kuat kepada Allah karena mereka menggabungkan iman kepada wahyu dengan penalaran akal sehat. Penggabungan ini bagaikan cahaya di atas cahaya. Tidak lupa sang Syaikh mengajak Hairan untuk membandingkan pendapat al Ghazali dengan Kant dan Descartes dan melihat adanya titik temu pendapat di antara mereka. Tidak ketinggalan pula bagaimana pendapat Ibnu Rush, Al Ma’ari dan Ibnu Khaldun dikaji secara mendalam. Ia juga menjelaskan mengapa ada orang seperti al Ghazali yang mengkafirkan filosof Muslim seperti Ibnu Sina dan Al Farabi. Menurutnya hal itu disebabkan adanya perbedaan konsepsi mengenaiQidam al Alam antara mereka. Setelah mempelajari filosof muslim mengenai pembuktian Allah maka Syaikh Al Mauzun mengajak Hairan mengkaji pendapat filosof modern seperti Thomas Aquinas, Bacon, Descartes, Pascal, Spinoza,

Lock, dan David Hume mengenai hakikat wujud. Banyak di antara mereka memiliki kesamaan pandangan dengan filosof muslim. Pascal, seperti halnya al Farabi dan Ibnu Sina mengatakan bahwa akal fitrah manusia dapat menemukan adanya Allah sebagai pencipta akan tetapi akal manusia tidak akan mampu memahami hakikat wujud penciptaan dan pencipta. Karena akal manusia terbatas untuk mencapainya (131).

Setelah mengkaji filsafat, Syaikh al Mauzun mengajak Hairan untuk memahami ilmu pengetahuan dan sain. Mereka mengkaji benda-benda langit laut, tumbuh –tumbuhan, hewan, bahkan manusia. Semuanya bertasbih kepada Allah. Semuanya itu terjadi bukan karena kebetulan. Menurut Syaikh Al Mauzun tidaklah dapat diterima oleh akal bahwa keberaturan, keseimbangan, ketelitian, serta keindahan yang ada dialam semesta ini terjadi dan tercipta secara kebetulan.

Setelah mengkaji sain dan ilmu pengetahuan, Syaikh Al Mauzun mengajak Hairan membaca Ayat-ayat Al Qur’an yang berkait dengan sain dan ilmu pengetahuan. Dan ia berpesan agar Hairan senantiasa membaca ayat-ayat itu sehingga apa yang tampak wujud dialam semesta ini akan senantiasa bisa dikaitkan dengan Al Qur’an. Membaca karya putra pengarang kitab al Hushun Al Hamidiyah ini memang sangat mengasyikkan dan membacanyapun perlu ketekunan, kesabaran, terutama bagi yang tidak terbiasa dengan persoalan –persoalan filsafat. Akan tetapi kontribusi terbesar dan sangat layak untuk diapresiasi adalah ia berhasil menunjukan bahwa antara filsafat khususnya filsafat metafisika, sains dan ilmu pengatahuan dan al Qur’an tidak ada pertentangan. Justru filsafat dapat menghantarkan seseorang untuk mengenal Allah dengan akidah yang kuat.

Kiranya karya ini layak untuk menjadi bacaan bagi kalangan pesantren yang selama ini terkesan tidak begitu akrab dengan filsafat terutama bagi mereka yang mengajar tauhid, tafsir Al Qur’an. Karya ini terasa semakin berbobot dengan banyaknya sambutan dan pujian dari berbagai kalangan mulai dari para ulama, bahkan para politisi dan pejabat di dunia Islam. (Samito, MSI, Guru Madrasah Nurul Ummah Kotagede Yogyakarta)

Tentang Kitab:

Judul

:

Qisshah Al Iman Bain Al Falsafah Wa Al 'Ilm Wa Al Qur’an

Penulis

:

Syaikh Nadim Al Jisr

Penerbit

:

Bairut, Dar Al Arabiyyah

Cet.

:

III/1969

Hal.

:

451 Halaman

Menggagas Fikih Baru: Upaya Membumikan Fiqih Humanitas - Faiq Ihsan Anshori, Lc. MA.Hum

Prolog

Asumsi mendasar yang terbersit dalam benak umat Islam dewasa ini, diakui atau tidak, bahwa syariah dalam konteks kikinian (global) dan kedisinian (lokal) seakan menghadapi kebuntuan, rigid, alienisasi sosial, dan dipecundangi zaman. Semestinya, pemahaman semacam ini mulai dienyahkan, sebab jika tetap dibiarkan, niscaya lambat laun umat tidak akan mempercayai syariah Islam dan berakibat pada psikologis umat karena merasa sudah tidak mendapatkan pembelaan keadilan, curahan kemaslahatan, pun pelindung kehidupan. Kognitas syariah semestinya dipahami dan didogmatisasikan sebagai kandungan ajaran dan pedoman tunggal, yang ber-perikehidupan dan ber-perikemanusiaan.

