Bismillah
Ya, refleksi malam ini sejatinya, ingin mencoba menelisik tentang bagaimana sebuah
perkawanan itu terkadang membutuhkan sebuah energi untuk mempertahankan dan
menjaganya secara konsisten. Dalam bentuk yang berbeda - beda upayanya walaupun hemat
pribadi penulis nilai - nilai luhur akhlak yang lahir dari pesan - pesan inti keagamaan sudah
semestinya selalu dijadikan poros tingkah laku kita.
Ternyata, kedekatan yang secara bertahap itu semakin menguat, dan batas - batas diantara
dua sisi itu seringkali mulai mendekat bahkan pudar sama sekali tidak melulu membawa
dampak positif, atau setidaknya respon positif dari masing - masing pihak di awalnya. Hal ini
bisa digaris bawahi untuk dua hal yang penting:
1. Poros apa yang digunakan dalam membangun kedekatan itu, selama yang digunakan
adalah emosionalitas kemanusiaan yang "terlalu membumi", dan berimplikasi meninggalkan
emosionalitas kemanusiaan yang bermakna "langit", maka kekecewaan adalah satu dari
sekian implikasi logis dari dawammnya hal itu. Sederhananya, bukankah manusia sebuah
makhluk yang dho'if dan sangat penuh keterbatasan ini sangat membutuhkan Allah yang
disimbolkan dalam bahasa filsafat "zat yang memiliki entitas tak terikat proses" sebagai
pangkal dari rujukan tingkah laku kita, dan jika manusia sengaja atau tidak meninggalkan itu,
justru akan semakin kehilangan sisi kemanusiaannya yaitu kemuliaannya dimata Allah ?
2. Tujuan dari interaksi dua arah tersebut (al-ta'aamul baina al-thorofain) apakah memang
untuk membangun antar sisi masing-masing, ataukah ada kepentingan - kepentingan yang
sesungguhnya hanya mengedepankan keuntungan pribadi semata yang mengalahkan
kepentingan temannya secara bersamaan, Akhirnya, ketika sisi - sisi itu tersingkap maka
kekecewaan insidental itu akan muncul.
Dua sisi itulah yang semestinya, hemat kami sangat perlu ditekankan dalam membina dan
mempertahankan sebuah interaksi ini. Ditambah lagi, yang sedang menjadi sorotan adalah
ketika bentuk hubungan dua sisi tersebut terburai "aib-aib"nya kedunia masyarakat sosio-
internet, Kami mengambil istilah ini, karena fenomena yang lahir adalah semakin pudarnya
antara ruang - ruang privat dengan ruang - ruang publik. Sehingga, keduanya saling
bergesekan, dan membuang batas-batas itu. Serta, didalam jejaring sosial, kini kita melihat
sebagian masyarakat kita dalam ruang - ruang yang "ghaib" itu.
Intinya, kami hanya ingin menegaskan bahwa:
1. pembangunan akan prinsip yang jelas dalam membina suatu apapun, mutlak diperlukan,
Dalam hal ini hubungan persahabatan misalnya. Dan lebih jauh, adalah menghargai
subjektivitas positif optimistik diatas objektif realistik, yang terkadang masing menggunakan
bahasa negatif misalnya.
2. kami bahkan merasa, sepertinya kita memang harus menahan diri untuk tidak mengatakan
sesuatu yang intinya tidak bermanfaat. Dan lebih jauh, kita pun bisa menghemat energi kita
untuk energi yang lebih dibutuhkan untuk hal - hal yang bermanfaat, aplikatif, dan positif dar
sisi-sisi agama, suku, bangsa, dan negara,
**Walllahu a'lam - 16 Sya'ban 1432 H
Ya, refleksi malam ini sejatinya, ingin mencoba menelisik tentang bagaimana sebuah
perkawanan itu terkadang membutuhkan sebuah energi untuk mempertahankan dan
menjaganya secara konsisten. Dalam bentuk yang berbeda - beda upayanya walaupun hemat
pribadi penulis nilai - nilai luhur akhlak yang lahir dari pesan - pesan inti keagamaan sudah
semestinya selalu dijadikan poros tingkah laku kita.
Ternyata, kedekatan yang secara bertahap itu semakin menguat, dan batas - batas diantara
dua sisi itu seringkali mulai mendekat bahkan pudar sama sekali tidak melulu membawa
dampak positif, atau setidaknya respon positif dari masing - masing pihak di awalnya. Hal ini
bisa digaris bawahi untuk dua hal yang penting:
1. Poros apa yang digunakan dalam membangun kedekatan itu, selama yang digunakan
adalah emosionalitas kemanusiaan yang "terlalu membumi", dan berimplikasi meninggalkan
emosionalitas kemanusiaan yang bermakna "langit", maka kekecewaan adalah satu dari
sekian implikasi logis dari dawammnya hal itu. Sederhananya, bukankah manusia sebuah
makhluk yang dho'if dan sangat penuh keterbatasan ini sangat membutuhkan Allah yang
disimbolkan dalam bahasa filsafat "zat yang memiliki entitas tak terikat proses" sebagai
pangkal dari rujukan tingkah laku kita, dan jika manusia sengaja atau tidak meninggalkan itu,
justru akan semakin kehilangan sisi kemanusiaannya yaitu kemuliaannya dimata Allah ?
2. Tujuan dari interaksi dua arah tersebut (al-ta'aamul baina al-thorofain) apakah memang
untuk membangun antar sisi masing-masing, ataukah ada kepentingan - kepentingan yang
sesungguhnya hanya mengedepankan keuntungan pribadi semata yang mengalahkan
kepentingan temannya secara bersamaan, Akhirnya, ketika sisi - sisi itu tersingkap maka
kekecewaan insidental itu akan muncul.
Dua sisi itulah yang semestinya, hemat kami sangat perlu ditekankan dalam membina dan
mempertahankan sebuah interaksi ini. Ditambah lagi, yang sedang menjadi sorotan adalah
ketika bentuk hubungan dua sisi tersebut terburai "aib-aib"nya kedunia masyarakat sosio-
internet, Kami mengambil istilah ini, karena fenomena yang lahir adalah semakin pudarnya
antara ruang - ruang privat dengan ruang - ruang publik. Sehingga, keduanya saling
bergesekan, dan membuang batas-batas itu. Serta, didalam jejaring sosial, kini kita melihat
sebagian masyarakat kita dalam ruang - ruang yang "ghaib" itu.
Intinya, kami hanya ingin menegaskan bahwa:
1. pembangunan akan prinsip yang jelas dalam membina suatu apapun, mutlak diperlukan,
Dalam hal ini hubungan persahabatan misalnya. Dan lebih jauh, adalah menghargai
subjektivitas positif optimistik diatas objektif realistik, yang terkadang masing menggunakan
bahasa negatif misalnya.
2. kami bahkan merasa, sepertinya kita memang harus menahan diri untuk tidak mengatakan
sesuatu yang intinya tidak bermanfaat. Dan lebih jauh, kita pun bisa menghemat energi kita
untuk energi yang lebih dibutuhkan untuk hal - hal yang bermanfaat, aplikatif, dan positif dar
sisi-sisi agama, suku, bangsa, dan negara,
**Walllahu a'lam - 16 Sya'ban 1432 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar