Bagaimana pendapat anda tentang laman ini ?

Statistik

Jumat, 14 Desember 2012

Duruus al-Diniyyah fi al-Dirasaat: Realita, Idealisme, dan Harapan

Pagi ini (dilihat 12 Desember 2012), kami melihat salah satu catatan kecil tentang keluhan seseorang selama kuliah di Fakultas ini, ya bagaimana ya fakultas yang punya sejarah kewibaan keilmuan Azhar, kini mencoba mandiri dengan tetap menggunakan mode dan gaya belajarnya - tapi praktis pada prakteknya lebih banyak menanggung beban moril dengan konsentrasinya sebagai Fakultas Dirasat Islamiyah (terj. Indonesia: Studi Islam - mirip mata kuliah pengantar di fakultas - fakultas UIN, terj. Inggris: Islamic Studies - sebutan untuk jurusan pengkajian Islam di Barat seperti McGill, Leiden, Ohio, Harvard, dan sebagainya). Praktis, dengan mode belajar yang dirubah sedikit dengan model presentasi ( yang masih jauh dari , karena sering antara yang presentasi dan yang mendengarkan sama-sama bingung ) serta para dosen yang terhormat yang sebagian tidak bersikap empati dengan keadaan demikian dan menganggap mudah, lebih jauh seringnya tidak masuk dengan alasan - alasan yang menurut kami lebih tepat sebagai penyepelean amanah, membuat kita perlu memikirkan krisis besar ini. Setidaknya, ada dua sisi yang mendasar yang perlu kita sadari sejak awal:

1.    bahasa, dengan diktat - diktat berbahasa Arab baik kontemporer maupun klasik membuat penguasaan bahasa menjadi harga mati bagi siapa saja yang punya "nyali" untuk bertahan dan ngilangi bodho (terj: memberantas kebodohan) untuk menguasai nahwu baik kaidah – kaidah mendasar maupun kaidah – kaidah yang luas (baik khilaf-nya, asal – usul bahasa, sampai penyerapan bahasa arab terhadap bahasa – bahasa lain). Kalau ini  , atau terpenuhi dasarnya, maka kalau punya keinginan yang kuat untuk mencari bidang – bidang lain, ada jalan yang selalu terbuka untuk kesana. Tapi, mulailah dari bahasa
2.    think outside from the box, istilah ini sebetulnya bisa diterjemahkan menjadi berpikir tidak seperti biasanya, karena sejatinya fakultas ini atau kita yang melihatnya akan menjadi naïf ketika menjanjikan baahwa jika lulus dari fakultas ini, maka akan hadir para kader – kader ulama (. Hal itu naïf, karena ulama adalah gelar sosial yang mana diberikan oleh masyarakat. Tapi, perangkat – perangkat keilmuan yang ada disini adalah qorinah (indikasi jalan) bahwa mereka yang belajar di sini, punya peluang yang lebih terbuka dalam memahami agama Islam secara seutuhnya, atau setidaknya bidang – bidang didalamnya yang telah menjadi sebuah susunan silabi turun temurun, bahwa Alim fi al-Din adalah orang yang menguasai Tauhid, Fiqh, Tafsir, Hadits, Lughoh al-Arabiyyah, Ushul Fiqh, dan sejenisnya yang kita kenal dalam pengajaran Islam. Berarti kita harus menyadari, dengan perangkat sedemikian banyaknya yang kita pelajari – kami pastikan tidak seluruhnya bisa dikuasai dalam 4 tahun, apalagi jika semuanya murni didapat dari kegiatan klasikal belaka.