Demi menuju ke arah sana, tulisan ini akan berupaya melakukan penelaahan dan penataan ulang (reconstitution) syariah; seputar lalu lintas (re)definisi, tipologi, epistemologi, deskripsi, sekaligus mengangkat problematika dan isu kontemporer yang menimpa dunia Islam.

Antara Syariah, Fiqih, dan Tipologi

Hal urgen yang patut ditanamkan dalam benak umat adalah perlu adanya penegasian dikotomis antara terma syariah dan terma Fiqih. Sekalipun kedua term itu berpatron pada satu muara, yakni Agama. Namun, ada disparitas antar kedua terma itu. Syariah adalah rumusan yurisprudensi permanen yang tertuang dalam al Qur’an dan Hâdits secara universal-parsial. Meliputi aturan kompleksitas dan totalitas kebutuhan manusia, baik hubungan vertikal-individual, maupun hubungan horizontal-kolektif, bahkan dengan kehidupan alam sekitar sekalipun. Syariah adalah teks-teks itu sendiri, mencakup teologi kalam, etika filsafat, tasawuf, yurisprudensi (Fiqih),[1] yang meniscayakan dimensi esoterik-eksoterik di dalamnya. Sementara Fiqih adalah hukum-hukum partikular yang digali dari al Qur’an dan Hâdits; sebentuk diktum dalil-dalil tafsil nash yang kemudian diolah-proses oleh nalar ijtihad manusia dalam sosio-kultur dan menurut antropologis-geografis tertentu. Artinya Fiqih begitu identik dengan nuansa perubahan sebab ia berorientasi pada hukum-hukum dzaniyât, yang bersifat prediktif.

Fiqih dalam tataran aplikatif, sebagaimana yang diungkap oleh Jamal al Bana dalam kitab Nahwa Fiqih Jadid-nya, memiliki dua tipologi. Pertama, Fiqih Qadha’. Kedua. Fiqih Tasyri’. Fiqih Qadha’ adalah produk hukum yang berorientasikan pada akses Nabi langsung sebagai pencipta dalil-dalil hukum. Secara skematis, Fiqih Qadha’ merupakan sejenis bagan vertikal aspirasi bawah (baca: Umat) menuju atas (baca: Nabi) Sang syâri’.

Fiqih ini terjadi di masa Nabi masih hidup. Beliau merupakan satu-satunya pemegang otoritas tunggal syariah. Tentu, sebagai legislator syariah hal-ihwal yang berkaitan pada segala putusan hukum mau tak mau harus melalui dan mendapatkan pengakuan legalitas dan legitiminasi Nabi; yang diproyeksikan dengan via ucapan, tindakan, ketetapan (selanjutnya disebut Hadits) maupun via wahyu Jibril (selanjutnya disebut al Qur’an). Nabi dalam memutuskan perkara hukum senantiasa berpijak pada realita kehidupan masa itu sesuai asbâb al-nuzûl-nya. Beliau tidak menjawab dan menjelaskan hukum-hukum pada ruang dan waktu kosong masa depan, namun hanya pada perkara-perkara yang bersifat temporal-lokal dan insidental.[2] Jadi, dalam tataran kapasitas sebagai problem solving hukum partikular an-sich, al Qur’an diturunkan untuk manusia yang hidup dalam sejarah periode kenabian dan tentunya, jika demikian, meniscayakan hukum-hukum yang responstatif.[3]

Nabi dalam kapasitas pembawa risalah “hanya” membatasi pada persoalan waqi’iyah masa itu dan cenderung tidak memperkenankan ajuan “pertanyaan berandai-andai”, pasalnya bisa berakibat fatalis; berupa pembebanan hukum lebih berat pada umat kemudian. Secara simplisit, ia mengilustrasikan bahwa Bani Israil cukup sebagai ibrah ideal untuk umatnya hanya karena melulu mengajukan pertanyaan tak bermanfaat, malahan berakibat mendapat balasan hukum setimpal sebagai “kompensasi hukum” yang terpaksa harus diterima.

Sementara itu, Fiqih Tasyri’ adalah produk hukum yang berorientasikan pada dalil-dalil al Qur’an-Hadits dan merupakan ladang eksplorasi istinbât oleh para ahlinya (Mujtahidîn). Fiqih Tasyre’ merupakan sejenis bagan vertikal akomodir (atas) entitas dali-dalil paripurna menuju (bawah) umat.[4] Ia terlahir setelah kewafatan Nabi. Pasca kemangkatannya problematika hukum tak mampu terjawab oleh wahyu maupun ijtihad Nabi. Begitu Nabi wafat, otoritas tunggal pun lenyap dan produktivitas Fiqih mengalami kulminasi final, sejalan tranmisi pewahyuan verbal-non verbal telah tuntas. Syahdan - al Qur’an, kemudian Hâdits, menjadi pesan tanda dan obyek multi-tafsir terbuka oleh generasi sahabat, tabi’in, shalaf al shâlih guna mendedah diskurus problemetika yang tidak pernah terbayang sebelumya.

Nah, dari sinilah, babak-babak drama Fiqih dimulai, umat terkena imbas kehilangan nakhoda syariat (Nabi) dan mulai dibayang-bayangi segunung persoalan zaman segenap pluralitas fase budaya dan peradabannya. Mau tak mau barisan umat terdepan (baca: mujtahid zaman) harus mampu menjawab atas persoalan zaman yang belum ternalar menjadi ternalarkan. Sehingga, tak ayal, demi tetap menemukan elastisitas ruh serta maksud-maksud hukum (maqashid al Syariah’) –sejalan alur tiap-tiap generasi– bermunculan ragam paradigma bangunan epistemologi perangkat istinbaât hukum, macam Konsensus (Ijma’), Analogi (Qiyâs), Kepentingan Publik (Maslahah), dan perangkat lainnya yang terangkum dalam disiplin ilmu asas-asas yurisprudensi (Ushul Fiqih) dan kaidah-kaidah yurisprudensi (Qawâid al Fiqih), di mana segenap perangkat ini tak lain adalah demi tetap mereproduksi hukum Fiqih sesuai dinamika zaman.[5] Dari kilasan kronologi diatas, tampak jelas bahwa Fiqih merupakan produk nalar budaya manusia pada masanya, sekalipun tidak dipungkiri bahwa monumen khazanah tradisi Fiqih masih terlaku hingga kini –dan tentu dengan catatan sepanjang masih ada relevansinya dengan frame kekinian dan kedisinian.

Antara Doktrin Agama, Ber-agama, dan Kebudayaan.

Apa yang terjadi pada umat dewasa ini adalah virus akut tidak mau coba-coba memisahkan antara paham agama (al din) dan ber-agama (tadayyun). Hal ini begitu signifikan. sebab, selama ‘virus’ ini masih hinggap dan menjangkiti umat, maka selama itu pula dekadensi dan degraritas umat tetap berlangsung.

Agama merupakan wahyu ilahiyyah yang patut terjaga aura sakralitasnya.[6] Ia adalah teks-teks suci-ukhrawi nan abadi sepanjang masa yang darinya mengalir sumber-sumber syariah. Sama sekali tertutup untuk direkontruksi bahkan didekontruksi, mengingat pintu hapus hukum (baca: naskh) telah terkunci rapat sejak keterputusan risalah Nabi. Manusia tidak berhak mengintervensi otoritas Tuhan-Nabinya dalam hierarki ini.[7]

Sementara itu, ber-agama merupakan sebongkah pemahaman manusiawi manusia atas agama yang bersifat asumstif dan duniawi. Pemahaman ini tidak lepas dari buah pikiran manusia yang rentan terpengaruh akulturasi sosio, kultur, dan politik yang melingkupi horizon interpreter atas teks-teks suci keagamaan itu.[8] Tentu secara emperis, tidak lepas dari relativitas pemahaman itu sendiri yang meniscayakan kandungan benar-salah atau serupa teori verifikasi-falsifikasi. Manusia harus sadar dan kembali pada diri ke-manusia-annya yang tidak luput dari kesalahan kecuali para Nabi; bahwa selain Nabi boleh diambil bahkan dicampakan pendapatnya.[9]

Tentu dari kontemplasi ini meniscayakan sebuah silogisme evolusi pemahaman restorasi dan reformasi keagamaan terus-menerus dalam sejarah kemanusiaan. Bagaimanapun, manusia akan konstan menggantungkan pada penguasaan pengetahuan manusia sesuai zamannya. Agama diturunkan bukan hanya untuk satu masa, maka interpretasi paling tepat dalam memahaminya adalah dengan membedakan mana yang menjadi unsur lokal-temporal dan mana yang universal-eternal, mana yang memiliki unsur konstan dan mana yang memiliki unsur varian.[10] Tidak ada yang menyangsikan bahwa Agama (dengan huruf A kapital) turun atas kehendak Tuhan, namun di balik itu upaya implemantasi pemahaman dan perealisasian sepenuhnya bergantung pada manusia an sich, sebab manusia, dengan anugrah akalnya, diberi titah memanggul amanat untuk laku kemaslahatan dan laku kehidupan umat di muka bumi. Dan lagi, ketentuan atas unsur-unsur konstan-eternal dan varian-temporal itu tidak sekonyong-konyong langsung diperoleh secara komprehensif sebelum memahami kalimat sakti; apa itu agama dan beragama. Sebab secara natural, epistema pemahaman tidak akan diperoleh sebelum pemahaman agama itu sendiri, melainkan setelahnya.[11] Jadi, apa yang terjadi pada umat atas agama selama berabad-abad lamanya, sesungguhnya tidak lebih dan tidak kurang dari proses upaya mengobservasi, memahami, menemukan kesuaian dengan jati diri agama atau dalam terma Islam ruh syariatnya.

Namun tidak semudah membalikan telapak tangan, acapkali pikiran manusia terpengaruh oleh kebuntuan dan pengabaian. Ia justru tenggelam oleh pikirannya sendiri, hingga berujung tidak “menemukan esensi keagamaan dalam agama”. Ketentuan semacam ini, mencakup pluralitas agama-agama manusia di muka bumi- yakni, dalam konteks memahami agamanya. Bahkan dapat diterapkan pada cakupan cabang-cabang disiplin ilmu pengatahuan manusia.[12] Karenanya, adalah rasional dan realistis jika inovasi pemahaman keagamaan (baca: ijtihad) demi keberlangsungan penemuan sekaligus penyempurnaan kontinuitas paham keagamaan yang mesti digalakkan, bukan malah dianggap sesuatu yang absurd, “pamali”, bahkan melangkahi dogma agama.

Terpenting, bahwa revolusi (tsawrah) ini merupakan logika hukum alam dan bagian dari wilayah agama itu sendiri.[13] Apa yang terjadi pada literatur-literatur klasik harus berani dianggap sebagai “produk budaya”. Relasi agama dan budaya ibarat mata uang yang berkait-kelindan. Budaya adalah bagian emanasi agama. Agama tidak akan harmonis jika tidak mengikuti budaya begitu pun sebaliknya.[14] Artinya jika ditempatkan pada tataran frame budaya; maka agama seyogyanya mengikuti busana budaya kini bukan budaya masa lampau. Aura sakralitas turâts sudah semestinya diganti dengan pisau analisis-kritis intelektual. Hal tentu meniscayakan rekontruksi hukum-hukum dalam bangunan Islam.

Bahkan jika kita tilik kembali melalui framework ilmiyah banyak terhampar justifikasi hukum dalam kaidah-kaidah Fiqih maupun dalil-dalil nash yang melegalkan budaya (baca: urf) ini maupun melalui framework legalitas empirikal. Seperti, salah-satu framework itu, adalah kisah mashur dikalangan pengkaji turâts bahwa Imam Syafi’i mempunyai dua persepsi berbeda, yang dikenal dengan sebutan qawl qâdim dan qawl jâdid. Pendapat pertama, ketika ia bermukim di Irak, pendapat kedua, ketika ia bermukim di Mesir.

Semua pejelasan ini memberikan visualisasi atas refleksi kebudayaan dan peradaban sejarah; bahwa literatur-literatur klasik maupun kontemporer tidak akan terlepas dari proses keterpengaruhan (‘alâqah al ta’tsir wa al taatstsur) budaya dalam penalaran ijtihad keagamaan, hingga pada akhirnya memberikan suatu analitik baru; bahwasanya sepanjang sejarah manusia, sesegala “hal-ihwal duniawi” disebut sebagai produk kebudayaan. Walhasil, manusia harus konstan bergerak maju mengikuti peradaban sejarah masa depan bukan malah bergerak mundur kembali ke belakang peradaban sejarah masa lampau, sebab perubahan adalah alamiah dan merupakan sunnatullah.

Langkah metodologi yang paling tepat dalam menggumuli kebudayaan adalah senantiasa menerapkan konsepsi ekleksitas dalam beragama. Sebab manusia, bagaimanapun, kapanpun, tetap berada ditengah-tengah relung peninggalan raksasa peradaban, yang diatas bahu mereka kita berdiri. Dan tentunya sedikit-banyak masih memiliki sejumlah keyakinan sakralitas agama yang layak untuk diapresiasi dan diamalkan seperti tradisi dan ritual yang terlaku di masyarakat, misalnya.

Adalah yang absurd dan sangat menggelikan jika seorang pengkaji kontemporer yang coba-coba mengamandemen pelbagai epistemologi baru (qirâ’ah jâdidah) tanpa sama sekali berkaca melihat warisan kazanah kebudayaan tradisional.[15] Tentu imposible menjadi “anak baru zaman” (ibn zamân). Islam sejatinya mampu menampakan diri dalam beragam bentuk dan wajah perubahan budaya zaman. Maka tugas intelektual agama adalah bagaimana memfungsikan dan menyelaraskan Islam sesuai konsepsi realitas; sebuah dialektika antar kategori perubahan dan kategori keabadian dalam moral-spritual Islam, sebagaimana yang hendak dicita-citakan Muhammad Iqbal,[16] Sang Pembaharu Islam.

Dari Otoriter menuju Otoritatif

Fenomena riskan yang terjadi pada umat Islam dalam bentangan lanskap sejarah semenjak dulu hingga sekarang adalah pluralitas sekte-sekte. Dan yang tak bisa dinafikan sekarang adanya gejala kristalisasi “paham aliran” yang bermuara pada dua kubu utama “paham aliran”. Pertama, aliran fundamentalis-konservatif. Kedua, aliran “liberal-kontemporer”. Disinyalir di bawah lanskap kamejemukan itu berpangkal pada upaya berlomba-lomba menemukan konsepsi kebenaran menurut persepsi dan kepentingan sendiri yang kadang otorian dan arbitrerian. Dalam wacana pergumulannya tentu meniscayakan lontaran istilah-istilah sakralitas, defensif, apresiatif dari kalangan pertama maupun kritikan, rekonstruktif, dekontruktif dari kalangan kedua. Padahal sesungguhnya yang terjadi bahwa klaim kebenaran itu tidak lain merupakan bentukan ijtihad manusia semata. Manusialah yang menciptakannya, alih-alih menemukan kebenaran skolastik. Sebab kebenaran sejatinya hanya ada satu, yakni menurut pandangan Tuhan Yang Maha Tahu an-sich dan tentu ini bersifat transenden dan esotoris.[17] Apa yang dilakukan manusia tidak lebih sebuah upaya mencari-menemukan kebenaran-kebenaran yang terhampar terlantar berserakan, yang jika “kebetulan sesuai” dengan kebenaran Tuhan diganjar dua kali lipat pahala, namun jika meleset diganjar satu pahala sebagai apresiasi dari Tuhan atas laku ijtihadnya.[18] Sebuah aforisma yang begitu familiar dikalangan awam umat.

Ekses dari dua kubu aliran paham tersebut masih terasa pada denyut nadi umat di era kontemporer ini. Ini tentu merupakan problematika umat yang amat serius, di saat Barat melenggang dan melanglang menuju puncak sains dan teknologi, sementara Islam masih berkutat dan bersibuk diri di dalamnya. Mungkin ada baiknya jika menelanjangi kedua kubu utama tersebut, sehingga jika sudah terlihat jelas tidak akan terjebak dalam sikap ambivalen dan oportunistik. Kemudian membukakan jalan ketiga; sebuah upaya sinergik antar keduanya (tawâsuth baynahumâ).

Adalah apologetik atas kubu pertama (fundamentalis-konservatif), ketika entitas Fiqih –yang sejatinya mampu bergerak dinamis mengikuti perubahan– namun ternyata dipahami a historis oleh kaum-kaum militan-puritan. Bahkan memori terburuk dalam sejarah adalah ketika pada kurun keempat hijriyyah mayoritas para fuqaha’ mengeluarkan statemen bahwa pintu ijtihad telah tertutup selamanya.[19] statemen ini berekses amat signifikan dalam kelangsungan intelektual Fiqih, pasalnya semenjak itu Islam mengalami dekadensi dan kemandegan dalam laku ijtihad. Momentum paling tragis itu ketika salah satu pembesar ulama hanafiyyah, yakni Abu Hasan al Kurhi menyatakan bahwa jika seorang muslim berijtihad harus ditolak mentah-mentah jika tidak sesuai dengan pendapat imamnya.[20] Hal ini tentu ironis, dikala zaman bergerak maju sementara umat dipaksa kembali ke belakang memaksimalkan fasilitas yang sudah aus dimakan zaman. Tentu tidak sesuai dengan citra zaman dan ruh Islam yang berlabel dinamis dan fleksibel mengikuti laju zaman. Mestinya, menelan mentah dan membudidayakan peradaban masa lampau bukan berarti mengabadikan dan menghidupkan terus-menerus adat budaya leluhur yang khurafat dan menghinakan.

Sejarah membukukan, sekitar abad ke-10 M sampai abad abad ke-15 M Islam pernah mengalami masa kejayaan dimana Islam berkembang pesat dalam pelbagai bidang disiplin ilmu terutama dalam intelektual Fiqih. Bisa dikatakan selama lima dasawarsa itu adalah kurun paling gemilang puncak kebrilyanan intelektual Fiqih. Kemudian pada penghujung abad ke-15 M intelektual Islam mengalami kemandegan bahkan kemunduran secara drastis karena pelbagai faktor internal-eksternal yang melatar belakanginya.[21] Dalam faktor internal karena adanya intervensi dan pengawasan ketat rezim Umawiyah dan Abasiyah dalam arus perkembangan intelektual muslim. Hampir para penguasa masa itu tak segan-segan memberangus ide-ide intelektual yang tak sejalan dengan kepentingan mereka. Semantara faktor eksternal, yang konon menurut pakar sejarawan adalah penghambat terbesar kemunduran Islam, yakni ketika kota Bagdad sebagai jantung peradaban Islam masa itu diserang tentara bengis Tartar, hingga memporak-porandakan segala isi kota itu termasuk pembendaharaan pustaka keilmuaan Islam yang tak ternilai harganya. Semenjak itulah awan hitam menyelimuti umat Islam, ditandai melesunya semangat umat dalam kebangkitan Islam hingga beberapa abad lamanya. Umat sejak itu hanya taqlid tunduk pada Imam-Imam yang telah ada tanpa kreatif melakukan ijtihad.

Sejarah kelam ini tentu menyisakan kenangan buruk, sebab puing-puing itu masih kuat terasa hingga sekarang dengan masih banyaknya aliran fundamentalis-konservatif yang membebek pada turâs tanpa mau menoleh watak elastisitas Fiqih serta konteks sosio-historis yang membentuk rancang-bangun turâs. Sebagai bukti konkrit, tindak tanduk taqlid buta masih terjadi pada kultur masyarakat Indonesia dengan hegemoni paradigama syafi’iyyah sentries. Seakan apatis hanya mazhab syafi’ie saja yang paling benar seraya mengkesampingkan mazhab lain yang nota benenya masih golongan sunni. Tentu fanatisme mazhab ini tidak boleh dibiarkan, sebab sama halnya tidak mengakui segenap eksistensi mazhab empat (Madzâhib al Arba’ah); Maliki, Hanafi, Syafi’i, Hanbali. Semestinya hegemoni budaya bermazhab tunggal ini mesti segera dirombak dengan mulai memberdayakan referensi turâts non-syafiyyah. Dengan demikian, upaya sosialisasi de-sentralisasi serta de-sakralisasi atas turats –yang masih dihinggapi aura sakral dan produk final (already for use)– adalah sebuah keniscayaan agar selaras dengan apa yang dicita-citakan para mujtahid sepanjang masa. Ibnu Qayyim al Jauziyyah dan al-Qarafi mengecam keras kezumudan berinteraksi dan berdialog dengan teks keagamaan yakni dengan tetap terpaku dan berkutat ria pada teks-teks itu sepanjang hidup. Seandainya mereka hidup dan menyaksikan, niscaya akan melegitiminasi perubahan-perubahan hukum yang terjadi.[22]

Sudah saatnya umat membuka mata untuk menghentikan “perang suci” menundukan alam modernitas dengan berpretensi demi mempertahankan identitas kemurnian tradisional. Kemudian mengembalikan otorianisme sikap bermazbab menuju otoritatif metodologis. Sebab ngotot mempertahankan otorianisme pada akhirnya berujung pada sikap skeptisisme dan pesimisme menatap masa depan serta siap-siap “terisolasi zaman”, disatu sisi, dan melangsungkan budaya otoriter, disisi lain.

Sementara upaya yang gencar ditunjukan oleh kubu kedua (“liberal-kontemporer”) adalah ketidak-mampuan menyulih saripati peradaban masa lampau. Mereka menggeneralisir penolakan buta budaya turâts, mengganggap produk Fiqih sebagai museum purbakala yang hanya relevan pada masanya. Hingga tidak patut diaplikasikan dalam konteks kekinian. Mereka, sekalipun tidak menggeneralisir, cenderung menggantikan posisi sakral agama dengan memberhalakan akal (paganisme rasionalis) dan mendaku-dalih kemaslahatan, alih-alih atas nama agama. Seraya kengototannya menggugat habis otoritas dan tradisi agama. Padahal apa yang dilakukan mereka tidak lebih dari manuver pembabatan dan penerabasan nilai-nilai esensial agama sendiri.

Sepertinya, jika ditelisik lebih kritis, mereka berupaya menciptakan pembacaan baru (qirâ’ah jâdidah) keagamaan melalui upaya-upaya pencangkokan extra agama dalam agama. Tentu hal yang amat disayangkan, jika implikasi hegemoni budaya terbaratkan ini riskan mempertaruhakan tumbal “budaya induk”. Jadi, ringkasnya, paradigma kebudayaan bukan berarti membuang jauh-jauh peradaban masa lampau, namun bagaimana mengakomodir serta memodifikasi agar tampilannya lebih baik dan adaptatif dengan zaman.

Adalah suatu kekeliruan besar, jika pemikir “liberal-kontemporer” dalam memproyeksikan pembaharuan menempatkan agama sebagai suatu entitas di luar jati dirinya, hingga lupa pada “batas-batas tertentu”. Secara serampangan, mereka mencoba meruntuhkan hal-ihwal yang dianggap warisan kazanah tradisional, seraya (me)lupa(kan), bahwa tindakan menepikan serta menafikan warisan khazanah tradisional sama halnya memiskinkan sekaligus mematikan mutiara khazanah berharga peninggalan sejarah peradaban Islam masa lampau. Sebagai contoh konkrit, yakni pembacaan baru (qirâ’ah jadîdah) yang ditunjukan oleh Muhamad Syahrur terasa benar-benar asing di mata umat. “Uji coba” epistomologinya tidak lebih dari melukai cita rasa budaya sendiri. Ia –Muhammad Syahrur– yang berlatar belakang akademis insinyur menerapkan penetrasi teori limit bangunan epistemologi sebagai konsep extra agama atas diri agama. Tak ayal eklektisisme ini melahirkan gerak oportunistik, hingga mengakibatkan ketidak-harmonisan cita rasa beragama. Umat merasa teralienisasi dan belum siap mental menerima ide-ide yang digulirkannya.

Dari Subjektif Menuju Obyektif

Menurut hemat saya, apa yang diteriakkan oleh Jamal al Bana, seorang faqih pembaharu, semestinya diapresiasi dan mulai diaplikasikan dalam ranah Fiqih kekinian. Ini tak lain agar wajah Fiqih menemukan jati dirinya serta mampu berdialektika dengan nafas perubahan zaman. Dalam memproyeksikan GAGASAN FIQIH BARU-nya (Nahwa Fiqih Jâdid), Ia mengkritisi dan coba-coba menata ulang (reconstitution) rancang bangun epistema Fuqaha’. Sebab menurut persepsinya, mereka telah terjebak kedalam hegemoni dogmatisasi doktrin-doktrin keagamaan tanpa melibatkan dan mempertimbangkan nilai humanitas perikemanusiaan, sebagai acuan mainstream dalam menciptakan yurisprudensi Islam.[23] Lebih jauh ia mengilustrasikan bahwa esensi Islam sejatinya menghendaki visi kemanusiaan; memanusiakan manusia seutuhnya. Sehingga diharapkan mampu memproyeksikan capaian kehidupan beragama sesuai antroposentris kemanusiaan tanpa merasa terbebani dan terbelenggu oleh tirani hukum ciptaan fuqaha yang menganulir prinsip-prinsip elementer syariat dan kesewenangan-wenangan (otorianisme) dalam mengintrepretasikan teks-teks keagamaan.[24]

Rancang bangun epistemologi yang digulirkan Jamal al Bana dalam kitab Nahwa Fiqih Jadid-nya[25], pertama, Akal sebagai perangkat paling vital memahami tiga komponen istinbat.[26] Kedua, al Qur’an; sebagai sumber syariat yang berspiritkan nilai-nilai keadilan, egalitarian, kemaslahatan. Ketiga, Hadits; sebagai sumber syariat yang menjadi panutan umat sekaligus penjelas universalitas al Qur’an. Keempat, Urf; sebagai sumber syariat yang melegalkan produk-produk hukum bercita-rasakan semangat relevansi zaman dan kunci menuju Fiqih wâqi’. Sesungguhnya, jika dikaji lebih detail dan integral, perangkat epistemogi yang ditawarkan Jamal al Bana tidak ada yang baru. Ia hanya mencoba merekontruksi epistemologi klasik kemudian meng-elaborasikan gagasan-gagasannya atas empat perangkat istinbât di atas. Sehingga daripadanya, menghasilkan pengetahuan komprehensif atas nalar maqâsid syariah Islam sebagai alat reproduksi Fiqih menuju Fiqih humanitas; Fiqih bernuansa kesetaraan, keadilan, dan kemanusiaan. Dengan demikian, aplikasi hukum secara partikiularistik (ahkâm furuiyyât) dengan pembeberan-beberannya tidak perlu dikupas mendalam di sini. Cukup dengan mencermin cita-cita pembaharuan-pembaharuan Fiqih secara holistik-abstraktif atas tulisan ini.

Epilog

Secara simplisit dan mungkin agak sporadis, apa yang terjadi dalam umat dalam mengapresiasi turâts saat ini adalah subyektivitas pemahaman menjadi sakral dan masih alergi merevitalisasi obyektivitas teks-teks keagamaan pada hukum-hukum partikular, khususnya. Ironisnya, asumsi ini justru menjadi semacam “ideologi” yang menjangkit umat. Tentu akan membahayakan keberlangsungan intelektual Fiqih terkemudian.

Muhammad Abduh pernah menyatakan bahwa syariah Islam sejatinya mampu menampakan landasan moral-spritual bagi masyarakat modern, sebab syariah telah menjaminan kerelevanan dalam segala situasi dan kondisi (shâlih li kulli azminah wa al amkinah). Dengan demikian, Ia bermaksud mengisyaratkan kesetujuan dengan segala sesuatu yang berorientasi atas nama kemajuan modernitas zaman. Tugas intelektual agama hanyalah melegitiminasi realitas perubahan selama memegang teguh “prinsip bebas-terkendali”; ini memungkinkan umat mampu mendikotomikan mana budaya baik yang patut diserap dan mana budaya buruk yang patut dibuang ditengah-tengah perubahan zaman. Terpenting, tandasnya, point yang harus dicatat bagi umat mencakup dua hal.[27] Pertama, menegaskan kembali pemahaman Islam secara benar. Kedua, memikirkan implikasi-implikasi perubahan zaman bagi keberlangsungan umat sebagai masyarakat modern.

Dan terakhir, hemat saya, tidak begitu urgen dan relevan, bahwa entitas syariah harus diperkosa dengan ide formalisasi Syariah dalam sistem perundang-undangan yang diterapkan dalam sebuah negara dan kemudian menjadi hukum positif negara tersebut. Melainkan terletak pada bagaimana upaya menanamkan dan membumikan pada setiap individu warga negara akan nilai-nilai substansif syariat Islam dalam praktek kesehariannya –tanpa berkewajiban menjadi wilayah publik yang dikontrol dan diawasi oleh negara.

Asalkan praktek tersebut tetap dalam koridor cerminan nilai dan prinsip moral yang terdapat dalam cita moral-etika ke-adi luhung-an syariah atau, meminjam istilah turâts-nya, penerapan kebijakan dan kebajikan maqâsid syariah, baik oleh aparatur negara maupun warga negara.

