Bagaimana pendapat anda tentang laman ini ?

Statistik

Senin, 19 November 2012

Mencari titik temu makna “shohabah”


 (Pembacaan Skripsi Ust. Ahmad 'Ubaidi Hasbillah : “Pergeseran Makna Shahabat Abad ke I -  IX H”)
    Kesan yang pertama kami dapatkan ketika membaca skripsi adalah adanya “peluang” untuk menerima nushush al-haditsiyyah (teks – teks bertemakan hadits) secara lebih lapang dari sebelumnya. Karena, sejak awal memang pendefinisian shahabat dikalangan muhadditsin sendiri terdapat perbedaan pendapat yang cukup beragam. Misalnya saja, seperti yang dikemukakan Ibn Sholah:
أن كل مسلم رآه من المسلمين فهو من أصحابه
    Dan pendapat demikian pada kenyataanya memang banyak digunakan oleh para ulama, yang mempunyai kecenderungan kuat terhadap hadits, dalam arti memberikan peluang yang besar dalam penerimaan hadits. Namun, deskripsi makna ini dijabarkan lebih luas didalam skripsi ini, dengan poros utamanya adalah perbedaan makna shahabat dari masa ke masa, sampai “tarik menarik” definisi shahabat antara muhadditsin dan ushuliyyin.
    Sisi lain yang menarik, dicermati adalah mengapa para ulama membutuhkan pembukuan akan berbagai macam tarjamah (profil) para sahabat pasca wafatnya khulafaa’ al-rasyidin dan taabi’in. Sementara dibeberapa buku – buku sejarah kekinian, sering menganggap sejarawan sebagai “penulis setia khalifah” , sehingga tidakkah muncul kekhawatiran melakukan distorsi atau mengeliminasi sebagian sahabat melihat dari pernyataan Imam Suyuthi, misalnya yang menyatakan jumlah sahabat mencapai 100 ribu orang, sementara Abu Zur’ah al-Razi menyatakan berjumlah 114 ribu orang , sementara yang tercatat hingga saat ini tidak lebih dari 10.000 orang.  Artinya, hal yang masih menggantung adalah kemanakah setidaknya, 90.000 orang yang diklaim sahabat sehingga, sampai tidak tercatat didalam kutub al-tarajum (ensiklopedi profil – profil sahabat) – dan dalam pembacaan kami, terhadap penelitian didalam skripsi ini, berpendapat senada akan “kegamangannya” pendefinisian sahabat, disebabkan dari  berbagai macam kitab mushtolahaat banyak mengangkat pendapat yang sama dengan sebelumnya, dan hal itu terus terjadi sampai abad ke 8 Hijriah. Ditahun setelahnya al-‘Alaai , melakukan redefinisi ulang tentang pemaknaan sahabat, dengan tidak hanya bersikap kritis terhadap para ulama yang cenderung kepada definisi muhaddits, namun juga terhadap definisi ulama ushul yang cenderung ketat dalam mendefinisikan sahabat . Hal ini, semakin diteruskan oleh beberapa peneliti hadis ‘Ala al-Din bin Qalit al-Mughlatay, yang berhasil menuliskan 1203 nama sahabat yang dianggap bermasalah oleh ulama sebelumnya (hal. 43)
    Yang jelas menurut kami, pembacaan akan siapa sebenarnya sahabat itu memang semestinya menggunakan perspektif kesatuan masa dan pernahnya bertemu. Artinya, hak – hak untuk dikatakan sebagai sahabat yang berarti menggunakan sudut pandang Rasul, bukan sudut pandang orang yang pernah melihat (karena didalamnya akan masuk orang yang semasa namun munafik apalagi kafir, orang Islam yang melihatnya saat pemakamannya,  dan orang yang  baru lahir dimasa nabi wafat, serta orang yang hanya semasa namun tidak pernah sekalipun melihat Rasul ). Lebih jauh, benarlah penghitungan yang dilakukan Abu Zur’ah al-Razi yang menyatakan jumlah 114.000 pada sahabat, dengan mengklasifikasi dari sahabat yang ikut serta haji wada’ (70.000 orang), yang ikut serta perang Tabuk (sekitar 40.000 orang). Hanya saja, mungkin dua hal yang didapatkan disini yaitu pergeseran makna sahabat yang diangkat disini, lebih cenderung kepada bahasa yang diangkat oleh para muhadditsin diabad ke - 9 (yaitu Ibn Hajar al-‘Atsqolani, dan Imam Suyuti) dan belum mengangkat tentang perbedaan pendapat dari para sahabat, dan bagaimana langkah – langkah politis untuk meraih kekuasaan yang dilakukan Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan para pendukungnya, dan bagaimana para sahabat yang bersikap menentang Ali bin Abi Tholib, akan kelonggarannya menerima tawaran  arbitrase Mu’awiyah bin Abi Thalib, hal – hal tersebut pernah kami dapatkan pembahasannya dari sebuah buku tulisan Gamal al-Banna, yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan judul Manifesto Fiqh Baru. Hal kedua adalah, siapakah sesungguhnya nama – nama sahabat yang tidak terklasifikasi dalam kitab tarajum, dan apakah tidak ada riwayat lagi yang menyebutkan keseluruhan nama -  nama tersebut yang jika ada, maka tidak itu berpeluang bahwa mereka (yang tak tercatat itu) mempunyai riwayat  juga, Wallahu A’lam.