Bagaimana pendapat anda tentang laman ini ?

Statistik

Tampilkan postingan dengan label Inspirasi Bahasa dan Makna. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Inspirasi Bahasa dan Makna. Tampilkan semua postingan

Selasa, 06 Mei 2014

“Kalau Naik Sadar, Kalau Turun ?” – Nikmatnya Berbahasa




“Sudah sadarkah engkau ?”
“Ia tak sadarkan diri.”
“Sadar gak sih, lho kalo kamu salah !”
(Bukan Pendahuluan)

            Saya tidak tahu apakah kita sedang dalam kedaan sadar atau tidak selama ini. Semarak, yang saat ini lebih sering digantikan dengan kata euforia dimana kata itu sebenarnya adalah serapan dari bahasa inggris – sedang dialami bangsa Indonesia baru-baru ini, dengan istilah pesta demokrasi. Pesta demokrasi (walaupun saya secara pribadi, masih menyisakan tanda tanya apakah ia layak disebut pesta atau tidak, ketika didalamnya harus ada persaingan yang tidak bisa dibilang sederhana) yang ditunjukkan dengan penyelenggaraan pemilihan umum, untuk menentukan siapakah diantara 250 juta rakyat negeri ini yang akan menjadi wakil di lembaga-lembaga legislatif, dari DPR, DPD, hingga DPRD. Singkat cerita, akumulasi dari hasil pemilihan tersebut mengantarkan kita untuk memilih kembali siapa yang akan memimpin negeri ini untuk 5 tahun kedepan. Dengan sistem akumulasi suara yang diterima partai, partai dengan suara terbanyak, atau dengan berkoalisi dengan partai lain dengan perolehan suara dibawah 20 %, bisa menentukan siapa calon yang diusungnya. Yang jelas, kita akan memilih dengan kesadaran seharusnya. Tapi, apa makna sesungguhnya dari kesadaran itu ? Kesadaran, sadarkah, sadarilah, dan beragam kata lain yang kembali ke kata asal, yaitu sadar. Namun, samakah ia dengan shadrun dalam bahasa arab, yang sering diartikan dengan bagian depan, atau dada seperti yang dijelaskan Fairuzzabadi dalam al-Qomus al-Muhith. Kita akan sedikit berkeliling dengan beberapa kamus-kamus bahasa arab, melihat kata sadar adalah serapan dari bahasa arab.
            Shadara (arab: ص – د – ر ) pad a awalnya memiliki makna “bagian terdepan, atau bagian awal dari sesuatu, atau apapun yang ada dihadapan anda” (a’la muqoddami kulli syai’in wa awwaluhu wa kullu mā wājahaka) seperti itu yang didefinisikan oleh Fairuzzabadi. Beberapa kata yang muncul darinya akrab muncul baik dalam pembicaraan maupun teks-teks bahasa arab. Seperti mashdar, yang diartikan dengan marja’, atau dalam pengertian lebih teknis makān al-rujū’ (tempat kembali). Al-Fayyumi dalam al-Mishbah al-Munir memberikan sinonim dari shodara adalah insharāf, yang memiliki arti berpindah, atau pergi. Dalam bahasa arab modern, beberapa kata turunan dari shadara memiliki arti yang beragam, al-ishdār sering diterjemahkan menjadi edisi, cetakan (sebagai contoh al-ishdār al-awwal: cetakan pertama). Sementara, al-tashdir diartikan dengan ekspor, atau pendahuluan (dalam bahasa inggris: exportation, preface), demikian yang dijelaskan oleh Dr. Ruhi Ba’labaki dalam al-Maurid, sebuah kamus arab-inggris yang sangat representatif untuk menjelaskan sekian ribu makna kata dalam bahasa arab kedalam bahasa inggris. Ini mungkin berbeda dengan pengertian yang dirumuskan oleh kamus yang berumur lebih tua seperti Tahdzib al-Lughah yang memberikan pengertian hablun yushaddaru bihi al-ba’iru idza jarra hamluhu ila al-khulf. Dalam riwayat Abu ‘Ubaid, al-tashdir adalah tali (al-hizam, al-habl) itu sendiri.
            Kita masih berlanjut ke teori, dalam Tesaurus Alfabetis Bahasa Indonesia, yang dirilis oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (sekarang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) pada tahun 2009 memang mengafiliasi salah satu pengertian kata sadar yang dikenal didalam bahasa arab, yaitu dada, depan, front, dan muka. Ia (baca: Tesaurus Alfabetis) juga memasukan makna-makna lain, yang populer digunakan di Indonesia seperti bangun, ingat, waras (karena sadar sering dimaknai berantonim dengan gila), siuman (ingat juga kalimat “tidak sadarkan diri”).
            Kalau disuruh menyimpulkan dari aneka ragam pengertian yang muncul yang diatas, ia memiliki pesan bahwa segala sesuatu yang ada dibagian depan, bagaimanapun haruslah yang mencerminkan keadaan sesungguhnya. Ia semestinya, menjadi keadaan seharusnya dari segala hal, bukan keadaan yang tidak sesungguhnya dengan tanpa makna, karena bukankah yang benar adalah pusaran sejati dari segala hal yang ada. Maka, wajarlah ketika kata sadar dan berbagai macam bentuknya sering diekspresikan sebagai bentuk kebangkitan, sesuatu yang hidup setelah lama tidur, keteringatan kembali, dan ekspresi-ekspresi lain yang sejenis. Sebagai sebuah pelajaran, kita bisa mengambil hikmah mengapa salah satu mazhab gramatikal bahasa arab (nahwu), yaitu mazhab Bashrah (dinisbatkan kepada para ahli zaman kuno di kota Bashrah, Irak) yang menyatakan bahwa asal kata adalah bersumber dari bentuk mashdar, sesui namanya sebagai tempat kembali segala kata yang diturunkan darinya.
            Tapi, sebelum kami tutup pembicaraan yang butuh banyak kritik dan saran dari berbagai pihak ini kami hanya ingin menampilkan penemuan lain dari pemaknaan kata sadar ini. Sebenarnya, kami sendiri ketika mendengar kata ini sejak kecil, sering tertawa sendiri membayangkannya. Kalau, anda yang pernah atau memang penduduk Jakarta, pasti akrab dengan kata sadar. Ia tidak bermakna seperti yang disebutkan diatas. Ia diartikan sebagai kendaraan roda tiga, yang mirip seperti bajaj (cara membacanya: bajay), dengan bahan bakar solar. Kami yang lahir, dan besar di daerah Priok, bagian utara Jakarta memang mengenal kendaraan itu dengan nama demikian. Sampai hari ini, kami belum menemukan dari mana asal usul penamaan tersebut. Ia diucapkan begitu saja untuk menamai kendaraan yang secara perlahan makin tergerus oleh modernisasi, karena tergantikan dengan mobil angkutan umum, bis transjakarta, dan sebagainya. Sebagai penutup, seingat kami bahkan sempat berkelakar dengan ibu ketika naik kendaraan sadar (dicetak miring, karena langkanya penggunannya), kalau ada orang gila yang naik ini, maka ia akan sadar kembali. Tapi, tentunya ia akan kembali gila setelah turun dari kendaraan sadar. Mengertikah kita ?, semoga bermanfaat.


Ciputat, 3 Mei 2014

*Mahasiswa Semester 6, Fakultas Dirasat Islamiyah, UIN Jakarta. Santri Pesantren Hadis Darus-Sunnah, Ciputat. Peminat Kajian Makna Kata.

Jumat, 25 April 2014

Jum'at: Kata dan Makna



Kolom Bahasa: Mengamati Bahasa Mencari Makna



Saya tidak tahu apakah kolom ini masih ada atau tidak, tapi Koran Kompas pernah membuat sebuah kolom terkait bahasa. Didalamnya diisi dengan pembahasan satu kata tertentu dan bagaimana kata tersebut popular digunakan di masyarakat luas. Penulisnya tidak hanya satu, kebanyakan penulisnya adalah pakar-pakar bahasa Menarik nampaknya kalau kami mencoba kembali menulis topik dengan model demikian.


            Hari ini adalah hari Jum’at. Tapi bagaimana sesungguhnya penulisannya ? Jum’at atau Jumat. Ia juga menjadi istilah popular bagi muslim di Indonesia dengan istilah jum’atan, untuk mengisyaratkan kepada sholat jum’at didalam Islam dengan rukun dan syarat-syarat tertentu. Bahkan, posisinya sejajar dengan shalat dzuhur karena setelah melaksanakannya. Dikalangan umat Kristen, ia digunakan sebagai istilah bagi hari raya paskah, dikenal dengan Jum’at Agung.. Tapi lagi-lagi, sebagai orang yang lahir, hidup, dan besar di Indonesia dengan segala kebudayaan, dinamika, dan kelucuannya, saya sering dihadapi tanda tanya benarka menuliskan kata jum’at tersebut ?
            Kata jum’at, sebagai sebuah kata yang diserap dari bahasa arab ia pada awalnya adalah derivasi dari akar kata jama’a. Sekedar wawasan, bahasa arab memiliki terkait asal usul derivasi kata ini. Sebagian menyatakan bahwa fi’il (verba) adalah asal usul kata sehingga segala kata-kata yang diturunkan kesemuanya dikembali kepada nomina, mazhab ini dipegang oleh para punggawa bahasa di Kufah. Lain lagi dengan daerah Bashrah, meskipun keduanya sama-sama berada di Negara Irak saat ini, di Bashrah para pakar bahasa menyimpulkan bahwa sumber kata-kata itu semua mengakar kepada mashdar (nomina). Sesuai dengan pilihan penamaannya, ia mempunyai filosofi bahwa isim (nomina) adalah sebagai sumber (mashdar).dari kata-kata yang diturunkan darinya. Jama’a pada awalnya berarti berkumpul, seperti kata Jum’ah yang menurut al-Azhari, seorang pakar bahasa melalui buku Tahdzib al-Lughoh bisa dibaca dengan Jum’ah dan Jumu’ah juga memiliki arti berkumpul, dan biasanya kata-kata yang diturunkan darinya menyimpulkan makna berkumpul baik itu diciptakan ataupun memang hasil inisiatif dari pelakunya.
            Di Indonesia, pada umumnya kita banyak melakukan penyerapan dari bahasa asing, untuk kemudian ditransliterasi sesuai dengan pengucapan yang disepakati pada bahasa Indonesia. Namun, itu semua biasanya ditentukan oleh para pakar di Dewan Bahasa Departemen Pendididikan dan Kebudayaan. Kita tidak perlu merasa miris, karena memang kebudayaan kita telah mengalami persinggungan dengan banyak kebudayaan lain yang banyak dan kemudian secara masif ikut serta menggunakan bahasanya. Dari sini, para pakar menyimpulkan bahwa penyerapan bahasa arab sebagai bahasa yang digunakan oleh pemeluk agama Islam benar-benar telah diterima secara akulturatif kedalam kebudayaan Indonesia. Buktinya, semua nama-nama hari adalah hasil akulturasi dari bahasa arab hanya minggu saja yang diperkirakan (sebagaimana yang saya ingat dari sebuah wawancara di TVRI terhadap Abdurrahman Wahid) berasal dari bahasa Portugis  yaitu Dominggo, yang bermakna hari Tuhan. Belakangan, saya mulai mendengar bahasa Ahad, untuk menggantikan kata minggu. Dan, ternyata ia dimasukkan kedalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai sinonim kata minggu. Saya mungkin akan bercerita dilain kesempatan tentang siapa yang lebih berhak mengklaim untuk memberikan penamaan minggu atau ahad, mudah-mudahan.
            Terakhir, kembali ke urusan transliterasi. Sebuah kata, sebenarnya akan lebih baik jika diserap dengan tanpa meninggalkan struktur dasar dari bagaimana bahasa itu dituturkan. Dalam bahasa inggris, kita tidak kehilangan makna yang berarti ketika mengungkapkan kata rekonstruksi yang pada awalnya dituturkan dengan reconstruction. Pelafalan c hanya diganti dengan k dan tion digantikan dengan si. Mudah-mudahan demikian, karena saya tidak memiliki kemahiran dibidang ini. Tapi, untuk kata jum’at yang dituliskan dengan jumat ada permasalahan dalam penulisannya dalam pelafalannya. Kita harus mendudukkan pertanyaan, apakah yang dipertimbangkan adalah penulisan huruf-huruf arab kedalam huruf-huruf latin, atau bagaimana kata itu dituturkan. Hamzah (yang dalam huruf latin dibaca a) memiliki pelafalan yang berbeda dengan ‘ain (yang ditransliterasi dengan huruf ‘a, dengan tanda petik sebagai pembeda dengan a). Memang, hamzah dan ‘ain keduanya termasuk kedalam huruf yang muncul dari daerah kerongkongan (hurūf al-halaq). Saya, pada akhirnya harus memilih untuk berupaya menyesuaikan dengan penuturan asli kata tersebut, tanpa harus punya keyakinan bahwa ini akan menghilangkan budaya berbahasa Indonesia. Penulisnya jumat, meniscayakan kita untuk tidak membaca huruf ‘ain didalamnya dan akan merubah maknanya. Bukankah penyerapan, pengadopsian sebuah kata mengharuskan kita untuk tetap menjaga makna aslinya bukan ? Semoga kita disemua diberkahi di hari jum’at ini.


Ciputat, 25 April 2014