Referensi:

[1] Jamal al Bana, Nahwa Fiqh Jâdid, Dar al Fikri al Islami, Kairo, vol.1, hlm 28

[2] Abdul Wahab Khalaf, Khulâshah al Târikh al Tasyri’ al Islam. Dialih-bahasakan oleh K.H. Aziz Mashuri, Ramadani, Solo, cet. VI, 1992, hlm. 31

[3] Ahmad Amin, Fajru al Islam, Maktabah al Usrah, hlm. 364

[4] Jamal al-Bana, Nahwa Fiqh Jâdid, vol.III, hlm. 146-149

[5] Ushul Fiqh adalah disiplin ilmu yang berorientasikan pada bahasan teori unsur-unsur kebahasaan (linguistik-semantik). Qawâid al Fiqh adalah disiplin ilmu yang berorientasikan pada bahasan teori generalisasi kerangka-kerangka hukum parsial (furûiyyah) secara induktif karena adanya keserupaan ratio legis (ilât) sesuai dalil-dalil nash dan prinsip-prinsip dasar syariat. Lihat Jamal al-Bana, Nahwa Fiqh Jâdid, vol.III, hlm. 153

[6] Taha Jabir al Alwani, Maqashid al Syariat, Qum, Iran, hlm, 69/123

[7] Hasan al Turaby, Qadhaya al Tajdîd nahwa Minhaj Ushûl, al A’raf li al Nasyr, hlm. 30-31

[8] Taha Jabir al Alwani Maqashid al Syariat, hlm 123

[9] Yusuf Qardhawi, Kaifa Nata’amal ma’ Turâts, Maktabah Wahbah, Kairo, cet. II, hl.14

[10] Muhammad al Amin, al Itihâd bayn Musawwigât al Inqita’ wa Dhawâbit al-Istimrar, Dar al Buhuts al-Islamiyyah wa Ihya al Turats, Dubai, cet. I, 2003, hlm. 76

[11]Abdul Karim Soroush, menggugat Otoritas dan Tradisi Agama, Mizan. Bandung, cet. I, 2002, hlm. 43

[12] Abdul Karim Soroush, menggugat Otoritas dan Tradisi Agama, hlm. 43

[13] Abdul Karim Soroush, menggugat Otoritas dan Tradisi Agama, hlm. 43

[14] Mars al As’yuti, Dirasah Muqâranah fi Ushûl wa Tsawabit as-Tsaqafah al Liberaliyyah, Maktabah al Nahdloh al Mishriyyah, Kairo, hlm. 187-188

[15] Syihabuddin Bin Mahmud al Zanjani, Takhrîj al Furû’ ala al Ushûl, Maktabah Obeikan, Riyad, cet. I, 1999, hlm, 77

[16] Muhsin Abd al Hamid, Tajdîd al fikri al Islami, Dar al Sahwah li al Nasyr hlm 84-85

[17] Syihabuddin Bin Mahmud al-Zanjani, Takhrîj al Furû’ ala al Ushûl, hlm. 73

[18] Yusuf Qardhawi, Kaifa Nata’amal ma’ Turâts, hlm. 53

[19] Muhammad al Amin, al Itihâd bayn Musawwigât al Inqita’ wa Dhawâbit al-Istimrar, hlm. 14

[20] Abdul Wahab Khalaf, Khulâshah al Târikh al Tasyri’ al Islam, hlm 96

[21] Muhammad Qutb, Syubhât Hawla al Islam, Dar al Syuruq, hlm. 78

[22] Ahmad Fahmi Abu Sunah, al Urf wa al Adah, Dar al Bahsair, Kairo, cet. III, hlm. 159. Lihat juga: Yusuf Qardhawi, Kaifa Nata’amal ma’ Turâts, hlm. 95

[23] Jamal al Bana Nahwa Fiqh Jâdid vol.III, hlm 299

[24] Jamal al Bana Nahwa Fiqh Jâdid vol.III, hlm 299\

[25]Jamal al Bana Nahwa Fiqh Jâdid vol.III, hlm 299.

Untuk lebih detail mengenai bangunan epistemiloginya, lihat: bab: Ushûl al Syarîah hlm. 195

[26] Yang dimaksud akal sebagai instrumen istinbât urutan pertama, bukan berarti menjadikan akal sebagai perangkat independen seraya menepikan al Qur’an sebagai sumber pertama syariat. Justru dalam hal ini akal sebagai gerbang menuju tiga komponen perangkat istinbât, yang tanpanya akan nihil berijtihad. Jamal al Bana menempatkan akal sebagai proyeksi pertama perangkat istinbât syariat

[27] Albert Hourani, Arabic Thought in the liberal ages 1798-1939. Terj. Indonesia: Pemikiran Liberal di Dunia Arab, Mizan, Bandung, cet. I, 2004, hlm 226