Bagaimana pendapat anda tentang laman ini ?

Statistik

Senin, 18 November 2013

Jejak Keilmuan Ulama Nusantara: Syekh Ihsan Jampes




            Menyusuri jalan Purwoasri – Jampes, Kediri adalah salah satu perjalanan kami setelah hari raya kemarin, tepatnya hari Sabtu, 10 Agustus 2013. Sekitar Jam 10 siang, kami sudah tiba di lokasi, desa Jampes, Kediri. Perjalanan ini dipandu M. Khoirul Huda, sebagai mahasantri Darusunnah semester 7 dan anggota Permadi (Persatuan Mahasiswa Kediri) dalam rangka ziarah ke beberapa ulama Nusantara, disekitar Jawa Timur. Di hari itu, kami singgah di makam Syaikh Ihsan bin Dahlan Jampes, ulama kenamaan dari Kediri yang terkenal tidak hanya sebagai ulama lokal saja, namun juga lewat kitab-kitab yang mentahbiskannya sebagai ulama fiqh, hadits, dan tasawuf. Khusus yang terakhir ini, terangkatnya masterpiece-nya yang berjudul Sirāj al-Thālibin, Sebuah penjelasan atas kitab tasawuf yang disusun Imam al-Ghazali berjudul Minhaj al-‘Abidin. Sirāj al-Thalibin sampai menjadi kitab pegangan di berbagai perguruan tinggi di berbagai Negara dan pesantren di Indonesia. yang fokus mengkaji akhlak dan kesufian dalam Islam.
             
Syaikh Ihsan: Dari Bakri ‘Nakal’ Menjadi Zahid nan Arif
            Nama beliau, terutama dalam dunia pesantren sudah dikenal dan telah banyak ditulis baik di media cetak maupun elektronik. Namun, menziarahi makam beliau secara langsung tidak hanya menjadikan kami tahu saja siapa beliau, namun merasakan atmosfir kekhusyuan dan rasa takzim atas perannya sebagai salah satu ulama yang punya peran besar dalam mengembangkan agama Islam, di Jawa khususnya. Ulama kelahiran dusun Jampes, desa Putih, kecamatan Gempengrejo, Kediri ini bernama lengkap Ihsan bin Muhammad Dahlan. Putra dari Kyai Dahlan bin Saleh dan Nyai Isti’anah, seorang ulama lokal di Gampangrejo Kediri. Sang kakek, Kyai. Saleh adalah ulama asal Bogor, Jawa Barat yang menghabiskan hidupnya belajar di pesantren di Jawa Timur, hingga menjadi penduduk setempat dan menikah dengan putri seorang ulama dari Trenggalek yang melahirkan Mubari, alias Kyai Dahlan.[1] Sementara, Nyai Isti’anah adalah putri dari KH. Mesir putra K. Yahuda, seorang ulama dari Lorog Pacitan yang sanadnya bersambung dengan kesultanan Mataram abad ke-16.
Dalam kesehariannya, Ia mempunyai beberapa kebiasaan yang tidak lazim dilakukan oleh seorang yang hidup di dunia pesantren. Pertama, ia adalah orang yang sangat menggemari wayang, baik sang dalang sudah mahir maupun pemula. Sampai, suatu saat ia pernah berdebat karena menegur sang dalang yang melakukan pertunjukan keluar dari “pakem” yang ada. Kedua, ia sering mendatangi, dan ikut serta dalam perjudian. Memang, pada prakteknya yang dilakukan Bakri kecil saat itu menjadikan para bandar judi kapok Suatu ketika, sang bunda Ny. Isti’anah mengajaknya ke makam leluhurnya, K.Yahuda di Lorog, Pacitan, untuk mendoakan tingkah polah anaknya. Konon, Bakri kecil dimimpikan oleh K.Yahuda setelah itu dan meminta Bakri untuk berhenti berjudi. Namun, Bakri bersikeras hingga membuat K.Yahuda mengambil batu besar dan memukulkan ke kepalanya hingga berantakan. Sontak, mimpi itu menyentak Bakri dan membuatnya tersadar, dan hal itu membuatnya banyak menyendiri dan merenung.

Perjalanan Keilmuan
            Sejak mengalami mimpi tersebut, ia banyak melakukan perjalanan keilmuan (walaupun sejak awal ia sudah dikenal sebagai anak yang cerdas dan rajin membaca). Ia melakukan pengembaraan dari satu pesantren ke pesantren lain, diantaranya: Pesantren Bendo, Kediri asuhan sang paman, K.H. Khozin; Pesantren Jamseran, Solo; Pesantren asuhan K.H. Dahlan,[2] Semarang; Pesantren Mangkang, Semarang; Pesantren Punduh, Magelang; Pesanten Gondanglegi, Nganjuk; hingga Pesantren Bangkalan, Madura asuhan ‘Guru Para Ulama’, K.H. Kholil.
            Hal yang menarik dari setiap masa belajar di pesantren tersebut, ia tidak menghabiskan waktu yang lama, mulai dari 2 minggu sampai 1 tahun saja. Ia mendatangi satu pesantren, untuk mendalami ilmu tertentu untuk kemudian berpindah ke pesantren lain, dan ia tetap bisa melakukan istifadah dari setiap dari pesantren tempat ia belajar. Sisi lain, ia selalu menutupi identitasnya sebagai anak Kyai Dahlan, dan enggan dipanggil “Gus” (panggilan santun dan takzim kepada putra kyai). Bahkan, ia akan segera pergi jika identitasnya diketahui.

Meneruskan Perjuangan Sang Ayah
Inside:
Sebagai sebuah objek wisata Islam, makam Mbah Ihsan satu dari sekian makam ulama yang terdapat di Kediri. Sebagai rekomendasi, di Kediri saja setidaknya ada 3 situs makam yang bisa dikunjungi,  Diantaranya:
a.    Makam Syekh Ihsan Kediri di daerah Jampes, sekitar 10 km sebelum kota Kediri.
b.    Kompleks Makam Setono Gedong, di Pusat Kota Re diantara yang bisa diziarahi adalah Mbah Washil, penyebar Islam pertama di Kediri. Dalam satu riwayat, beliau pernah berdakwah kepada Pangeran Jayabaya.
c.     Kompleks makam, pendiri Pesantren Lirboyo, sekitar 5 km sebelah barat kota Kediri. Para pendiri Lirboyo, tersebut adalah: K.H. Abdul Hamid, K.H. Mahrus ‘Aly, dan K.H.
            Setelah wafatnya sang ayah, K.H. Dahlan pada tahun 1932 kepercayaan Pesantren Jampes dipercayakan kepada Syaikh Ihsan setelah amanat itu dipegang oleh K.H. Kholil, adik sang ayah selama lebih kurang 4 tahun. Sejak itulah ia mulai mengelola pesantren. Dimasanya, Pesantren Jampes mengalami perkembangan, mulai dari jumlah santri dari + 150 orang hingga menjadi + 1000 orang yang menyebabkan pesantren melakukan perluasan sebesar 1,5 hektar. Lebih dari itu, di awal zaman Jepang mendirikan Madrasah Miftahul Huda dengan materi yang semakin terkonsep dan terjadwal
            Selain membina pendidikan di Pesantren, beliau masih sempat menulis, ilmu – ilmu yang terdapat dalam khazanah keilmuan pesantren, diantaranya Fiqh, Tasawuf, Falak, dan sebagainya. Beberapa karya yang dihasilkan, diantaranya:
-        Tashrih al-‘Ibarat, kitab yang menjelaskan ilmu falak. Kitab ini juga merupakan syarh (penjelasan) dari kitab Natijah al-Miqot yang disusun oleh K.H. Ahmad Dahlan, dari Semarang
-        Manahij al-Imdad, penjelasan dari kitab Irsyād al-‘Ibād yang disusun Syaikh Zainudin al-Malibari tentang masalah-masalah fiqh.
-        Irsyad al-Ikhwan fi Bayān al-Qahwah wa ad-Dukhan. Kitab ini disusun dengan model bait syair (mandzumah). Kitab ini membahas perbedaan pendapat tentang status hukum kopi dan rokok, yang populer dikonsumsi masyarakat nusantara.
-        Sirāj al-Thalibin, penjelasan atas kitab tasawuf yang disusun Imam al-Ghazali, Minhaj al-‘Abidin. Kitab yang terakhir ini, banyak dipakai di pesantren-pesantren Indonesia, bahkan kitab ini tersebar di negara Timur Tengah saat dicetak oleh sebuah percetakan terkenal di Mesir, Dar al-Bab al-Halabi.[3]

Para Murid dan Akhir Hayatnya
            Beliau wafat pada hari Senin, 25 Dzul-Hijjah 1371 H, atau September 1952 di usia 51 tahun. Dengan meninggalkan pesantren dengan ribuan santri, serta seorang istri dan delapan putra – putri. Warisan yang paling berharga, tidak lain hanyalah kedalaman ilmunya baik yang diajarkan kepada para murid, maupun yang dituliskan dalam bentuk kitab – kitab yang mempunyai penjelasan sangat mendalam, meskipun ditulis dimasa muda.
            Beberapa murid Syaikh Ihsan, yang mewarisi dan meneruskan perjuangannya dalam berdakwah melalui pesantren adalah: Kiai Soim, pengasuh pesantren di Tangir, Tuban; K.H. Zubaidi, pengasuh pesantren di Mantenan, Blitar; K.H. Mustholih di Kesugihan, Cilacap; K.H. Busyairi, Sampang, Madura; Kyai Hambali, Plumbon, Cirebon; dan Kyai Khozin, Tegal. ((dari berbagai sumber. Masrur))


[1] Dikutip dari: “Ensiklopedia Ulama Nusantara” oleh H.M. Bibit Suprapto. Diterbitkan oleh Gelegar Media Indonesia, Jakarta. Hal. 407
[2] Dari beliaulah, ia mengaji ilmu falak selama 20 hari. Dan ia, juga telah men-syarah-kan kitab gurunya yang berjudul Tashrih al-‘Ibarat
[3] Bahkan, Raja Faruq saat itu pernah datang khusus ke Jampes, Kediri untuk meminta Syaikh Ihsan Jampes, mengajarkan kitabnya di Mesir. Namun, permintaan itu ditolak oleh beliau karena ia tetap ingin mengajar di Jampes dan melayani masyarakat.
Belakangan ini muncul cetakan terbaru dari kitab tersebut, yang diterbitkan oleh Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut pimpinan Muhammad Ali Baidhun yang melakukan kekeliruan dalam penulisan nama penyusun, yaitu dengan nama Syekh Ahmad Zaini Dahlan, ulama Mekkah di abad ke-18. Hal ini, segera disikapi oleh Pengurus Cabang Istimewa NU Lebanon, dengan mengutus beberapa orang untuk melakukan klarifikasi pada tanggal 11 September 2009. Mereka, diterima langsung oleh Direktur Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, dan bertanggung  jawab atas kesalahan ini serta memohon maaf terutama kepada pihak terkait, seperti keturunan Syaikh Ihsan dan Nahdhatul Ulama. (disarikan dari NU Online, versi Arab)


*Artikel ini, sudah pernah di majalah "Nabawi", edisi 100, Darus Sunnah High Institute for Hadith Sciences, sebagai catatan dari jalan-jalan religi (Islamic Tourism), di kota Kediri, lebaran kemarin. 
Nampaknya, penelitian tentang tokoh-tokoh ulama dengan wasilah ziarah, menjadi menarik bahkan untuk tokoh-tokoh yang seolah-olah, terlupakan karena tidak diziarahi. Padahal, mereka adalah para tokoh, yang mewarnai khazanah keislaman, di Indonesia khususnya. Menarik bukan ?

Senin, 25 Februari 2013

Cinta Terlarang Elektron



Ditulis oleh Dewi siswanto pada 03-11-2012
Elektron duduk termenung, sesekali ia kayuhkan kedua kakinya agar ayunan bergerak perlahan. Ayunan yang sering disebut orbital merupakan tempat yang paling Elektron sukai. Jadi siapapun orang yang ingin menemukannya langsung saja menuju orbital. Walau demikian, tidaklah mudah untuk bertemu Elektron di sana. Tapi setidaknya orbitallah tempat kemungkinan Elektron melepaskan penatnya ketika ia berada di rumah atom.
“Mengapa aku selalu ingat Proton?” keluh Elektron seraya menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan.
“Apa yang salah dengan perasaan ini, tidak bolehkah aku tertarik padanya?” pertanyaan yang kesekian kalinya namun tak juga Elektron mengetahui jawabannya.
Elektron menatap jauh ke depan dan terhenti pada sebuah kamar yang biasa disebut nukleous. Tatapannya sarat dengan beban namun begitu tajam seakan ingin menembus dinding kamar dimana Proton berada.
“Seandainya aku adalah Neutron, pastilah hatiku sangat senang karena aku akan selalu dekat dengan Proton” gumannya lagi.
~ *** ~
Elektron tinggal di sebuah rumah mungil bersama dua saudara angkatnya. Para tetangga memanggil rumah mungil itu dengan sebutan atom. Elektron adalah anak tertua. Kelahirannya dibantu oleh om J.J Thomson pada tahun 1897. Semenjak dalam kandungan dia sering dipanggil dengan nama sinar katoda karena Elektron merupakan anak yang diperoleh melalui tabung sinar katoda dan perkembangannya selalu dipantau oleh om William Crookes. Setelah lahir, ia diberi nama Elektron seperti yang diinginkan om G.J Stoney. Beratnya ditimbang oleh om Robert Milikan ternyata hanya 9,11 x 10-28 gram.
Adiknya yang pertama bernama Proton. Kelahirannya dibantu oleh om  E. Rutherford pada tahun1906. Dia lebih gendut dibandingkan Elektron karena massanya 1837 kali dari massa Elektron yaitu 1,673 x 10-24 gram.
Pada tahun 1932, Elektron mempunyai adik kedua yang diberi nama Neutron. Om James Chadwick yang membantu kelahirannya. Dia hampir sama gendutnya dengan Proton karena massanya adalah 1,675 x 10-24 gram.
Walaupun mereka bersaudara dan tinggal bersama dalam rumah atom tetapi karakter ketiganya berbeda. Elektron paling tidak suka berada di dalam rumah. Baginya dunia terasa sempit jika hanya memandang tembok-tembok yang memisahkannya dengan dunia luar. Berkeliling di halaman rumah lebih mengasyikkan, Elektron dapat berjalan-jalan di taman, memandang bunga-bunga yang berkembang dan menghirup keharumannya. Saat pagi tiba, mentari akan menyusupkan kehangatannya sehingga Elektron semakin bersemangat untuk terus beraktifitas. Biasanya, Elektron akan bersepeda melalui lintasan yang disebutnya sebagai orbit. jika dia merasa lelah maka Elektron beristirahat dalam orbital. Keaktifan Elektron dianggap perilaku yangnegatif oleh keluarganya.
Lain lagi dengan kedua adiknya, mereka lebih suka di dalam kamar. Kamar itu mereka sebut dengan nucleus karena itulah mereka berdua dinamakan nucleon. Walaupun begitu, Elektron tahu jika Proton terkadang tertarik dengan aktifitasnya. Sehingga mereka sering mencoba bertemu untuk saling berbagi hati. Sedangkan Neutron dia sangat cuek. Apapun yang terjadi di dalam rumah atom, dia  netral-netral saja.
Bagi keluarga atom, sifat pendiam Proton merupakan sifat yang dianggap positif. Namun bagi Elektron, Proton mempunyai karisma yang membuatnya  terlihat sempurna dibandingkan Neutron. Adanya perbedaan karakter antara Elektron dan Proton membuat mereka saling tertarik. ketertarikan inilah yang membuat beban bagi keduanya karena semestinya itu tidak ada.
~ *** ~
“Aku mohon Proton, cobalah kamu mengerti perasaanku” kata Elektron.
“Maaf Elektron, tanpa kau katakanpun aku tahu perasaanmu karena akupun merasa demikian, tapi itu tak mungkin” jawab Proton setengah tersedu menahan tangisnya.
“Jikalau kita bersatu, maka takkan ada rumah atom lagi” lanjut Proton lirih.
Elektron terdiam, dia paham sekali tak mungkin Proton meninggalkan nukleous. tapi ia juga tak mungkin menghapus ketertarikannya pada Proton dengan mudah, Mengacuhkannya saja membuat rasa menjadi gundah. Apalagi harus jauh darinya, pastilah rindu itu ada. Rindu pada perhatiannya, rindu pada cerita manjanya, rindu dengan tatapan penuh rasa rahasia yang dalam.
“Ya sudahlah, biarkanlah perasaan ini tetap ada, toch aku masih bisa memandangmu meski tak mampu bersamamu” ujar Elektron kemudian.
“Kamu tahu Proton, hanya kaulah yang sering datang dalam mimpiku dan memang hanya menjadi mimpiku….” lanjut Elektron menegaskan apa yang dirasakannya selama ini.
Keduanya kini terdiam, diam oleh ketidakberdayaan akan sebuah perasaan yang entah kapan hadir diantara keduanya. Namun mereka paham, kebahagiaan tidak selalu harus menjadi satu tetapi saling mengingatkan ketika salah, memotivasi ketika lelah, memberikan nasehat bijak ketika gundah, semoga semuanya menjadi ajang untuk ibadah. Dari perbedaan inilah yang akan menjadikan mereka dalam satu-kesatuan di rumah atom sehingga mereka dapat menempati posisi, tugas dan fungsinya masing-masing demi berputarnya dunia yang indah.