Ini, menjadi sebuah kenyataan yang tidak bisa kita hindari, terlepas bahwa Dekan pernah menjanjikan bekerja di tempat – tempat tertentu (Kedutaan, Departemen, dan sebagainya) itu urusan lain. Tapi, keilmuan ini memang harus diterapkan, bersamaan dengan nushush al-qur’an wa al-hadits yang terbatas dan ribuan kitab – kitab ulama yang telah dan masih terus melakukan upaya pembacaan teks dengan berbagai macam pendekatannya – untuk kemashlatan umat, ingat adagium (sejenis kata mutiara, atau wise word) Ibn Rusyd al-Andalusi, An-Nash Mutanaahiyatun, wa al-Waaqi’ ghoir Mutanaahiyatun (Teks/Nash terbatas, sementara realitas (yang membutuhkan teks itu) senantiasa berubah/tak terbatas).
Dari, sini kita menjadi paham seharusnya bahwa fakultas ini punya keterkaitan panjang dengan teks, namun sangat membutuhkan penerpannya di dunia nyata. Munculnya fiqh, ilmu kalam, kemudian Ushul Fiqh, sampai Kaidah – kaidah fiqh adalah sebagai bukti bahwa al-Qur’an dan Hadits senantiasa melakukan interaksi dengan pembacanya, terlepas dari konflik yang muncul dari sana berupa pengkafiran, dicap sesat, munculnya kritik antar ulama dengan muncul berbagai kitab yang saling memberikan masukan antar mereka, tidakkah menjadi perhatian kita. Sementara, semakin hari kita dihadapkan oleh realitas yang berubah – rubah, baik itu sesuai dengan pesan dari Nash tersebut, ataukah bertentangan sehingga butuh pertemuan dua sisi tersebut agar dicari kebenarannya.
****
Disana – sini, seringkali terdengar suara – suara miring tentang fakultas ini, disebabkan terlalu luasnya cakupan keilmuan didalamnya, satu contoh. Disisi lain, dengan sistem pemberian gelar, yang seperti sekarang dimana berdasarkan studi yang diambilnya (ada 3 konsentrasi akhir, Ushuludin, Syariah, dan Bahasa) segera menjadi pertanyaan dimana fakultas – fakultas keagaamaan lain yang telah tersusun konsentrasi masing – masing, apakah dengan adanya Fakulaltas Ushuludin tidak cukup untuk mencetak S.Ud sehingga, Dirasat memberikan gelar yang sama, begitu pun gelar lainnya. Dan bersama itu, ada suatu aspek yang sering dilupakan oleh banyak dari kita, yaitu kesadaran membaca dan memahami secara berkala. Semoga, terkaan ini tidak menjadi benar, mengingat serba praktisnya cara pandang di masa kini (bukan pragmatis, tapi menjadi sebuah keyakinan  pragmatisme).
Secara faktual, susunan keilmuan di Dirasat memang mengikuti betul silabi pendidikan Islami, yang tradisionalis. Dalam arti, hampir dipastikan kita tidak mendapati masukan – masukan modernis, diluar frame “Islami” dalam tafsiran al-‘aql al-islami. Praktisnya, kita tidak mendapati buku – buku diluar bahasa Arab, sebagai arus dominan bahkan mutlak secara formal namun sosialita kemahasiswaan yang ada malah menggunakan terjemahan bahasa Indonesia sebagai “alat bantu” untuk memahami ragam keilmuan dengan bahasa asing tersebut, yang mana bukan menunjukkan sikap antipati terhadap buku terjemahan, tapi dengan kita punya saham besar dalam memahami bahasa arab, bukankah lebih baik mengesampingkan terlebih dahulu terjemahannya, dan mencoba memahami teks aslinya melalui pembacaannya lebih lanjut secara terus menerus, terlepas dari sesuaikah teks terjemah tersebut dengan pesan asli (bukan harfiah, karena menerjemah itu bukan arti teks, tapi kesinambungan makna didalamnya).
Dengan segala kejanggalan dan disana – sini yang membutuhkan perbaikan. Tidakkah menjadi lebih baik kalau kita membaca kembali dengan baik, atau mengembangkan secara terus menerus duruus al-diniyyah wa ma yat’allaq bihaa, serta secara bertahap meninggalkan kegiatan – kegiatan yang seringkali mengantarkan kita kepada penumpulan sikap kritis, dan lebih memilih senang dalam kenyamanan yang semakin menjauhkan kita dari kebenaran. Teringat sebuah kaidah terkenal yang diikutsertakan dalam qowaid al-fiqhiyyah : al-Isytighol bighoir al-maqshud, al-I’radh ‘an al-maqshud (menyibukkan dengan sesuatu yang bukan dituju, adalah sebuah pelarian dari tujuan itu). Semoga, tulisan ini menjadi sebuah langkah awal (untuk yang nulis) agar tidak santai – santai dan menyadari bahwa pentingnya bangkit dari kebodohan. Dan (bagi pembaca lainnya) menjadi bahan pertimbangan, atau otokritik, pelontar semangat kembali, atau bahkan menjadi sarana munculnya bantahan dari tulisan ini. Yang jelas, niatan yang baik tentu mempunyai porsi tersendiri dimata Tuhan, bukan ?.

Ciputat, 14 Desember 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar