Bagaimana pendapat anda tentang laman ini ?

Statistik

Sabtu, 03 Maret 2012

Dua Belas Posisi Muhammad SAW dalam Tasyri’ Islami Perspektif Ibnu A’syur - Yunal Isra al-Fadani*

Prolog

Salah satu pembahasan yang sangat urgen dalam Ushul Fikih klasik adalah adanya pengklasifikasian sumber-sumber hukum syariat kepada dalil-dalil syara’ yang sudah disepakati dan dalil syara’ yang masih diperselisihkan. Adapun dalil-dalil syara’ yang disepakati adalah al-Qur’an, al-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Sementara itu dalil-dalil syara’ yang diperselisihkan banyak sekali, diantaranya seperti Istihsan, Mashalihul Mursalah, U’ruf, Istishab, Syariat Ummat sebelum Islam, Madzhab Sahabat, Maqashid al-Syariah, dan lain sebagainya. Keterangan seperti ini dapat dijumpai hampir di sebagian besar kitab-kitab Ushul, baik klasik maupun kontemporer. Seperti dalam Kitab Burhan fi Ushul al-Fiqh karya al-Juwaini, Mustasfa karya al-Ghazali, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam karya al-Amidi, Luma’ karya Abu Ishak al-Syirazi, Ilmu Ushul Fikih karya Abdul Wahhab Khalaf, Ushul Fiqh karya Syekh Muhammad Khudhori Bek, dan masih banyak yang lain.

Umumnya metodologi yang dipakai oleh para ulama tersebut hampir sama, yaitu menempatkan teks-teks syariat yang ada, terutama al-Qur’an dan Sunnah sebagai dua sumber hukum yang paling otoritatif dalam menjawab persoalan apapun yang muncul menyangkut syariat. Disamping itu mereka juga menganggap bahwa dalil yang ada dalam al-Qur’an dan begitu juga al-Hadis berlaku secara umum dan dapat dijadikan sebagai sandaran hukum untuk semua permasalahan yang muncul, tanpa perlu mengkaji ulang posisi wahyu ataupun sunnah tersebut dari konteks signifikasinya terhadap realitas yang ada. Hal inilah yang akan kita bicarakan dalam tulisan yang terbatas ini, khususnya mengenai beberapa posisi Muhammad SAW dalam syariat Islam yang selama ini dipahami secara universal oleh sebagian ulama. Sehingga apapun bentuk perkataan, perbuatan, ataupun takrir yang muncul dari beliau (sebut hadis) hampir sebagian besarnya dipahami sebagai syariat yang memunculkan implikasi dosa dan pahala terhadap umat.

Memang benar, ada sebagian term dalam Ushul Fikih klasik seperti yang dijelaskan dalam Kitab Bidayah al-Ushul fi Ma’arij al-Ushul karya Syekh Haji Mansur, Kitab Lathaif al-Isyarah karya Syekh Abdul Hamid bin Muhammad Ali al-Quds, Kitab al-Waraqat karya al-Juwaini, dan lain-lain yang membahas adanya pengklasifikasian perbuatan Rasul kepada perbuatan yang tergolong kepada ketaatan dan ada yang tidak. Seandainya perbuatan Nabi itu dipahami sebagai salah satu bentuk ketaatan, maka hal itu akan memunculkan dua kemungkinan, yaitu adakalanya perbuatan itu khusus untuk Nabi semata dan umat tidak diharuskan untuk mengikutinya seperti kewajiban shalat malam bagi Rasul dan kebolehan untuk menikah dengan 9 orang istri secara sekaligus. Dan adakalanya ketaatan tersebut berlaku untuk Nabi dengan umatnya secara sekaligus. Dalam arti kata ketaatan tersebut harus dijalankan oleh Nabi dan umat Islam secara keseluruhan tanpa ada pengecualian, seperti shalat lima waktu, puasa Ramadhan, dan lain-lain.

Sementara itu, kalau perbuatan Nabi tersebut tidak terkait dengan ketaatan kepada Allah seperti gaya berpakaian, gaya jalan, duduk, makan, dan minum beliau, maka semua itu tidak berimplikasi syariah. Dalam arti kata semua perbuatan tersebut hanya dipahami sebagai tabiat atau watak Nabi sebagai manusia biasa dan tidak mesti diikuti. Inilah sedikit pembahasan yang terdapat dalam kitab-kitab Ushul Fikih klasik mengenai status perbuatan nabi. Yaitu Muhammad sebagai Nabi pembawa syariat dan Muhammad sebagai manusia biasa. Sedangkan untuk tingkatan selanjutnya mereka tidak membuat kriteria ataupun rincian yang khusus seperti posisi Nabi sebagai Mufti, atau posisi beliau sebagai Qadhi dan lain sebagainya. Nah disinilah letak perbedaan Ibnu Asyur dengan para ulama klasik tersebut. Bagi Ibnu A’syur Muhammad diposisikan dalam 12 kategori sebagaimana yang akan dijelaskan berikut ini.

Posisi Muhammad SAW terhadap Tasyri’

Sebagaimana yang diketahui, Ibnu A’syur adalah seorang ulama kontemporer asal Tunisia yang terkenal lewat karya monumentalnya Maqashid al-Syariah al-Islamiyyah. Sebuah kitab yang menawarkan perspektif baru dalam upaya pengistimbatan hukum-hukum syariah dengan berpedoman kepada esensi dari hukum syariat itu sendiri atau lebih dikenal dengan sebutan maqashid syariah. Bahkan Ibnu A’syur dengan beraninya mengatakan bahwa Maqashid Syariah merupakan sebuah ilmu yang bersifat independen dan terlepas dari kungkungan ilmu Ushul Fikih. Dalam kesempatan lain dia juga pernah mengeluarkan stetement bahwa sudah sepatutnya pada penggali hukum syariah hari ini meninggalkan Ushul Fikih yang mempunyai dalalah yang bersifat Zonny dan beralih kepada Maqashid Syariah yang lebih bersifat Qath’i.

Salah satu stimulan yang mendorong Ibnu A’syur memunculkan wacana maqashid syariah tersebut adalah lantaran kejenuhannya terhadap metoda yang digunakan oleh para ulama klasik yang terlalu berpegang kepada teks dan terkesan abai terhadap konteks dari syariat itu sendiri. Sehingga sikap seperti itu memunculkan perbedaan pendapat yang sangat banyak dan beragam sekaligus membingungkan. Karena tidak jelas fatwa mana yang bisa diamalkan dan mana yang tidak. Di sisi lain fatwa yang dihasilkan juga tidak mengedepankan kemaslahatan, sehingga terkesan kurang humanis dan menyulitkan, padahal ajaran Islam itu pada dasarnya mudah dan menjadi rahmat bagi semesta alam.

Dalam bukunya Maqashid Syariah al-Islamiyah, ketika membahas persoalan posisi Nabi dalam tasyri’ Islami, Ibnu A’syur mengatakan bahwa salah satu hal yang sangat urgen dalam ilmu Maqashid Syariah adalah kejelian dalam membedakan status perbuatan dan perkataan yang timbul dari Rasulullah, kemudian menggolongkan masing-masingnya sesuai dengan posisi nabi pada saat melontarkan perkataan ataupun perbuatan tersebut. Sebagaimana yang diketahui juga bahwa nabi mempunyai berbagai macam sifat dan motif dalam berkata ataupun bertingkah laku sesuai dengan konteks yang beliau hadapi, sehingga hal itu akan berdampak terhadap berbedanya implikasi hukum yang muncul dari sikap nabi tersebut.

Pemikir yang pertama kali memunculkan teori pengklasifikasian posisi nabi ke dalam beberapa bagian tersebut adalah Shihabuddin Ahmad bin Idris al-Qarrafi dengan karyanya yang berjudul Anwar al-Buruq fi Anwa’I al-Furuq. Dalam buku tersebut, dia berusaha memetakan 3 kedudukan nabi terhadap syariat Islam yang satu sama lainnya mempunyai kekhususan masing-masing dan efek hukum yang juga berbeda-beda. Misalnya saja al-Qarrafi merumuskan bahwa nabi itu pada suatu waktu bisa dianggap sebagai Qadhi, di waktu yang lain bisa menjabat sebagai pemimpin negara, dan yang terakhir bisa jadi sebagai seorang mufti. Ketiga peranan ini menurutnya dimainkan oleh Nabi secara bergantian selama masa dakwahnya. Bahkan al-Qarrafi membuat 36 kriteria dari ketiga posisi tersebut di dalam kitabnya al-Furuq tersebut.

Namun diantara ketiga posisi tersebut, memang jabatan nabi sebagai muballigh atau penyampai syariat lebih mendominasi misi kerasulan beliau ketimbang jabatan sebagai pemimpin negara ataupun sebagai manusia biasa. Sehingga wajar kiranya para ulama klasik membaca setiap perkataan dan perbuatan nabi itu hanya sebagai tasyri’ semata, karena mereka tidak mengenal adanya pengklasifikasian posisi nabi sebagaimana yang dipetakan al-Qarrafi.

Kemudian, menurut Ibnu A’syur, pengelompokan jabatan nabi kepada mufti, qadhi, atau imam tersebut akan memunculkan status hukum yang berbeda dalam syariat. Maka seluruh perkataan dan perbuatan nabi yang muncul dalam posisi beliau sebagai muballigh/mufti misalnya, seperti penjelasannya mengenai perintah-perintah atau larangan-larangan dalam agama, maka hal itu harus dipahami sebagai hukum umum yang harus dipatuhi oleh seluruh umat, baik jin ataupun manusia, hingga hari kiamat kelak. Jika ia berbentuk perintah maka harus dilaksanakan dan manakala ia berwujud larangan maka harus ditinggalkan.

Selanjutnya, apabila ada perbuatan dan perkataan nabi itu muncul dalam otoritasnya sebagai kepala negara, maka hal itu akan memunculkan hukum tidak bolehnya bagi seseorang untuk melakukan suatu urusan kecuali setelah dia meminta izin kepada kepala negara tersebut. Inilah perbedaan antara posisi nabi sebagai mufti dengan posisi beliau sebagai kepala negara. Sementara itu, apabila kebijakan nabi itu berkenaan dengan penyelesaian kasus antara dua orang yang saling bermusuhan, maka hampir bisa dipastikan bahwa posisi nabi pada saat itu adalah sebagai seorang qadhi/hakim. Sehingga konklusinya adalah seseorang itu tidak boleh mengklaim dia yang benar atau orang lain salah kecuali setelah adanya keputusan dari seorang hakim.

Adapun contoh-contoh kongkrit dari ketika posisi nabi tersebut, akan penulis jabarkan sebagai berikut :

  1. Contoh sikap nabi yang berposisi sebagai kepala negara adalah seperti mengutus tentara, mengatur pendistribusian harta baitul mal dan proses pengambilannya, mengangkat dan melantik wakil-wakil kepala daerah, dan mengatur sistem pembagian harta rampasan perang. Ketika nabi memutuskan hal-hal tersebut, maka harus dipahami bahwa posisi beliau pada saat itu adalah sebagai kepala negara, tidak yang lain.
  2. Contoh sikap nabi yang berposisi sebagai hakim adalah seperti kebijakan beliau dalam memutuskan perkara dari dua/lebih orang yang sedang bermusuhan, baik dalam persoalan hukum perdata ataupun pidana dengan mempertimbangkan beberapa bukti dan keterangan dari saksi-saksi yang ada. Maka dengan melihat contoh tersebut, maka hampir dapat dipastikan bahwa posisi nabi pada saat itu adalah sebagai seorang hakim, tidak mufti dan tidak pula kepala negara.
  3. Contoh sikap nabi yang berposisi sebagai kepala negara adalah seperti kebijakan beliau yang berkenaan dengan tatacara ibadah atau jawaban beliau terhadap pertanyaan para mustafti terkait masalah syariah. Posisi beliau dalam kondisi yang seperti ini adalah sebagai seorang mufti dan bagi mustafti (peminta fatwa) mesti menjalankan apa yang difatwakan olehnya.
  4. Contoh sikap nabi yang diperselisihkan, apakah posisi beliau pada saat itu sebagai mufti, hakim, atau kepala negara, adalah sebagai berikut :
  • Dalam sebuah riwayat, nabi pernah bersabda “barangsiapa yang membuka lahan kosong (ihya’ al-mawat), maka tanah tersebut menjadi miliknya”. Para ulama berbeda pendapat mengenai posisi nabi pada saat melontarkan kata-kata tersebut. Imam Malik dan Syafi’i memandang bahwa perkataan nabi diatas merupakan otoritas beliau sebagai mufti/muballigh. Sehingga hukum yang dihasilkan adalah boleh saja bagi seseorang membuka lahan tanpa izin dari kepala negara. Sementara itu Imam Abu Hanifah lebih memilih posisi nabi pada saat itu adalah sebagai seorang kepala negara, jadi tidak boleh bagi seseorang membuka lahan kecuali setelah mendapatkan izin dari kepala negara.
  • Sebuah riwayat juga pernah menceritakan bahwa suatu hari Hindun binti U’tbah (suami dari Abu Sofyan) datang menemui nabi dan berkata “sesungguhnya Abu Shofyan adalah seorang laki-laki yang kikir, dia enggan memberikan nafkah buatku dan anakku”, kemudian nabi berkata kepada Hindun “ambillah sebagian dari hartanya sekedar kebutuhanmu dengan anakmu dengan cara yang baik.”!. Para ulama juga berbeda pendapat dalam menanggapi hadis ini. Ada yang menganggapinya sebagai fatwa, sehingga seseorang bebas mengambil harta suami/orang yang tidak memberikan haknya tanpa seizin mufti. Dan sebagian yang lain menganggapnya sebagai sebuah ketetapan (qadha), sehingga seseorang itu mesti mendapat legalisasi dari seorang hakim untuk mengambil haknya yang dirampas oleh orang lain.
  • Rasulullah pernah bersabda “barangsiapa yang membunuh seorang musuh, maka dia berhak atas ranpasannya”. Para ulama juga berbeda pendapat dalam menanggapi hadis tersebut. Imam Syafi’i mengatakan bahwa posisi nabi pada saat itu adalah sebagai mufti. Sebagian yang lain berpendapat bahwa itu merupakan instruksi nabi sebagai kepala negara, jadi penentuan bagian rampasan perang itu harus melalui izin dari kepala negara.

Inilah pengklasifikasian posisi nabi yang dipetakan oleh al-Qarrafi. Sementara itu dalam penelitiannya sendiri, Ibnu Asyur mengembangkan teori tersebut. Bahkan bagi dia nabi itu mempunyai 12 posisi dalam syariat. Sebagian diantaranya ada yang digolongkan ke dalam syariat yang mesti diikuti, karena adanya keterlibatan Allah di dalamnya. Namun sebagian yang lain hanya dipahami sebagai pendapat-pendapat nabi yang tidak mengandung unsur syariat. Sehingga boleh saja bagi mereka yang meyakini hal itu, untuk mengikuti pendapat nabi tersebut atau meninggalkannya, karena itu muncul dari pribadi beliau sendiri.

Adapun ke-12 pemetaan tersebut adalah sebagai berikut :

1. Posisi nabi sebagai pembuat syariat.

2. Posisi nabi sebagai mufti.

3. Posisi nabi sebagai qadhi (hakim).

4. Posisi nabi sebagai imam (kepala negara).

5. Posisi nabi sebagai pemberi petunjuk.

6. Posisi nabi sebagai mediator (yang mendamaikan dua orang yang berselisih).

7. Posisi nabi sebagai pemberi isyarat semata (usulan/anjuran).

8. Posisi nabi sebagai pemberi nasehat.

9. Posisi nabi sebagai penyempurna keadaan seseorang.

10. Posisi nabi sebagai guru yang mengajarkan esensi segala sesuatu.

11. Posisi nabi sebagai orang yang mengajarkan adab atau sopan santun (budi pekerti).

12. Posisi nabi sebagai pemberi informasi semata.

Adapun keterangan mengenai ke-12 posisi nabi perspekstif Ibnu A’syur di atas berikut tatacara mengenali serta contoh-contohnya akan dijelaskan dalam edisi berikutnya. Semoga bermanfaat..!!

* Mahasiswa semester 4 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Ma'had Ali Darussunnah - Ciputat

SIAPAKAH MUSLIM YANG BAIK ???

Dari banyak kalangan Islam, yang berangkat dari lingkungan tradisonalis misalnya tentunya telah banyak bersentuhan dengan setidaknya kemapanan nilai-nilai agama yang sangat mapan, baik dari sisi struktur dari kitab tersebut, maupun unsur – unsur dari manusia yang terus menopang penggunaan kitab tersebut. Memang, hampir seluruh kitab – kitab yang disusun oleh para ‘ulama dengan bahasa Arab tersebut bisa dikatakan sebagai tafsiran dari Al-Qur’an dan Hadits/Sunnah apakah itu Tauhid, Fiqh, dan Tasawwuf. Sehingga, berpikir sederhananya adalah berarti mengenal sumber-sumber Islam dengan bahasa ibunya, dan kesimpulannya berarti semakin mempermudah jalan menuju Allah SWT.

Namun ada pula segolongan kelompok yang mungkin sangat jauh dari setidaknya tata bahasa asli dari Al-Qur’an, yaitu bahasa Arab yang praktis berarti pemahaman yang tidak sesempurna kalangan tradisionalis yang memahami sejak awal tata bahasa arab untuk memahami sumber-sumber unggulan umat muslim. Namun, apakah mereka dengan latar belakang pedagang, teknokrat, birokrat, konglomerat, dan profesi – profesi lain yang mungkin belum sempat memahami sumber – sumber keagamaan secara utuh, sehingga kalaupun membaca sumber-sumber keagamaan maka menggunakan sumber – sumber yang diterjemahkan (dalam bahasa Indonesia) misalnya. Maka, apakah mereka bisa di-klaim sebagai muslim yang kurang baik dari mereka yang belajar sejak awal sumber – sumber keagamaan Islam.

Dua kasus diatas memang bukan ingin dihadapkan secara kontraposisi, namun ini setidaknya menjadi reintropeksi secara terus menerus dari diri kita. Bukankah Islam sebagai rahmah li al-‘aalamiin ini telah menyatakan dalam sebuah ayat dalam Al-Qur’an Al-An’am:125 :

125. Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. dan Barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya[503], niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.

Hal inilah yang sebetunya menjadi kunci dari pemahaman yang mendalam dari sebuah saja – misalnya, dari nilai-nilai yang terkandung didalam Islam. Maka siapapun yang berkehendak menuju kebaikan dan mau membersihkan dirinya dari segala ekses-ekses yang menggangu kedudukan dasar manusia sebagai pengelola tunggal dimuka bumi ini, maka Allah bukakan jalan-Nya menuju Islam.

