Menyusuri jalan Purwoasri
– Jampes, Kediri adalah salah satu perjalanan kami setelah hari raya kemarin,
tepatnya hari Sabtu, 10 Agustus 2013. Sekitar Jam 10 siang, kami sudah tiba di
lokasi, desa Jampes, Kediri. Perjalanan ini dipandu M. Khoirul Huda, sebagai
mahasantri Darusunnah semester 7 dan anggota Permadi (Persatuan
Mahasiswa Kediri) dalam rangka ziarah ke beberapa ulama Nusantara, disekitar
Jawa Timur. Di hari itu, kami singgah di makam Syaikh Ihsan bin Dahlan Jampes,
ulama kenamaan dari Kediri yang terkenal tidak hanya sebagai ulama lokal saja,
namun juga lewat kitab-kitab yang mentahbiskannya sebagai ulama fiqh, hadits,
dan tasawuf. Khusus yang terakhir ini, terangkatnya masterpiece-nya yang
berjudul Sirāj al-Thālibin, Sebuah penjelasan atas kitab tasawuf yang
disusun Imam al-Ghazali berjudul Minhaj al-‘Abidin. Sirāj al-Thalibin
sampai menjadi kitab pegangan di berbagai perguruan tinggi di berbagai
Negara dan pesantren di
Indonesia. yang fokus mengkaji akhlak
dan kesufian dalam Islam.
Syaikh Ihsan: Dari Bakri ‘Nakal’ Menjadi Zahid nan
Arif
Nama beliau, terutama
dalam dunia pesantren sudah dikenal dan telah banyak ditulis baik di media
cetak maupun elektronik.
Namun, menziarahi makam beliau secara langsung tidak hanya menjadikan kami tahu
saja siapa beliau, namun merasakan atmosfir kekhusyuan dan rasa takzim atas
perannya sebagai salah satu ulama yang punya peran besar dalam mengembangkan
agama Islam, di Jawa khususnya. Ulama
kelahiran dusun Jampes, desa Putih, kecamatan Gempengrejo, Kediri ini bernama
lengkap Ihsan bin Muhammad Dahlan. Putra dari Kyai Dahlan bin Saleh dan Nyai
Isti’anah, seorang ulama lokal di Gampangrejo Kediri. Sang kakek, Kyai. Saleh adalah
ulama asal Bogor, Jawa Barat yang menghabiskan hidupnya belajar di pesantren di
Jawa Timur, hingga menjadi penduduk setempat dan menikah dengan putri seorang
ulama dari Trenggalek yang melahirkan Mubari, alias Kyai Dahlan.[1]
Sementara, Nyai Isti’anah adalah putri dari KH. Mesir putra K. Yahuda, seorang
ulama dari Lorog Pacitan
yang sanadnya bersambung dengan kesultanan Mataram abad ke-16.
Dalam kesehariannya, Ia mempunyai beberapa kebiasaan yang tidak lazim
dilakukan oleh seorang yang hidup di dunia pesantren. Pertama, ia adalah orang
yang sangat menggemari wayang, baik sang dalang sudah mahir maupun pemula.
Sampai, suatu saat ia pernah berdebat karena menegur sang dalang yang melakukan
pertunjukan keluar dari “pakem” yang ada. Kedua, ia sering mendatangi, dan ikut
serta dalam perjudian. Memang, pada prakteknya yang dilakukan Bakri kecil saat
itu menjadikan para bandar judi kapok Suatu ketika, sang bunda Ny. Isti’anah mengajaknya ke makam leluhurnya,
K.Yahuda di Lorog, Pacitan, untuk mendoakan tingkah polah anaknya. Konon, Bakri
kecil dimimpikan oleh K.Yahuda setelah itu dan meminta Bakri
untuk berhenti berjudi. Namun, Bakri bersikeras hingga membuat K.Yahuda mengambil batu besar
dan memukulkan ke kepalanya hingga
berantakan. Sontak,
mimpi itu menyentak Bakri dan
membuatnya tersadar, dan hal itu membuatnya banyak menyendiri dan merenung.
Perjalanan Keilmuan
Sejak
mengalami mimpi tersebut, ia banyak melakukan perjalanan keilmuan (walaupun
sejak awal ia sudah dikenal sebagai anak yang cerdas dan rajin membaca). Ia
melakukan pengembaraan dari satu pesantren ke pesantren lain, diantaranya:
Pesantren Bendo, Kediri asuhan sang paman, K.H. Khozin; Pesantren Jamseran,
Solo; Pesantren asuhan K.H. Dahlan,[2]
Semarang; Pesantren Mangkang, Semarang; Pesantren Punduh, Magelang; Pesanten
Gondanglegi, Nganjuk; hingga Pesantren Bangkalan, Madura asuhan ‘Guru Para
Ulama’, K.H. Kholil.
Hal
yang menarik dari setiap masa belajar di pesantren tersebut, ia tidak
menghabiskan waktu yang lama, mulai dari 2 minggu sampai 1 tahun saja. Ia mendatangi satu pesantren, untuk mendalami ilmu tertentu untuk kemudian
berpindah ke pesantren lain, dan ia tetap bisa melakukan istifadah dari
setiap dari pesantren tempat ia belajar. Sisi lain, ia selalu menutupi identitasnya
sebagai anak Kyai Dahlan, dan enggan dipanggil “Gus” (panggilan santun dan
takzim kepada putra kyai). Bahkan, ia akan segera pergi jika identitasnya
diketahui.
Meneruskan Perjuangan Sang Ayah
Inside:
Sebagai sebuah
objek wisata Islam, makam Mbah Ihsan satu dari sekian makam ulama yang
terdapat di Kediri. Sebagai rekomendasi, di Kediri saja setidaknya ada 3
situs makam yang bisa dikunjungi, Diantaranya:
a. Makam Syekh Ihsan Kediri di daerah Jampes, sekitar
10 km sebelum kota Kediri.
b. Kompleks Makam Setono Gedong, di Pusat Kota Re
diantara yang bisa diziarahi adalah Mbah Washil, penyebar Islam pertama di
Kediri. Dalam satu riwayat, beliau pernah berdakwah kepada Pangeran
Jayabaya.
c. Kompleks makam, pendiri Pesantren Lirboyo, sekitar
5 km sebelah barat kota Kediri. Para pendiri Lirboyo, tersebut adalah: K.H.
Abdul Hamid, K.H. Mahrus ‘Aly, dan K.H.
|
Selain membina pendidikan
di Pesantren, beliau masih sempat menulis, ilmu – ilmu yang terdapat dalam
khazanah keilmuan pesantren, diantaranya Fiqh, Tasawuf, Falak, dan sebagainya.
Beberapa karya yang dihasilkan, diantaranya:
-
Tashrih al-‘Ibarat, kitab
yang menjelaskan ilmu falak. Kitab ini juga merupakan syarh (penjelasan)
dari kitab Natijah al-Miqot yang disusun oleh K.H. Ahmad Dahlan, dari
Semarang
-
Manahij al-Imdad, penjelasan
dari kitab Irsyād al-‘Ibād yang disusun Syaikh Zainudin al-Malibari tentang masalah-masalah fiqh.
-
Irsyad al-Ikhwan fi Bayān al-Qahwah wa ad-Dukhan.
Kitab ini disusun dengan model bait
syair (mandzumah). Kitab ini membahas perbedaan pendapat tentang status hukum kopi dan
rokok, yang populer dikonsumsi masyarakat nusantara.
-
Sirāj al-Thalibin, penjelasan atas kitab tasawuf yang disusun Imam al-Ghazali, Minhaj
al-‘Abidin. Kitab yang terakhir ini, banyak dipakai di pesantren-pesantren
Indonesia, bahkan kitab ini tersebar di negara Timur Tengah saat dicetak oleh
sebuah percetakan terkenal di Mesir, Dar al-Bab al-Halabi.[3]
Para Murid dan Akhir Hayatnya
Beliau wafat pada hari Senin, 25 Dzul-Hijjah 1371
H, atau September 1952 di usia 51 tahun. Dengan meninggalkan pesantren dengan ribuan santri, serta seorang istri dan
delapan putra – putri. Warisan yang paling berharga, tidak lain hanyalah
kedalaman ilmunya baik yang diajarkan kepada para murid, maupun yang dituliskan
dalam bentuk kitab – kitab yang mempunyai penjelasan sangat mendalam, meskipun
ditulis dimasa muda.
Beberapa murid Syaikh
Ihsan, yang mewarisi dan meneruskan perjuangannya dalam berdakwah melalui
pesantren adalah: Kiai Soim, pengasuh pesantren di Tangir, Tuban; K.H. Zubaidi,
pengasuh pesantren di Mantenan, Blitar; K.H. Mustholih di Kesugihan, Cilacap;
K.H. Busyairi, Sampang, Madura; Kyai Hambali, Plumbon, Cirebon; dan Kyai
Khozin, Tegal. ((dari berbagai sumber. Masrur))
[1] Dikutip dari:
“Ensiklopedia Ulama Nusantara” oleh H.M. Bibit Suprapto. Diterbitkan oleh
Gelegar Media Indonesia, Jakarta. Hal. 407
[2] Dari beliaulah, ia mengaji ilmu falak selama 20 hari. Dan ia, juga telah
men-syarah-kan kitab gurunya yang berjudul Tashrih al-‘Ibarat
[3] Bahkan, Raja Faruq saat itu pernah datang khusus ke Jampes, Kediri untuk
meminta Syaikh Ihsan Jampes, mengajarkan kitabnya di Mesir. Namun, permintaan
itu ditolak oleh beliau karena ia tetap ingin mengajar di Jampes dan melayani
masyarakat.
Belakangan ini muncul cetakan terbaru dari kitab tersebut, yang diterbitkan
oleh Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut pimpinan Muhammad Ali Baidhun yang
melakukan kekeliruan dalam penulisan nama penyusun, yaitu dengan nama Syekh
Ahmad Zaini Dahlan, ulama Mekkah di abad ke-18. Hal ini, segera disikapi oleh
Pengurus Cabang Istimewa NU Lebanon, dengan mengutus beberapa orang untuk
melakukan klarifikasi pada tanggal 11 September 2009. Mereka, diterima langsung
oleh Direktur Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, dan bertanggung jawab atas kesalahan ini serta memohon maaf
terutama kepada pihak terkait, seperti keturunan Syaikh Ihsan dan Nahdhatul
Ulama. (disarikan dari NU Online, versi Arab)
*Artikel ini, sudah pernah di majalah "Nabawi", edisi 100, Darus Sunnah High Institute for Hadith Sciences, sebagai catatan dari jalan-jalan religi (Islamic Tourism), di kota Kediri, lebaran kemarin.
Nampaknya, penelitian tentang tokoh-tokoh ulama dengan wasilah ziarah, menjadi menarik bahkan untuk tokoh-tokoh yang seolah-olah, terlupakan karena tidak diziarahi. Padahal, mereka adalah para tokoh, yang mewarnai khazanah keislaman, di Indonesia khususnya. Menarik bukan ?