Bagaimana pendapat anda tentang laman ini ?

Statistik

Selasa, 29 Mei 2012

Download Kimiyaa al-Sa'aadah

Salahm satu risalah yang ditulis sufi besar Imam Abu Hamid al-Ghozali
Silahkan dinikmati !!

Kimiyaa al-Sa'aadah / Formulasi Kebahagiaan

Sabtu, 19 Mei 2012

Kritik Budaya dan "Ceplokan" Ulang Tahun

      Lebih dari sebulan yang lalu, saya sebetulnya sudah sering menyaksikan itu sejak masih sekolah ditingkat menengah, namun saya baru melihatnya kembali disaat bangku kuliah pada saat itu. Ulang tahun, sebagai sebuah masa, bertambahnya umur dirayakan dengan menumpahkan tepung ke kepala seseorang yang ulang tahun, dengan argumentasi bahwa itu merupakan gambaran akan sikap apresiasi terhadap bertambah umurnya seseorang. Dan, hal itu pada awalnya, penulis kira hanya populer di kota besar saja, namun ternyata sudah sampai kepada daerah - daerah lain. Kesimpulan ini, didapat ketika melihat peristiwa itu, yang dilakukan oleh orang-orang yang saya kenal, begitu pula objek sasarannya. Peristiwa diatas masyhur dengan sebutan diceplokin, karena pada awalnya menggunakan telur mentah untuk ditumpahkan keatas kepala, dan kini bervarian dengan tepung, dan semacamnya dan dilaksanakan saat ulang tahun seseorang. Pada dasarnya, objek sasaran menolak.

        Pada prinsipnya, melihat dari hal yang terjadi diatas, sepertinya muncul kegelisahan mendasar seharusnya dari hal itu. Terjemahan budaya, yang pada awalnya menurut saya adalah kearifan lokal yang mengakar kuat dengan historitas dari objek tersebut, kemudian mempunyai pesan - pesan kearifan yang tinggi kemudian akan bergeser bahkan pendangkalan makna menjadi kebiasaan yang diikuti dari masa lalu saja, tanpa memperhatikan akar historiografi dan pesan - pesannya. Inilah, titik sederhana dari penguatan makna kebudayaan, apalagi jika disinkronisasi dengan pesan - pesan keagamaan yang sifatnya wahyu (sebagaimana Islam) yang bahkan mengisi sebuah budaya, menjadi lebih bermakna dan tinggi mutunya.      

    Kemudian, sudahkah budaya perayaan ulang tahun, dalam bentuk yang demikian telah menerjemahkan makna bertambahnya umur dari ulang tahun, atau ternyata justru menjadi distorsi yang cukup akut sehingga hanya terjebak pada warna-warna dzohir belaka. Ah, marilah kita memahami secara sederhana saja, kita mencoba membandingkan berapa efek negatif dan efek positifnya. Sederhananya, tidak ada seorangpun yang ingin diceplok dengan benda-benda atau apapun yang lazim berada diatas kepala, walaupun diterjemahkan dengan makna sebuah ekspresi kesenangan, namun sesuatu yang tidak lazim dan merugikan dari faktor dalam benda itu sendiri, justru bertentangan dengan semangat kebudayaan, logika yang sehat, dan suasana perasaan. Dan, pada umumnya hal ini menimbulkan perasaan tidak ridho, walaupun sesaat saja bahkan terhadap teman - temannya sendiri. 

     Sesudahnya, pada prakteknya seseorang dimasa kini akan melupakan terhadap apa yang dilakukan, karena demi menjaga solidaritas persahabatan, atau tidak ingin larut dalam ketersinggungan. Namun, perasaan itu akan muncul kembali pada saat temannya, memasuki hari ulang tahunnya. Maka, muncul perasaan saling membalas dengan keinginan supaya mendapatkan ganjaran yang sama dari apa yang pernah dilakukan terhadapnya diwaktu sebelumnya. Hal, ini juga yang justru mencederai semangat kearifan pesan budaya, dan hal itu gagal diperjuangkan oleh budaya ceplok itu sendiri. 

      Dan, disisi lain pada dasarnya hal ini dimasyarakat kosmopolitan seperti ini, tidak begitu banyak dipikirkan, untuk masalah ini yaitu nilai guna sesungguhnya dari benda - benda itu, seperti telur, terigu, dan benda - benda yang dijadikan "misil" bagi objek ulang tahun. Walaupun persaingan, dan permasalahan ekonomi adalah hal yang sering diperbincangkan, diperdebatkan, bahkan menjadi bahan bagus untuk demonstrasi, secara sederhana dilupakan untuk hal ini. Logika sederhanya, jika ingin memahami masalah yang besar, tidakkah lebih baik dengan belajar mendayagunakan sebaik mungkin, benda - benda yang sederhana agar mempunyai nilai guna ?

      Ketiga poin pada tiga paragraf tadi, adalah pekerjaan yang perlu dipikirkan dan dijadikan perenungan untuk perubahan dan relokasi kembali makna budaya dan kaitannya dengan praktek tersebut. Kami yang amatir ini, merasa masih ada cara - cara lain untuk menerjemahkan menjadi lebih baik sebuah budaya tersebut. Sangat banyak, memang hal-hal yang kontradiktif dengan pesan aslinya, dan supremasi makna mendalam dari budaya, dan pemaknaan agama yang mendalam juga bisa menjadi konklusi atas segala pertentangan ini. Dan semoga, hal ini bisa dijadikan langkah bersama bagi siapapun yang ingin mengangkat kembali, pesan - pesan luhur kemanusiaan yang mulai sirna, dan tergerus oleh nilai - nilai praksis yang tidak ada akar yang menancap kuat. Dan, semoga, bagaimanapun teks ini terbuka untuk kritik dan masukan, semoga. 

Wallahu a'lam bi al-showwab