Tinggal, kita misalnya yang berlatar belakang pendidikan Islam berbasis tradisonal, terus merevitalisasi nilai-nilai yang terkandung dalam sumber – sumber bermutu keislaman, walaupun dari hal itu semua sumber – sumber Tradisionalis semestinya terus menerus dievaluasi dan disinergikan dengan Al-Qur’an dan Hadits, dua sumber primer umat Islam. Karena, bagaimanapun bukankah itu semua (baca:kitab kuning misalnya) adalah hasil ijtihad dan konklusi dari ulama-ulama besar terdahulu. Dan sebaliknya kalangan yang muncul terus keinginan akan memahami dan mengamalkan secara utuh agamanya bisa saling bersimbiosis mutualisme dengan siapapun yang telah selangkah dalam memahami sumber-sumber agama secara tekstual, maupun (walau terus direvitalisasi) kontekstual.

Jadi, keimanan dan kesalehan bukan tergantung dari banyaknya sumber yang dibaca dan dimiliki, bukan ?

Lahir dari menguping celotehan seorang separuh baya yang bercerita dengan penuh semangat akan Islam via telepon dengan seseorang

بارك الله بعمره و علينا محاسبتنا

Sabtu, 11 Februari 2012

Mantiq (Logika) dan Pembahasannya

Mantiq adalah alat atau dasar yang penggunaannya akan menjaga kesalahan dalam berpikir.

Lebih jelasnya, Mantiq adalah sebuah ilmu yang membahas tentang alat dan formula berpikir, sehingga seseorang yang menggunakannya akan selamat dari cara berpikir salah. Manusia sebagai makhluk yang berpikir tidak akan lepas dari berpikir. Namun, saat berpikir, manusia seringkali dipengaruhi oleh berbagai tendensi, emosi, subyektifitas dan lainnya sehingga ia tidak dapat berpikir jernih, logis dan obyektif. Mantiq merupakan upaya agar seseorang dapat berpikir dengan cara yang benar, tidak keliru.

Sebelum kita pelajari masalah-masalah mantiq, ada baiknya kita mengetahui apa yang dimaksud dengan "berpikir".

Berpikir adalah proses pengungkapan sesuatu yang misteri (majhul atau belum diketahui) dengan mengolah pengetahuan-pengetahuan yang telah ada dalam benak kita (dzihn) sehingga yang majhul itu menjadi ma'lûm (diketahui).

Faktor-Faktor Kesalahan Berpikir

1. Hal-hal yang dijadikan dasar (premis) tidak benar.

2. Susunan atau form yang menyusun premis tidak sesuai dengan kaidah mantiq yang benar.

Argumentasi (proses berpikir) dalam alam pikiran manusia bagaikan sebuah bangunan. Suatu bangunan akan terbentuk sempurna jika tersusun dari bahan-bahan dan konstruksi bangunan yang sesuai dengan teori-teori yang benar. Apabila salah satu dari dua unsur itu tidak terpenuhi, maka bangunan tersebut tidak akan terbentuk dengan baik dan sempurna. Sebagai misal, "[1] Socrates adalah manusia; dan [2] setiap manusia bertindak zalim; maka [3] Socrates bertindak zalim". Argumentasi semacam ini benar dari segi susunan dan formnya. Tetapi, salah satu premisnya salah yaitu premis yang berbunyi "Setiap manusia bertindak zalim", maka konklusinya tidak tepat. Atau misal, "[1] Socrates adalah manusia; dan [2] Socrates adalah seorang ilmuwan", maka "[3] manusia adalah ilmuwan". Dua premis ini benar tetapi susunan atau formnya tidak benar, maka konklusinya tidak benar. (Dalam pembahasan qiyas nanti akan dijelaskan susunan argumentasi yang benar, pen).

Ilmu dan Idrak

Dua kata di atas, Ilmu dan Idrak, mempunyai makna yang sama (sinonim). Dalam ilmu mantiq, kedua kata ini menjadi bahasan yang paling penting karena membahas aspek terpenting dalam pikiran manusia, yakni ilmu. Oleh karena itu, makna ilmu sendiri perlu diperjelas. Para ahli mantiq (mantiqiyyin) mendefinisikan ilmu sebagai berikut:

Ilmu adalah gambaran tentang sesuatu yang ada dalam benak (akal). Benak atau pikiran kita tidak lepas dari dua kondisi yang kontradiktif, yaitu ilmu dan jahil (ketidak tahuan). Pada saat keluar rumah, kita menyaksikan sebuah bangunan yang megah dan indah, dan pada saat yang sama pula tertanam dalam benak gambaran bangunan itu. Kondisi ini disebut "ilmu". Sebaliknya, sebelum menyaksikan bangunan tersebut, dalam benak kita tidak ada gambaran itu. Kondisi ini disebut "jahil".

Pada kondisi ilmu, benak atau akal kita terkadang hanya [1] menghimpun gambaran dari sesuatu saja (bangunan, dalam misal). Terkadang kita tidak hanya menghimpun tetapi juga [2] memberikan penilaian atau hukum (judgement). (Misalnya, bangunan itu indah dan megah). Kondisi ilmu yang pertama disebut tashawwur dan yang kedua disebut tashdiq. Jadi tashawwur hanya gambaran akan sesuatu dalam benak. Sedangkan tashdiq adalah penilaian atau penetapan dengan dua ketetapan: "ya" atau "tidak/bukan". Misalnya, "air itu dingin", atau "air itu tidak dingin"; "manusia itu berakal", atau "manusia itu bukan binatang" dan lain sebagainya.

Kesimpulan, ilmu dibagi menjadi dua; tashawwuri dan tashdiqi.

Dharuri dan Nadzari

Ilmu tashawwuri dan ilmu tashdiqi mempunyai dua macam: dharuri dan nadzari. Dharuri adalah ilmu yang tidak membutuhkan pemikiran lagi (aksiomatis). Nadzari adalah ilmu yang membutuhkan pemikiran.

Lebih jelasnya, dharuri (sering juga disebut badihi) adalah ilmu dan pengetahuan yang dengan sendirinya bisa diketahui tanpa membutuhkan pengetahuan dan perantaraan ilmu yang lain. Jadi Ilmu tashawwuri dharuri adalah gambaran dalam benak yang dipahami tanpa sebuah proses pemikiran. Contoh: 2 x 2 = 4; 15 x 15 = 225 atau berkumpulnya dua hal yang kontradiktif adalah mustahil (tidak mungkin terjadi) adalah hal yang dharuri. Sedangkan nadzari dapat diketahui melalui sebuah proses pemikiran atau melalui pengetahuan yang sudah diketahui sebelumnya. (Lihat kembali definisi berpikir). Jadi ilmu tashawwuri nadzari adalah gambaran yang ada dalam benak yang dipahami melalui proses pemikiran. Contoh: bumi itu bulat adalah hal yang nadzari.

