Kolom Bahasa: Mengamati Bahasa Mencari Makna
Saya tidak tahu apakah kolom ini masih ada atau
tidak, tapi Koran Kompas pernah membuat sebuah kolom terkait bahasa. Didalamnya
diisi dengan pembahasan satu kata tertentu dan bagaimana kata tersebut popular digunakan
di masyarakat luas. Penulisnya tidak hanya satu, kebanyakan penulisnya adalah
pakar-pakar bahasa Menarik nampaknya kalau kami mencoba kembali menulis topik
dengan model demikian.
Hari
ini adalah hari Jum’at. Tapi bagaimana sesungguhnya penulisannya ? Jum’at atau
Jumat. Ia juga menjadi istilah popular bagi muslim di Indonesia dengan istilah jum’atan,
untuk mengisyaratkan kepada sholat jum’at didalam Islam dengan rukun dan
syarat-syarat tertentu. Bahkan, posisinya sejajar dengan shalat dzuhur karena
setelah melaksanakannya. Dikalangan umat Kristen, ia digunakan sebagai istilah
bagi hari raya paskah, dikenal dengan Jum’at Agung.. Tapi lagi-lagi, sebagai
orang yang lahir, hidup, dan besar di Indonesia dengan segala kebudayaan, dinamika,
dan kelucuannya, saya sering dihadapi tanda tanya benarka menuliskan kata jum’at
tersebut ?
Kata
jum’at, sebagai sebuah kata yang diserap dari bahasa arab ia pada awalnya adalah
derivasi dari akar kata jama’a. Sekedar wawasan, bahasa arab memiliki
terkait asal usul derivasi kata ini. Sebagian menyatakan bahwa fi’il (verba)
adalah asal usul kata sehingga segala kata-kata yang diturunkan kesemuanya
dikembali kepada nomina, mazhab ini dipegang oleh para punggawa bahasa di
Kufah. Lain lagi dengan daerah Bashrah, meskipun keduanya sama-sama berada di Negara
Irak saat ini, di Bashrah para pakar bahasa menyimpulkan bahwa sumber kata-kata
itu semua mengakar kepada mashdar (nomina). Sesuai dengan pilihan
penamaannya, ia mempunyai filosofi bahwa isim (nomina) adalah sebagai
sumber (mashdar).dari kata-kata yang diturunkan darinya. Jama’a pada
awalnya berarti berkumpul, seperti kata Jum’ah yang menurut al-Azhari,
seorang pakar bahasa melalui buku Tahdzib al-Lughoh bisa dibaca dengan Jum’ah
dan Jumu’ah juga memiliki arti berkumpul, dan biasanya kata-kata
yang diturunkan darinya menyimpulkan makna berkumpul baik itu diciptakan ataupun
memang hasil inisiatif dari pelakunya.
Di
Indonesia, pada umumnya kita banyak melakukan penyerapan dari bahasa asing,
untuk kemudian ditransliterasi sesuai dengan pengucapan yang disepakati pada
bahasa Indonesia. Namun, itu semua biasanya ditentukan oleh para pakar di Dewan
Bahasa Departemen Pendididikan dan Kebudayaan. Kita tidak perlu merasa miris,
karena memang kebudayaan kita telah mengalami persinggungan dengan banyak
kebudayaan lain yang banyak dan kemudian secara masif ikut serta menggunakan
bahasanya. Dari sini, para pakar menyimpulkan bahwa penyerapan bahasa arab
sebagai bahasa yang digunakan oleh pemeluk agama Islam benar-benar telah
diterima secara akulturatif kedalam kebudayaan Indonesia. Buktinya, semua nama-nama
hari adalah hasil akulturasi dari bahasa arab hanya minggu saja yang
diperkirakan (sebagaimana yang saya ingat dari sebuah wawancara di TVRI
terhadap Abdurrahman Wahid) berasal dari bahasa Portugis yaitu Dominggo, yang bermakna hari Tuhan.
Belakangan, saya mulai mendengar bahasa Ahad, untuk menggantikan kata minggu.
Dan, ternyata ia dimasukkan kedalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai
sinonim kata minggu. Saya mungkin akan bercerita dilain kesempatan tentang
siapa yang lebih berhak mengklaim untuk memberikan penamaan minggu atau ahad,
mudah-mudahan.
Terakhir,
kembali ke urusan transliterasi. Sebuah kata, sebenarnya akan lebih baik jika
diserap dengan tanpa meninggalkan struktur dasar dari bagaimana bahasa itu
dituturkan. Dalam bahasa inggris, kita tidak kehilangan makna yang berarti
ketika mengungkapkan kata rekonstruksi yang pada awalnya dituturkan dengan reconstruction.
Pelafalan c hanya diganti dengan k dan tion digantikan dengan si.
Mudah-mudahan demikian, karena saya tidak memiliki kemahiran dibidang ini.
Tapi, untuk kata jum’at yang dituliskan dengan jumat ada permasalahan dalam
penulisannya dalam pelafalannya. Kita harus mendudukkan pertanyaan, apakah yang
dipertimbangkan adalah penulisan huruf-huruf arab kedalam huruf-huruf latin,
atau bagaimana kata itu dituturkan. Hamzah (yang dalam huruf latin dibaca a)
memiliki pelafalan yang berbeda dengan ‘ain (yang ditransliterasi dengan huruf ‘a,
dengan tanda petik sebagai pembeda dengan a). Memang, hamzah dan ‘ain keduanya
termasuk kedalam huruf yang muncul dari daerah kerongkongan (hurūf al-halaq).
Saya, pada akhirnya harus memilih untuk berupaya menyesuaikan dengan penuturan asli
kata tersebut, tanpa harus punya keyakinan bahwa ini akan menghilangkan budaya
berbahasa Indonesia. Penulisnya jumat, meniscayakan kita untuk tidak membaca
huruf ‘ain didalamnya dan akan merubah maknanya. Bukankah penyerapan,
pengadopsian sebuah kata mengharuskan kita untuk tetap menjaga makna aslinya
bukan ? Semoga kita disemua diberkahi di hari jum’at ini.
Ciputat, 25
April 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar