“Sudah
sadarkah engkau ?”
“Ia tak
sadarkan diri.”
“Sadar
gak sih, lho kalo kamu salah !”
(Bukan Pendahuluan)
Saya
tidak tahu apakah kita sedang dalam kedaan sadar atau tidak selama ini.
Semarak, yang saat ini lebih sering digantikan dengan kata euforia dimana kata
itu sebenarnya adalah serapan dari bahasa inggris – sedang dialami bangsa
Indonesia baru-baru ini, dengan istilah pesta demokrasi. Pesta demokrasi
(walaupun saya secara pribadi, masih menyisakan tanda tanya apakah ia layak
disebut pesta atau tidak, ketika didalamnya harus ada persaingan yang tidak
bisa dibilang sederhana) yang ditunjukkan dengan penyelenggaraan pemilihan
umum, untuk menentukan siapakah diantara 250 juta rakyat negeri ini yang akan
menjadi wakil di lembaga-lembaga legislatif, dari DPR, DPD, hingga DPRD. Singkat cerita, akumulasi dari hasil pemilihan
tersebut mengantarkan kita untuk memilih kembali siapa yang akan memimpin
negeri ini untuk 5 tahun kedepan. Dengan sistem akumulasi suara yang diterima
partai, partai dengan suara terbanyak, atau dengan berkoalisi dengan partai
lain dengan perolehan suara dibawah 20 %, bisa menentukan siapa calon yang
diusungnya. Yang jelas, kita akan memilih dengan kesadaran seharusnya. Tapi,
apa makna sesungguhnya dari kesadaran itu ? Kesadaran, sadarkah, sadarilah, dan
beragam kata lain yang kembali ke kata asal, yaitu sadar. Namun, samakah ia
dengan shadrun dalam bahasa arab, yang sering diartikan dengan bagian
depan, atau dada seperti yang dijelaskan Fairuzzabadi dalam al-Qomus
al-Muhith. Kita
akan sedikit berkeliling dengan beberapa kamus-kamus bahasa arab, melihat kata
sadar adalah serapan dari bahasa arab.
Shadara (arab: ص – د –
ر ) pad a awalnya memiliki makna “bagian
terdepan, atau bagian awal dari sesuatu, atau apapun yang ada dihadapan anda” (a’la
muqoddami kulli syai’in wa awwaluhu wa kullu mā wājahaka) seperti
itu yang didefinisikan oleh Fairuzzabadi. Beberapa kata yang muncul darinya akrab muncul
baik dalam pembicaraan maupun teks-teks bahasa arab. Seperti mashdar, yang
diartikan dengan marja’, atau dalam pengertian lebih teknis makān
al-rujū’ (tempat kembali). Al-Fayyumi dalam al-Mishbah al-Munir
memberikan sinonim dari shodara adalah insharāf, yang memiliki
arti berpindah, atau pergi. Dalam bahasa arab modern, beberapa kata turunan
dari shadara memiliki arti yang beragam, al-ishdār sering
diterjemahkan menjadi edisi, cetakan (sebagai contoh al-ishdār al-awwal:
cetakan pertama). Sementara, al-tashdir diartikan dengan ekspor, atau
pendahuluan (dalam bahasa inggris: exportation, preface), demikian yang
dijelaskan oleh Dr. Ruhi Ba’labaki dalam al-Maurid, sebuah kamus
arab-inggris yang sangat representatif untuk menjelaskan sekian ribu makna kata
dalam bahasa arab kedalam bahasa inggris. Ini mungkin berbeda dengan pengertian
yang dirumuskan oleh kamus yang berumur lebih tua seperti Tahdzib al-Lughah yang
memberikan pengertian hablun yushaddaru bihi al-ba’iru idza jarra hamluhu
ila al-khulf. Dalam riwayat Abu ‘Ubaid, al-tashdir adalah tali (al-hizam,
al-habl) itu sendiri.
Kita masih berlanjut ke
teori, dalam Tesaurus Alfabetis Bahasa Indonesia, yang dirilis
oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (sekarang Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan) pada tahun 2009 memang mengafiliasi salah satu
pengertian kata sadar yang dikenal didalam bahasa arab, yaitu dada, depan,
front, dan muka. Ia (baca: Tesaurus Alfabetis) juga memasukan makna-makna lain,
yang populer digunakan di Indonesia seperti bangun, ingat, waras (karena sadar
sering dimaknai berantonim dengan gila), siuman (ingat juga kalimat “tidak
sadarkan diri”).
Kalau disuruh menyimpulkan
dari aneka ragam pengertian yang muncul yang diatas, ia memiliki pesan bahwa
segala sesuatu yang ada dibagian depan, bagaimanapun haruslah yang mencerminkan
keadaan sesungguhnya. Ia semestinya, menjadi keadaan seharusnya dari segala
hal, bukan keadaan yang tidak sesungguhnya dengan tanpa makna, karena bukankah
yang benar adalah pusaran sejati dari segala hal yang ada. Maka, wajarlah
ketika kata sadar dan berbagai macam bentuknya sering diekspresikan sebagai
bentuk kebangkitan, sesuatu yang hidup setelah lama tidur, keteringatan
kembali, dan ekspresi-ekspresi lain yang sejenis. Sebagai sebuah pelajaran,
kita bisa mengambil hikmah mengapa salah satu mazhab gramatikal bahasa arab (nahwu),
yaitu mazhab Bashrah (dinisbatkan kepada para ahli zaman kuno di kota Bashrah,
Irak) yang menyatakan bahwa asal kata adalah bersumber dari bentuk mashdar, sesui
namanya sebagai tempat kembali segala kata yang diturunkan darinya.
Tapi, sebelum kami tutup
pembicaraan yang butuh banyak kritik dan saran dari berbagai pihak ini kami hanya
ingin menampilkan penemuan lain dari pemaknaan kata sadar ini. Sebenarnya, kami sendiri ketika
mendengar kata ini sejak kecil, sering tertawa sendiri membayangkannya. Kalau,
anda yang pernah atau memang penduduk Jakarta, pasti akrab dengan kata sadar.
Ia tidak bermakna seperti yang disebutkan diatas. Ia diartikan sebagai
kendaraan roda tiga, yang mirip seperti bajaj (cara membacanya: bajay), dengan
bahan bakar solar. Kami yang lahir, dan besar di daerah Priok, bagian utara
Jakarta memang mengenal kendaraan itu dengan nama demikian. Sampai hari ini,
kami belum menemukan dari mana asal usul penamaan tersebut. Ia diucapkan begitu
saja untuk menamai kendaraan yang secara perlahan makin tergerus oleh
modernisasi, karena tergantikan dengan mobil angkutan umum, bis transjakarta,
dan sebagainya. Sebagai penutup, seingat kami bahkan sempat berkelakar dengan
ibu ketika naik kendaraan sadar (dicetak miring, karena langkanya
penggunannya), kalau ada orang gila yang naik ini, maka ia akan sadar kembali.
Tapi, tentunya ia akan kembali gila setelah turun dari kendaraan sadar.
Mengertikah kita ?, semoga bermanfaat.
Ciputat, 3 Mei
2014
*Mahasiswa
Semester 6, Fakultas Dirasat Islamiyah, UIN Jakarta. Santri Pesantren Hadis
Darus-Sunnah, Ciputat. Peminat Kajian Makna Kata.