Kulli dan Juz'i

Pembahasan tentang kulli (general) dan juz'i (parsial) secara esensial sangat erat kaitannya dengan tashawwur dan juga secara aksidental berkaitan dengan tashdiq.

Kulli adalah tashawwur (gambaran benak) yang dapat diterapkan (berlaku) pada beberapa benda di luar. Misalnya: gambaran tentang manusia dapat diterapkan (berlaku) pada banyak orang; Budi, Novel, Yani dan lainnya.

Juz'i adalah tashawwur yang dapat diterapkan (berlaku) hanya pada satu benda saja.

Misalnya: gambaran tentang Budi hanya untuk seorang yang bernama Budi saja. Manusia dalam berkomunikasi tentang kehidupan sehari-hari menggunakan tashawwur-thasawwur yang juz'i. Misalnya: Saya kemarin ke Jakarta; Adik saya sudah mulai masuk sekolah; Bapak saya sudah pensiun dan sebagainya. Namun, yang dipakai oleh manusia dalam kajian-kajian keilmuan adalah tashawwur-thasawwur kulli, yang sifatnya universal. Seperti: 2 x 2 = 4; Orang yang beriman adalah orang bertanggung jawab atas segala perbuatannya; Setiap akibat pasti mempunyai sebab dan lain sebagainya. Dalam ilmu mantiq kita akan sering menggunakan kulli (gambaran-gambaran yang universal), dan jarang bersangkutan dengan juz'i.

Nisab Arba'ah

Dalam benak kita terdapat banyak tashawwur yang bersifat kulli dan setiap yang kulli mempunyai realita (afrad) lebih dari satu. (Lihat definisi kulli ). Kemudian antara tashawwur kulli yang satu dengan yang lain mempunyai hubungan (relasi). Ahli mantiq menyebut bentuk hubungan itu sebagai "Nisab Arba'ah". Mereka menyebutkan bahwa ada empat kategori relasi: [1] Tabâyun (diferensi), [2] Tasâwi (ekuivalensi), [3] Umum wa khusus Mutlaq (implikasi) dan [4] Umum wa Khusus Minwajhin (asosiasi).

  1. Tabâyunadalah dua tashawwur kulli yang masing-masing dari keduanya tidak bisa diterapkan pada seluruh afrad tashawwur kulli yang lain. Dengan kata lain, afrad kulli yang satu tidak mungkin sama dan bersatu dengan afrad kulli yang lain. Misal: tashawwur manusia dan tashawwur batu. Kedua tashawwur ini sangatlah berbeda dan afradnya tidak mungkin sama. Setiap manusia pasti bukan batu dan setiap batu pasti bukan manusia.
  2. Tasâwi adalah dua tashawwur kulli yang keduanya bisa diterapkan pada seluruh afrad kulli yang lain. Misal: tashawwur manusia dan tashawwurt berpikir. Artinya setiap manusia dapat berpikir dan setiap yang berpikir adalah manusia.
  3. Umum wa khusus mutlak adalah dua tashawwur kulli yang satu dapat diterapkan pada seluruh afrad kulli yang lain dan tidak sebaliknya. Misal: tashawwur hewan dan tashawwur manusia. Setiap manusia adalah hewan dan tidak setiap hewan adalah manusia. Afrad tashawwur hewan lebih umum dan lebih luas sehingga mencakup semua afrad tashawwur manusia.
  4. Umum wa khusus min wajhin adalah dua tashawwur kulli yang masing-masing dari keduanya dapat diterapkan pada sebagian afrad kulli yang lain dan sebagian lagi tidak bisa diterapkan. Misal: tashawwur manusia dan tashawwur putih. Kedua tashawwur kulli ini bersatu pada seorang manusia yang putih, tetapi terkadang keduanya berpisah seperti pada orang yang hitam dan pada kapur tulis yang putih.

Hudud dan Ta'rifat

Kita sepakat bahwa masih banyak hal yang belum kita ketahui (majhul). Dan sesuai dengan fitrah, kita selalu ingin dan mencari tahu tentang hal-hal yang masih majhul.

Pertemuan lalu telah dibahas bahwa manusia memiliki ilmu dan pengetahuan (ma'lûm), baik tashawwuri ataupun tashdiqi. Majhul (jahil) sebagai anonim dari ma'lûm (ilmu), juga terbagi menjadi dua majhul tashawwuri dan majhul tashdiqi. Untuk mengetahui hal-hal majhul tashawwuri, kita membutuhkan ma'lûm tashaswwuri. (Lihat definisi berpikir. Pencarian majhul tashawwur dinamakan "had" atau "ta'rif".

Had/ta'rif adalah sebuah jawaban dan keterangan yang didahului pertanyaan "Apa?".

Saat menghadapi sesuatu yang belum kita ketahui (majhul), kita akan segara bertanya "apa itu?". Artinya, kita bertanya tentang esensi dan hakikat sesuatu itu. Jawaban dan keterangan yang diberikan adalah had (definisi) dari sesuatu itu.

Oleh karena itu, dalam disiplin ilmu, mendefinisikan suatu materi yang akan dibahas penting sekali sebelum membahas lebih lanjut masalah-masalah yang berkaitan dengannya. Perdebatan tentang sesuatu materi akan menjadi sia-sia kalau definisinya belum jelas dan disepakati. Ilmu mantiq bertugas menunjukkan cara membuat had atau definisi yang benar.

Macam-Macam Definisi (Ta'rif)

Setiap definisi bergantung pada kulli yang digunakan. Ada lima kulli yang digunakan untuk mendefinisikan majhul tashawwuri (biasa disebut "kulliyat khamsah"). Lima kulli itu adalah: [1] Nau' (spesies), [2] jins (genius), [3] fashl (diferentia), [4] 'aradh 'aam (common accidens) dan [5] 'aradh khas (proper accidens). Pembahasan tentang kulliyat khamsah ini secara detail termasuk pembahasan filsafat, bukan pembahasan mantiq.

  1. Had Tâm, adalah definisi yang menggunakan jins dan fashl untuk menjelaskan bagian-bagian dari esensi yang majhul. Misal: Apakah manusia itu? Jawabannya adalah "Hewan yang berpikir (natiq)". "Hewan" adalah jins manusia, dan "berpikir" adalah fashl manusia. Keduanya merupakan bagian dari esensi manusia.
  2. Had Nâqish, adalah definisi yang menggunakan jins saja. Misal: "Manusia adalah hewan". Hewan adalah salah satu dari esensi manusia.
  3. Rasam Tâm, adalah definisi yang mengunakan 'ardh khas. Misal: "Manusia adalah wujud yang berjalan, tegak lurus dan dapat tertawa". "Maujud yang berjalan", "tegak lurus" dan "tertawa" bukan bagian dari esensi manusia, tetapi hanya bagian yang eksiden.
  4. Rasam Nâqish, adalah definisi yang menggunakan 'ardh 'âm, misalnya, "Manusia adalah wujud yang berjalan".

Qadhiyyah (Proposisi)

Sebagaimana yang telah kita ketahui, tashdiqi adalah penilaian dan penghukuman atas sesuatu dengan sesuatu yang lain (seperti: gunung itu indah; manusia itu bukan kera dan lain sebagainya). Atas dasar itu, tashdiq berkaitan dengan dua hal: maudhu' dan mahmul ("gunung" sebagai maudhu' dan "indah" sebagai mahmul). Gabungan dari dua sesuatu itu disebut qadhiyyah (proposisi).

Macam-macam Qadhiyyah

Setiap qadhiyyah terdiri dari tiga unsur: 1) mawdhu', 2) mahmul dan 3) rabithah (hubungan antara mawdhu' dan mahmul). Berdasarkan masing-masing unsur itu, qadhiyyah dibagi menjadi beberapa bagian.

Berdasarkan rabithah-nya, qadhiyyah dibagi menjadi dua: hamliyyah (proposisi kategoris) dan syarthiyyah (proposisi hipotesis).

Qadhiyyah hamliyyah adalah qadhiyyah yang terdiri dari mawdhu', mahmul dan rabithah.

Lebih jelasnya, ketika kita membayangkan sesuatu, lalu kita menilai atau menetapkan atasnya sesuatu yang lain, maka sesuatu yang pertama disebut mawdhu' dan sesuatu yang kedua dinamakan mahmul dan yang menyatukan antara keduanya adalah rabithah. Misalnya: "gunung itu indah". "Gunung" adalah mawdhu', "indah" adalah mahmul dan "itu" adalah rabithah (Qadhiyyah hamliyyah, proposisi kategorik)

Terkadang kita menafikan mahmul dari mawdhu'. Misalnya, "gunung itu tidak indah". Yang pertama disebut qadhiyyah hamliyyah mujabah (afirmatif) dan yang kedua disebut qadhiyyah hamliyyah salibah (negatif).

Qadhiyyah syarthiyyah terbentuk dari dua qadhiyyah hamliyah yang dihubungkan dengan huruf syarat seperti, "jika" dan "setiap kali".

Contoh: jika Tuhan itu banyak, maka bumi akan hancur. "Tuhan itu banyak" adalah qadhiyyah hamliyah; demikian pula "bumi akan hancur" sebuah qadhiyyah hamliyah. Kemudian keduanya dihubungkan dengan kata "jika". Qadhiyyah yang pertama (dalam contoh, Tuhan itu banyak) disebut muqaddam dan qadhiyyah yang kedua (dalam contoh, bumi akan hancur) disebut tali.

Qadhiyyah syarthiyyah dibagi menjadi dua: muttasilah dan munfasilah. Qadhiyyah syarthiyyah yang menggabungkan antara dua qadhiyyah seperti contoh di atas disebut muttasilah, yang maksudnya bahwa adanya "keseiringan" dan "kebersamaan" antara dua qadhiyyah. Tetapi qadhiyyah syarthiyyah yang menunjukkan adanya perbedaan dan keterpisahan antara dua qadhiyyah disebut munfasilah, seperti, Bila angka itu genap, maka ia bukan ganjil. Antara angka genap dan angka ganjil tidak mungkin kumpul.

Qadhiyyah Mahshurah dan Muhmalah

Pembagian qadhiyyah berdasarkan mawdhu'-nya dibagi menjadi dua: mahshurah dan muhmalah. Mahshurah adalah qadhiyyah yang afrad (realita) mawdhu'-nya ditentukan jumlahnya (kuantitasnya) dengan menggunakan kata "semua" dan "setiap" atau "sebagian" dan "tidak semua". Contohnya, semua manusia akan mati atau sebagian manusia pintar. Sedangkan dalam muhmalah jumlah afrad mawdhu'-nya tidak ditentukan. Contohnya, manusia akan mati, atau manusia itu pintar.

Dalam ilmu mantiq, filsafat, eksakta dan ilmu pengetahuan lainnya, qadhiyyah yang dipakai adalah qadhiyyah mahshurah.

Qadhiyyah mahshurah terkadang kulliyah (proposisi determinatif general) dan terkadang juz'iyyah (proposisi determinatif partikular) dan qadhiyyah sendiri ada yang mujabah (afirmatif) dan ada yang salibah (negatif) . Maka qadhiyyah mahshurah mempunyai empat macam:

  1. Mujabah kulliyyah: Setiap manusia adalah hewan
  2. Salibah kulliyyah: Tidak satupun manusia yang berupa batu.
  3. Mujabah juz'iyyah: Sebagian manusia pintar
  4. Salibah juz'iyyah: Sebagian manusia bukan laki-laki.

Sebenarnya masih banyak lagi pembagian qadhiyyah baik berdasarkan mahmul-nya (qadhiyyah muhassalah dan mu'addlah), atau jihat qadhiyyah (dharuriyyah, daimah dan mumkinah) dan qadhiyyah syarthiyyah muttasilah (haqiqiyyah, maani'atul jama' dan maani'atul khulw). Namun qadhiyyah yang paling banyak dibahas dalam ilmu filsafat, mantiq dan lainnya adalah qadhiyyah mahshurah.

Hukum-Hukum Qadhiyyah

Setelah kita ketahui definisi dan pembagian qadhiyyah, maka pembahasan berikutnya adalah hubungan antara masing-masing dari empat qadhiyyah mahshurah. Pada pembahasan terdahulu telah kita ketahui bahwa terdapat empat macam hubungan antara empat tashawwuri kulli: [1] tabâyun, [2] tasâwi, [3] umum wa khusus mutlak dan [4] umum wa khusus min wajhin. Demikian pula terdapat empat macam hubungan antara masing-masing empat qadhiyyah mahshurah: [1] tanaqudh, [2] tadhadd, [3] dukhul tahta tadhadd dan [4] tadakhul.

  1. Tanaqudh (mutanaqidhain [kontradiktif]) adalah dua qadhiyyah yang mawdhu' dan mahmul-nya sama, tetapi kuantitas (kam) dan kualitasnya (kaif) berbeda, yakni yang satu kulliyah mujabah dan yang lainnya juz'iyyah salibah. Misalnya, "Semua manusia hewan" (kulliyyah mujabah) dengan "Sebagian manusia bukan hewan" (juz'iyyah salibah).
  2. Tadhad (kontrariatif) adalah dua qadhiyah yang sama kuantitasnya (keduanya kulliyyah), tetapi yang satu mujabah dan yang lain salibah. Misalnya, "Semua manusia dapat berpikir" (kulliyyah mujabah) dengan "Tidak satupun dari manusia dapat berpikir" (kulliyyah salibah).
  3. Dukhul tahta tadhad (dakhilatain tahta tadhad [interferensif sub-kontrariatif]) adalah dua qadhiyyah yang sama kuantitasnya (keduanya juz'iyyah), tetapi yang satu mujabah dan lain salibah. Misalnya: "Sebagian manusia pintar" (juz'iyyah mujabah) dengan "Sebagian manusia tidak pintar" (juz'iyyah salibah).
  4. Tadakhul (mutadakhilatain [interferensif]) adalah dua qadhiyyah yang sama kualitasnya tetapi kuantitasnya berbeda. Misalnya: "Semua manusia akan mati" (kulliyyah mujabah) dengan "Sebagian manusia akan mati" (juz'iyyah mujabah) atau "Tidak satupun dari manusia akan kekal" (kulliyyah salibah) dengan "Sebagian manusia tidak kekal" (juz'iyyah salibah). Dua qadhiyyah ini disebut pula

Hukum dua qadhiyyah mutanaqidhain (kontradiktif) jika salah satu dari dua qadhiyyah itu benar, maka yang lainnya pasti salah. Demikian pula jika yang satu salah, maka yang lainnya benar. Artinya tidak mungkin (mustahil) keduanya benar atau keduanya salah. Dua qadhiyyah biasa dikenal dengan ijtima' al naqidhain mustahil (kombinasi kontradiktif).

Hukum dua qadhiyyah mutadhaddain (kontrariatif), jika salah satu dari dua qadhiyyah itu benar, maka yang lain pasti salah. Tetapi, jika salah satu salah, maka yang lain belum tentu benar. Artinya keduanya tidak mungkin benar, tetapi keduanya mungkin salah.

Hukum dua qadhiyyah dakhlatain tahta tadhad (interferensif sub-kontrariatif), jika salah satu dari dua qadhiyyah itu salah, maka yang lain pasti benar. Tetapi, jika yang satu benar, maka yang lain belum tentu salah. Dengan kata lain, kedua qadhiyyah itu tidak mungkin salah, tetapi mungkin saja keduanya benar.

Hukum dua qadhiyyah mutadakhilatain (interferentif), berbeda dengan masalah tashawwuri. (Lihat pembahasan tentang nisab arba'ah, pen); bahwa tashawwur kulli (misalnya, manusia) lebih umum dari tashawwur juz'i (misalnya, Ali). Di sini, qadhiyyah kulliyyah lebih khusus dari qadhiyyah juz'iyyah. Artinya, jika qadhiyyah kulliyyah benar, maka qadhiyyah juz'iyyah pasti benar.

Tetapi, jika qadhiyyah juz'iyyah benar, maka qadhiyyah kulliyyah belum tentu benar. Misalnya, jika "setiap A adalah B" (qadhiyyah kulliyyah), maka pasti "sebagian A pasti B". Tetapi jika "sebagian A adalah B", maka belum pasti "setiap A adalah B".

Tanaqudh

Salah satu hukum qadhiyyah yang menjadi dasar semua pembahasan mantiq dan filsafat adalah hukum tanaqudh (hukum kontradiksi). Para ahli mantiq dan filsafat menyebutkan bahwa selain mawdhu' dan mahmul dua qadhiyyah mutanaqidhain itu harus sama, juga ada beberapa kesamaan dalam kedua qadhiyyah tersebut. Kesamaan itu terletak pada:

  1. Kesamaan tempat (makan)
  2. Kesamaan waktu (zaman)
  3. Kesamaan kondisi (syart)
  4. Kesamaan korelasi (idhafah)
  5. Kesamaan pada sebagian atau keseluruhan (juz dan kull )
  6. Kesamaan dalam potensi dan aktual (bil quwwah dan bil fi'li). Qiyas (silogisme)

Pembahasan tentang qadhiyyah sebenarnya pendahuluan dari masalah qiyas, sebagaimana pembahasan tentang tashawwur sebagai pendahuluan dari hudud atau ta'rifat. Dan sebenarnya inti pembahasan mantiq adalah hudud dan qiyas.

Qiyas adalah kumpulan dari beberapa qadhiyyah yang berkaitan yang jika benar, maka dengan sendirinya (li dzatihi) akan menghasilkan qadhiyyah yang lain (baru).

Sebelum kita lebih lnjut membahas tentang qiyas, ada baiknya kita secara sekilas beberapa macam hujjah (argumentasi ). Manusia disaat ingin mengetahui hal-hal yang majhul, maka terdapat tiga cara untuk mengetahuinya:

  1. Pengetahuan dari juz'i ke juz'i yang lain. Argumenatsi ini sifatnya horisontal, dari sebuah titik yang parsial ke titik parsial lainnya. Argumentasi ini disebut tamtsil (analogi).
  2. Pengetahuan dari juz'i ke kulli. Atau dengan kata lain, dari khusus ke umum (menggeneralisasi yang parsial) Argumentasi ini bersifat vertikal, dan disebut istiqra' (induksi).
  3. Pengetahuan dari kulli ke juz'i. Atau dengan kata lain, dari umum ke khusus. Argumentasi ini disebut qiyas (silogisme).

Macam-macam Qiyas

Qiyas dibagi menjadi dua; iqtirani (silogisme kategoris) dan istitsna'i (silogisme hipotesis). Sesuai dengan definisi qiyas di atas, satu qadhiyyah atau beberapa qadhiyyah yang tidak dikaitkan antara satu dengan yang lain tidak akan menghasilkan qadhiyyah baru. Jadi untuk memberikan hasil (konklusi) diperlukan beberapa qadhiyyah yang saling berkaitan. Dan itulah yang namanya qiyas.

1. Qiyas Iqtirani

Qiyas iqtirani adalah qiyas yang mawdhu' dan mahmul natijahnya berada secara terpisah pada dua muqaddimah. Contoh: "Kunci itu besi" dan "setiap besi akan memuai jika dipanaskan", maka "kunci itu akan memuai jika dipanaskan". Qiyas ini terdiri dari tiga qadhiyyah; [1] Kunci itu besi, [2] setiap besi akan memuai jika dipanaskan dan [3] kunci itu akan memuai jika dipanaskan. Qadhiyyah pertama disebut muqaddimah shugra (premis minor), qadhiyyah kedua disebut muqaddimah kubra (premis mayor) dan yang ketiga adalah natijah (konklusi).

Natijah merupakan gabungan dari mawdhu' dan mahmul yang sudah tercantum pada dua muqaddimah, yakni, "kunci" (mawdhu') dan "akan memuai jika dipanaskan" (mahmul). Sedangkan "besi" sebagai had awshat.

Yang paling berperan dalam qiyas adalah penghubung antara mawdhu' muqadimah shugra dengan mahmul muqaddimah kubra. Penghubung itu disebut had awsath. Had awsath harus berada pada kedua muqaddimah (shugra dan kubra) tetapi tidak tecantum dalam natijah. (Lihat contoh, pen).

Empat Bentuk Qiyas Iqtirani

Qiyas iqtirani kalau dilihat dari letak kedudukan had awsath-nya pada muqaddimah shugra dan kubra mempunyai empat bentuk :

1. Syakl Awwal adalah Qiyas yang had awsth-nya menjadi mahmul pada muqaddimah shugra dan menjadi mawdhu' pada muqaddimah kubra. Misalnya, "Setiap Nabi itu makshum", dan "setiap orang makshum adalah teladan yang baik", maka "setiap nabi adalah teladan yang baik". "Makshum" adalah had awsath, yang menjadi mahmul pada muqaddimah shugra dan menjadi mawdhu' pada muqaddimah kubra.

Syarat-syarat syakl awwal.

Syakl awwal akan menghasilkan natijah yang badihi (jelas dan pasti) jika memenuhi dua syarat berikut ini:

a. Muqaddimah shugra harus mujabah.

b. Muqaddimah kubra harus kulliyah.

2. Syakl Kedua adalah Qiyas yang had awshat-nya menjadi mahmul pada kedua muqaddimah-nya. Misalnya, "Setiap nabi makshum", dan "tidak satupun pendosa itu makshum", maka "tidak satupun dari nabi itu pendosa".

Syarat-syarat syakl kedua.

a. Kedua muqaddimah harus berbeda dalam kualitasnya (kaif, yakni mujabah dan salibah).

b. Muqaddimah kubra harus kulliyyah.

3. Syakl Ketiga adalah Qiyas yang had awshat-nya menjadi mawdhu' pada kedua muqaddimahnya. Misalnya, "Setiap nabi makshum", dan "sebagian nabi adalah imam", maka "sebagian orang makshum adalah imam".

Syarat-syarat Syakl ketiga.

a. Muqaddimah sughra harus mujabah.

b. Salah satu dari kedua muqaddimah harus kulliyyah.

4. Syakal Keempat adalah Qiyas yang had awsath-nya menjadi mawdhu' pada muqaddimah shugra dan menjadi mahmul pada muqaddimah kubra (kebalikan dari syakl awwal.)

Syarat-syarat Syakl keempat.

a. Kedua muqaddimahnya harus mujabah.

b. Muqaddimah shugra harus kulliyyah. Atau

c. Kedua muqaddimahnya harus berbeda kualitasnya (kaif)

d. Salah satu dari keduanya harus kulliyyah.

Catatan: Menurut para mantiqiyyin, bentuk qiyas iqtirani yang badihi (jelas sekali) adalah yang pertama sedangkan yang kedua dan ketiga membutuhkan pemikiran. Adapun yang keempat sangat sulit diterima oleh pikiran. Oleh karena itu Aristoteles sebagai penyusun mantiq yang pertama tidak mencantumkan bentuk yang keempat.

Qiyas Istitsna'i

Berbeda dengan qiyas iqtirani, qiyas ini terbentuk dari qadhiyyah syarthiyyah dan qadhiyyah hamliyyah. Misalnya, "Jika Muhammad itu utusan Allah, maka dia mempunyai mukjizat. Oleh karena dia mempunyai mukjizat, berarti dia utusan Allah". Penjelasannya: "Jika Muhammad itu utusan Allah, maka dia mempunyai mukjizat" adalah qadhiyyah syarthiyyah yang terdiri dari muqaddam dan tali (lihat definisi qadhiyyah syarthiyyah), dan "Dia mempunyai mukjizat" adalah qadhiyyah hamliyyah. Sedangkan "maka dia mempunyai mukjizat" adalah natijah. Dinamakan istitsna'i karena terdapat kata " tetapi", atau "oleh karena". Macam-Macam Qiyas istitsna'i (silogisme) Ada empat macam qiyas istitsna'i: Muqaddam positif dan tali positif. Misalnya, "Jika Muhammad utusan Allah, maka dia mempunyai mukjizat. Tetapi Muhammad mempunyai mukjizat berarti Dia utusan Allah". Muqaddam negatif dan tali positif. Misalnya, "Jika Tuhan itu tidak satu, maka bumi ini akan hancur. Tetapi bumi tidak hancur, berarti Tuhan satu (tidak tidak satu)". Tali negatif dan muqaddam negatif. Misalnya, "Jika Muhammad bukan nabi, maka dia tidak mempunyai mukjizat. Tetapi dia mempunyai mukjizat, berarti dia Nabi (bukan bukan nabi)". Tali negatif dan muqaddam positif. Misalnya, "Jika Fir'aun itu Tuhan, maka dia tidak akan binasa. Tetapi dia binasa, berarti dia bukan Tuhan".

(Makalah Ust. Husein Al-Kaff dalam Kuliah Logika "Pengantar Menuju Filsafat Islam" di Yayasan Pendidikan Islam Al-Jawad pada tanggal 25 Oktober -1 November 1999 M)

Senin, 16 Januari 2012

Saat Kritis

Ruang depan yang kosong

Dengan suasana hening tak lekang oleh percikan air

Walaupun dulu ia masih disitu

Bercengkerama, lepas tawa, namun tetap dalam harmoni

Sosok yang tak pernah tinggi hati

Namun yang terpenting

Semangatnya yang kembali terpantik

Didalam jiwa yang dingin
________________________________________